BAB 8

Romance Completed 102088

Unedited

'Sh*t! Aku gak percaya aku bakalan jadi istri pak Alex. Terus gimana Rafael? Mereka berduakan temenan? Ah, pusing. Whatever. Ini juga buat Williams senior. Itung-itung nolong orang yang membutuhkan. Lagian apa susahnya jadi istri big bos?'

"So, gimana? Kamu setuju?"

Pertanyaan dari Alex membuat kembali ke dunia nyata.

"Ha? Setuju? Setuju apa, pak?"

'Ini si bos ngomong apa sih?"

Mendadak dalam sekejap suasana di ruang kerja  Alex  berubah lebih kelam dan dingin. Delilah tanpa sadar menelan ludah. Saat matanya bertemu dengan mata Alex, ia merasa bulu kuduknya merinding. Bulu-bulu halus yang ada di kaki dan tangannya yang sudah lima hari ini tidak ia cukur seperti terangkat.

"Pikiran kamu kemana saat saya ngomong panjang lebar tadi?" tanya Alex dengan suara lebih rendah.

"Maaf pak, itu, saya tadi hanya—"

"Sudahlah." Alex menyela Delilah tidak ingin mendengar penjelasan wanita itu. Ia menyandarkan punggungnya yang lebar di sofa, dan menengadah ke langit-langit. Alex memejamkan matanya dan mulai memijit pelipisnya perlahan-lahan.

"Kalo menurut kamu, bagaimana harusnya kita ngejelasin pernikahan kita ke orang-orang?" ujar Alex tiba-tiba setelah lima menit bungkam.

"Soal kenapa sampai bapak sama aku bisa menikah?"

"Hm."

"Terserah bapak saja. Bapak maunya bagaimana?" ujar Delilah memberi Alex kepercayaan untuk mengarang cerita cinta mereka.

Mata Alex yang tadinya tertutup, sontak terbuka begitu dia mendengar ucapan yang terlontar dari mulut Delilalah barusan. Dengan gerakan yang halus dan indah di mata para wanita,  Alex menegakan tubuhnya.

"Tadi saya ngomong sampai hampir berbusa ke kamu, ngejelasin gimana sampe kita bisa menikah, kamu gak denger. Sekarang gilirin saya tanya sama kamu, kamu maunya gimana, ehh, kamu malah balik tanya sama saya." seru Alex menyampaikan rasa ketidak-sukaannya itu.

"Pak Alex, saya boleh minta tolong?" dengan tersenyum lembut Delilah bertanya. Semakin lembut senyum wanita itu, semakin kuat amarah yang ditahannya.

Delilah bisa melihat kerutan muncul di dahi mulus atasannya itu  ketika Alex mendengar perkataannya.

"Apa?"

"Bisa baca syarat nomor satu?"

"Syarat nomor satu?" Alex merasa bingung dengan perubahan arah pembicaraan mereka yang begitu cepat.

"Iyaa. Syarat yang tadi baru bapak tanda tangani."

Alex pun dengan tangannya yang panjang, mengambil kertas HVS putih yang berisi syarat kawani kontrak mereia dan mulai membacanya sekali lagi.

"Syarat nomor satu. Harus saling menghargai dan menghormati."

"Boleh bapak baca sekali lagi? Tapi, dengan suara lebih kuat."

"Harus saling menghargai dan menghormati." ucap Alex sudah hafal tanpa membaca.

"Harus saling menghargai dan menghormati. Syaratnya baguskan, pak?"

"Bagus." dengan wajah datar Alex menjawab Delilah.

'Ngeluarin emosi aja, irit benget, pak.'

Sumpah selama dua tahun bekerja dengan atasannya ini, selain tatapan dingin dan tatapan tidak suka yang dia berikan, Delilah jarang sekali melihat emosi lain terpancar dari mata hitam pekat milik Alex itu. It

"Kalo bagus kenapa bapak melanggarnya?" tantang Delilah menarik perhatian Alex.

"Maksud kamu?"

"Maksud saya, bapak sepertinya melanggar syarat nomor satu."

"Kapan?"

"Barusan."

"Barusan, kapan?" wajah Alex nampak tidak mengerti. Dia benar-benar tidak tahu kapan ia tidak menghormati dan menghargai sekretarisnya itu.

"Pas bapak ngomong ke saya kalo bapak ngomong sampai hampir berbusa ke saya tapi saya tidak mendengarnya. Terus giliran bapak tanya sama saya, saya malah balik bertanya ke bapak." ujar Delilah masih tidak terima dengan sikap Alex tadi.

"Jadi maksud kamu saya tidak menghargai dan menghormati kamu pas saya ngomong begitu ke kamu tadi?"

"Saya merasa seperti itu." Delilah menjawab Alex dengan berani.

"Memangnya ada yang salah dengan ucapan saya ke kamu tadi?" tantang Alex tidak mau kalah.

"Ha?"

"Ada yang salah? Tidak, kan? Saya ngomong begitu ke kamu memang benar, kan? Faktanya begitu, kan? Saya ngomong panjang lebar ke kamu, kamu tidak dengar, kan? Hal yang seharusnya kamu dengar dengan jelas, tidak kamu dengar. Pas saya tanya ke kamu soal hal yang sudah saya bahas tapi tidak didengar kamu, kamu malah jawab, terserah bapak saja. Tersarah saya? Mau saya bagaimana? Kamu mau saya mengulangi apa yang sudah saya bahas tapi malah tidak di dengar kamu? Wah hebat ya. Terus sekarang kamu ngomong soal saya tidak menghargai dan menghormati kamu. Jadi, soal saya ngomong panjang lebar tapi malah kamu tidak didengar kamu itu maksudnya apa? Kamu menghormati dan menghargai saya? Begitu?" jelas Alex meluapkan emosinya.

Suaraku Delilah tercekat. Ia tidak bisa berkata-kata. Matanya terbuka lebar. Tidak menyangka lidah bosnya ini ternyata pedas juga. Dia dengan mudah memutar balikan fakta. Memang dari perspektif Alex, atasannya itu benar dan Delilah yang salah. Tapi itu dari pandangannya saja. Tidak melihat dari pandangan Delilah seperti apa.

'Ini gak bener.'

"Jadi menurut pak Alex? Saya yang salah, begitu?"

"Saya tidak pernah mengatakan kalo kamu yang salah,"

"Tapi, tadi bapak ngomong seolah saya yang salah."

"Kalo kamu pikir begitu, ya, silahkan."

'Wah, sialan. Gara-gara dia atasan aku, dan aku cuma sekretarisnya jadi dia pikir aku gampang di bully, huh?' Salah besar, pak. '

"Begini, pak Alex. Sebelumnya, saya minta maaf jika kalimat yang akan saya ucapkan nanti di luar batas dan bisa menyinggung perasaan bapak." ucap Delilah berusaha terlihat setenang mungkin.

Alex memberengut. Lantas menyilangkan kedua tangannya di dada. "Speak."

"Saya ngomong ya, Pak. Tolong bapak jangan memotong saya sebelum saya selesai bicara. Begini pak. Maaf jika saya tidak sempat mendengar apa yang bapak omongin ke saya tadi. Tapi, adakah hal buruk yang akan terjadi ke bapak jika bapak mengulangi apa yang barusan bapak omongin ke saya? Apa bapak bakalan sakit jika harus mengulanginya sekali lagi? Atau mungkin, apakah bapak akan terkena kutukan atau semacamnya?" Delilah menahan kalimat. Ia berhenti untuk memerhatikan raut wajah Alex. Ia agak terkejut ketika menemukan ekspresi Alex tak berubah sama sekali.

Alex hanya menatap wanita itu dengan tatapan datar. Paham dengan apa yang ingin dikatakan sekretarisnya itu.

"Tidak kan, pak? Bapak ngomong saya tidak mendengar bapak, itu tandanya saya tidak menghargai dan menghormati bapak. Bukannya bapak juga begitu?" tantang Delilah tidak terima. Ia masih sentimen dengan perkataan Alex tadi.

Dahi Alex kembali berkerut. Matanya tidak pernah meninggalkan wajah Delilah. Alex tidak bergeming. Ia menunggu. Menunggu sekretarisnya itu menyelesaikan ucapannya.

"Pas saya mau menjelaskan kenapa saya tidak mendengar bapak, bapak malah menjawab, sudahlah. Lalu diam. Kemudian bapak tanya saya mau ceritanya gimana. Pas saya ngomong terserah bapak. Bapak malah menatap saya dengan tatapan tidak suka. Ketika saya ngomong lagi soal bapak yang melanggar syarat nomor, bapak malah membantah saya dan membuatnya seakan sayalah yang salah karena tidak mendengar omongan bapak. Saya tidak menghargai dan menghormati bapak. Padahal bapak juga begitu. Saat bapak tidak memedulikan untuk mendengar penjelasan saya, bapak sudah tidak menghargai saya. Dan bapak sering melakukannya." jelas Delilah mengeluarkan unek-uneknya lega.

Delilah menarik nafas dalam-dalam dan membuangnya panjang. Akhirnya ia berhasil menyampaikan apa yang ia resakan selama ini. Ia bangga pada dirinya karena mampu menyuarakan rasa tidak sukanya terhadap Alex, langsung di hadapan wajah atasannya itu.

"Ehmm.. " Alex berdeham. Terpengarah karena kelancangan sekretarinya ini. "Maafkan saya jika saya sudah menyinggung kamu. Maafkan saya juga karena tidak mau  mendengar penjelasan kamu tadi." ucapnya malu mengakui kesalahannya.

"Tidak apa-apa, pak. Saya juga minta maaf,"

"Jadi saya harus membayar denda seratus juta ke kamu karena melanggar syarat nomor satu?" Alex bergurau, tersenyum lebar.

Uwaahhh. Delilah terpana. Ia bisa membayangkan bagaimana reaksi Dea dan Rina jika melihat peristiwa menakjubkan ini. Bisa-bisa mereka berdua jatuh pingsan saat melihat atasan mereka yang terkenal dengan sikapnya yang dingin dan wajah datarnya, tersenyum lebar ke arah Delilah.

"Tidak perlu, pak. Syaratnya belum berlaku karena kita berdua belum menikah. Saya hanya mencoba memberi contoh," tolak Delilah sembari mengingatkan.

"Selama sudah ada tanda tangan saya, bagi saya itu sudah berlaku. Berapa nomor rekening bank kamu. Nanti saya transfer." kata Alex bersikeras.

'Transfer? Seratus juta? Gampang banget ngomongnya. Ini uang seratus juta, pak. Gaji aku selama setahun lebih.'

"Tidak usah pak. Saya hanya ingin bapak mengerti saja. Bapak tidak perlu membayar denda. Syaratnya akan berlaku setelah kita berdua menikah."  tolak Delilah lagi tidak ingin menerima uang Alex.

Alex mengidik bahunya. "Baiklah kalau kamu maunya begitu. Saya tidak akan memaksa kamu."

"Jadi, soal yang tadi, bisakah bapak mengatakannya lagi pada saya?"

??????????

Hellow guyss, horre update lagi. Gimana suka nggak? Vote dan komennya jangan lupa ya, guys.
Update chapter berikutnya, doain cepat ya. Kalo ada salah dalam pengetikan dan penulisan jang lupa diperbaiki ya.
Semangattt

love
ilz

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience