BAB 7

Romance Completed 102086

Unedited

"Lex,"

"Hmm?" Alex bergumam tanpa menoleh pada Zak,  serius memperhatikan lampu lalu lintas di depan, yang sedang berwarna oranye.

"Elo ngerasa nggak kalo si Rafa hari ini rada-rada aneh?" Zak memegang dagunya dan memicingkan mata, berpikir.

"Aneh? Aneh gimana maksud lo, Zak?" Alex balik bertanya pada Zak. Pura-pura bodoh.

"Yaaa aneh. Kayak orang galau. Tapi, masa sih, si Rafa galau? Lagian, apa coba yang patut digalauin seorang Rafael Daniswara? Cewek? Kerjaan? Gak ada setau gue yang bisa tu anak galauin." Zak menjeda kalimatnya memikirkan sesuatu lantas berkata, "Gue ngerasa ada yang disembunyiin Rafa dari kita, Lex."

Alex melirik sahabatnya itu sejanak dan langsung tancap gas saat mendapati lampu lalu lintas sudah berwarna hijau.

"Mungkin karena pertunangannya dengan Melisa kali, Zak." Kilah Alex.

"Melisa?" Zak menganggukan kepala tanda setuju dengan terkaan Alex.

Jawaban Alex sebenarnya ada alasannya. Mereka berdua sudah sangat tahu bahwa Rafael hanya menganggap Melisa sebagai teman baiknya saja.

Belum lama ini, Rafael bahkan mengatakan pada mereka berdua kalau dia tidak ingin menikahi Melisa. Dan dia akan membatalkan pertunangan mereka. Namun hingga saat ini, Alex belum mendapat kabar seputar pembatalan pertunangan dari sahabatnya itu.

Dari hasil pengamatan Alex di kelab malam tadi, keputusan Rafa untuk membatalkan pertunangannya dengan Melisa, besar kemungkinan ada sangkut-pautnya dengan seorang wanita. Dan Alex yakin, wanita itu adalah wanita yang terus menerus dihubungi Rafael sepanjang mereka berada di kelab tadi.

Wanita yang mungkin saja sudah berhasil memikat hati Rafael. Luar biasa. Alex ingin sekali bertemu dengan wanita itu. Ia ingin tahu seperti apa wujud wanita yang bisa menyebabkan seorang Rafael Daniswara menjadi begitu kacau dan gelisah.

Tiba-tiba, Zak yang tadi sudah menutup mulutnya, kembali mengeluarkan pendapat atau ketidak-puasannya terhadap Rafael.

"Gue bingung sama Rafa. Apa coba kurangnya Melisa? Udah cantik, pintar, baik juga. Ahh, heran gue. Cara kerja otak tu anak gimana sih? Sayang banget kan. Kalo gue ya, Lex. Dijodohin sama Melisa, gue gak bakalan pake nunggu lama-lama, langsung gue ajak nikah si Melisa." Zak terkekeh.

Sejujurnya, apa yang dikatakan Zak tidak salah. Melisa itu bisa dibilang, wifeable banget. Melisa punya kualitasi tinggi untuk dijadikan seorang istri.

Sebagai seorang pria, Alex saja menganggap Melisa itu tipe wanita yang sempurna diajak menikah. Tapi entahlah, itu sih menurutnya. Bukan menurut Rafael.

Setiap orang kan punya preferensi yang berbeda-beda. Lagian, sempurna dijadikan istri belum tentu juga sempurna dijadikan sebagai pasangan hidup.

"Rebut aja kalo lo suka, Zak." ujar Alex setengah bercanda dan setengah serius.

"Pengen. Tapi lo tau kan, Melisa cinta mati sama Rafa. Dan gue gak mungkin ada peluang." Zak menghembuskan nafas berat. Pasrah dengan cintanya yang bertepuk sebelah tangan.

"Lo laki? Usaha juga belum udah nyerah duluan." sindir Alex namun memberi semangat.

Zak sudah dari dulu tertarik dengan Melisa.  Sayang,  mata dan hati wanita itu hanya tertuju pada Rafael seorang.

"Usaha? Lo pikir gue gak mau, apa? Lo tau sendiri gue diam-diam suka sama Melisa. Lo juga tau kalo si Rafa juga tau. Tuh anak malahan terang-terangan ijin gue ngedekatin tunangannya. Gila kan dia. Kalo gue cuma pikir perasaan gue sendiri, gak mikir perasaan Melisa, udah dari dulu gue usaha. Gue juga udah tau akhir gue sama Melisa gimana, Lex. Daripada gue sakit hati, mending gue lupain, Lex." Zak mencurahkan isis hatinya.

Alex melirik Zak dari sudut matanya lalu menghembuskan nafas panjang.

'Ahhh, what a mess.'

"Lo tau Lex, bener kata orang. Terkadang, cinta itu gak harus memiliki. Lo ada di sisi orang yang lo sayang aja itu udah cukup. Yaa, walaupun sakit, lo bakalan happy kok, liat orang yang lo sayang bahagia." kata Zak bangga.

"Cuihh.. Lo kutip dari mana tu kata-kata?" ledek Alex tersenyum kecil.

'Cinta, huh?' Batin Alex sembari mendengus.

'Gue udah gak percaya lagi dengan namanya cinta, Zak.'

***

Jam sudah menunjukan pukul sembilan ketika Alex tiba di kantornya. Ia menyesap sampai habis Americano yang ia beli di starbucks tadi dan dengan satu lemparan dari tangannya, membuangnya ke tempat sampah.

"Selamat pagi, Pak." suara parau seorang wanita menyapa Alex saat hendak masuk ke dalam ruang kerjanya.

Alex mengerutkan dahi saat melihat penyapa tersebut. "Ada apa dengan mata kamu?"

"Ah, ini? Alergi pak." Delilah berbohong.

"Alergi?" Alex menatap mata Delilah lekat.

"Iya, pak." Jawab Delilah sekali lagi tanpa menjelaskan.

'Alergi katanya? Dia pikir aku bodoh? Sweetheart, aku tahu mata bengkak merah mu ini karena habis menangis. Tapi, apa yang membuat dia menangis?' Terka Alex sembari bertanya-tanya dalam hatinya.

Alex pun mulai berasumsi sendiri. 'Jangan bilang dia menangis karena menyesali keputusannya untuk menikah denganku. Oh, No. Bisa gawat kalo begitu.' Batin Alex khawatir

"Pak, pak Alex…" suara Delilah membuat Alex tersadar dari lamunannya.

"Ha, ada apa?" tanyanya mengerjapkan mata.

"Anda baik-baik saja?"

"Memangnya ada apa dengan saya?" Alex merasa bingung dengan pertanyaan sekretarisnya itu.

"Ah, Itu. Saya panggil bapak dari tadi. Tapi bapak tidak menjawabnya." jelas Delilah

Alex kembali memandangi wanita itu mencoba memperhatikan ekspresinya dan siapa tahu bisa membaca pikirannya. Normal.  Alex menghembuskan nafas lega. Ia takut sekretarisnya ini akan membatalkan kesepakatan mereka lagi.

'Apa mungkin mata bengkaknya karena alergi? Tapi kok, ah, sudahlah. Yang terpenting Delilah tidak berbuah pikiran.'

Alex lantas berbalik dan berjalan ke arah ruang kerjanya. Tiba-tiba ia menghentikan langkahnya dan membalikan badannya. "Ke ruang kerja saya. Ada yang ingin saya bicarakan." sahutnya pada Delilah.

Dengan sigap, Delilah mengikuti Alex dari belakang.

Di dalam ruang kerjanya, Alex mempersilahkan Delilah duduk. Tanpa berlama-lama Alex pun mengutarakan apa yang ingin dibicarakannya itu pada Delilah.

"Saya mau kita menikah secepatnya." tegas Alex serius dengan omongannya.

"Maksud bapak secepatnya apa?" Delilah terpengarah.

"Saya mau kita menikah bulan depan."

"Apa? Bulan depan? Apa itu tidak terlalu cepat, pak?" tanya Delilah belum siap.

"Bulan depan itu termasuk waktu yang lama bagi saya. Saya sebenarnya ingin kita melangsungkan pernikahan kita itu dua minggu depan. Tapi mengingat kamu, saya memperpanjangnya menjadi satu bulan." jelas Alex merasa sudah berkorban.

Mata Delilah terbuka lebar. Seolah tak percaya dengan apa yang baru saja Alex  katakan. Alex menatap Delilah sedikit tidak suka.

'Apa? Terlalu cepat? Dia sudah tahu kalo aku harus  secepatnya menikah karena kondisi eyang. Apa maksudnya reaksinya ini? Dia ingin menolakku? Tidak akan ku biarkan!' Batin Alex bertekad.

"Baiklah. Tapi saya punya beberapa syarat tambahan."  tandas Delilah.

"Syarat? Bukannya kemarin sudah?"

"Oh, saya punya beberapa syarat lagi. Tunggu sebentar." Delilah bangkit beridir dan berjalan keluar dari ruangan Alex.

Tak lama, wanita itu kembali dengan secarik kertas di tangannya.

Alex mengernyit saat sekretarisnya itu memberikan kertas HVS berwarna putih dengan tulisan-tulisan di atasnya padanya.

"Ini apa?" tanya Alex  belum melihat dan membaca isi kertas yang diberikan Delilah itu.

"Itu syarat saya."

"Ini syarat kamu?" Alex mengangkat kertas HVS itu sejajar pundaknya dan mulai membaca isinya dengan teliti.

"Hm."

Syarat kawin kontrak Alex & Delilah

1. Harus saling menghargai dan menghormati.
2. Tidak boleh jatuh cinta.
3. Sentuhan seperti pelukan, pegangan tangan dan ciuman hanya diperbolehkan jika diperlukan.
4. Tidak berhubungan dengan orang lain saat menikah. Dalam hal ini lawan jenis.
5. Tidak ikut campur dalam urusan pribadi masing-masing.

Jika melanggar  syarat di atas, pelanggar akan dikenakan denda sebesar  Rp. 100.000,000.

Tertanda

Alex                                    Delilah

"Ini saja?" tanya Alex menatap Delilah sembari mengibaskan kertas HVS yang berisi syarat kawin kontrak mereka.

"Ya. Itu saja, pak."

Dengan nyaring Alex mulai membaca syarat yang diberikan Delilah padanya, "Syarat kawin kontrak Alex dan Delilah. Satu. Harus saling menghargai dan menghormati. Oke."

"Dua. Tidak boleh jatuh cinta." Alex diam sesaat memikirkan sesuatu lantas berucap, "Oke. Tidak masalah bagiku. Tapi bagaimana kalau kamu yang jatuh cinta dengan saya?" tanyanya menggoda Delilah.

Dengan cepat Delilah langsung membantahnya, "Tidak mungkin pak, sudah saya bilang bapak bukan tipe saya."

'Ughhh,  itu lagi. Aku hanya bercanda.'

Mendengar lagi Delilah mengatakan bahwa dirinya ini bukan tipe wanita itu, Alex merasa tidak senang dan berpikir ada yang salah dengan kriteria pria idaman sekretarisnya ini.

'Apa coba yang salah denganku? Wajah, ada. Uang juga, ada. Terus kenapa aku gak masuk tipe dia? Ah, persetan dengan itu.'

Alex lalu melanjutkan membacanya. "Ketiga. Sentuhan seperti pelukan, pegangan tangan dan ciumana hanya diperbolehkan jika diperlukan."

Dia menatap lama syarat nomor empat. "Ciuman bisa?"

"Hanya di pipi saja." ucap Delilah serius.

Mendadak mata Alex tertuju pada bibir merah Delilah. Tanpa sadar, sudut-sudut bibirnya membentuk seulas senyuman.

"Hanya di pipi, huh?" ucapnya pelan lebih kepada dirinya sendiri.

"Keempat. Tidak berhubungan dengan orang lain saat menikah." Alex menarik pandangannya dari kertas putih itu lalu mendongak menatap Delilah. "Ini wajib." titahnya setuju.

"Saya harap bapak tidak melanggarnya,"

"Kamu pikir saya akan melanggarnya?" tantang Alex.

"Bukan begitu, mengingat bapak yang, ehemm, hmmm..." Delilah nampak ragu menyelesaikan kalimatnya.

"Oke. Oke. Saya tau. Kamu tenang saja. Saya tidak akan melakukannya." Janji Alex.

"Baguslah, pak." Delilah menghembuskan nafas lega.

"Kelima. Tidak ikut campur dengan urusan pribadi masing-masing. Noted!" Alex menganggukan kepala mengerti.

Pandangannya kemudian beralih ke kalimat kalimat selanjutnya. Alex menyipitkan matanya begitu ia membaca kalimat tersebut. "Ini Denda seratus juta maksudnya apa?"

"Maksudnya, jika pak Alex atau saya melanggar syarat di atas, pelanggarnya harus membayar denda pada orang yang bersangkutan."

"Oh, jadi maksud kamu jika kamu jatuh cinta dengan saya kamu harus membayar denda seratus juta pada saya?" Alex menyeringai menggoda Delilah lagi.

Delilah mengangguk cepat. Tapi sedetik kemudian mukanya berubah masam.

"Sudah saya bilang saya tidak akan jatuh cinta dengan bapak. Dan saya tidak akan mungkin melanggarnya. Bapak tenang saja." ucap Delilah setengah jengkel.

"As you wish. Ini tertanda, ada nama saya, perlu di tanda tangani juga?"

"Perlu. Saya mau ada buktinya. Hitam di atas putih."

Alex lantas mengambil pulpen di atas meja kerjanya dan langsung menanda-tangani syarat tersebut, "Sudah. Ada lagi yang ingin kamu tambahkan selain syarat ini?"

"Tidak ada."

"Tidak ada? Ini saja? Tdak ada yang lain?" tanya Alex memandangi Delilah lekat sembari mengetuk-ngetukan jarinya di atas paha.

"Oh, iya. Saya mau pernikahan kita dibuat sederhana saja."

'Sederhana? Tidak masalah.'

"Oke. Ada lagi?"

"Mm, itu. Alasan kenapa kita menikah. Pasti akan ada orang yang bertanya bagaimana bapak dan saya bisa menikah. Mereka pasti ingin mendengar bagaimana kisah cinta bapak dan saya terjalin." ucap Delilah canggung.

"Oh, kamu benar juga. Kita perlu membuat cerita agar mereka percaya. Hmm, kamu mau ceritanya bagaimana?" Alex memegang dagunya memutar otak.

Dia hampir lupa kalau ia dan sekretarisnya itu perlu mengarang cerita. Cerita tentang kisah cinta mereka berdua. Cerita yang tentunya logis dan mudah dipahami orang yang akan mendengarnya.

??????????

Hayhay guys, akhirnya diupdate juga. Gimana? suka gak? kalo suka jangan lupa vote dan komennya ya guys. Jika banyak yang suka author kan jadi semangat ngelanjutinnya.
Hmmm, chapter berikutnya diusahain secepatnya, doakan saja author gak malas, ya.

Love
ilz

Share this novel

Ida Yus
2021-10-11 08:43:57 

bagus sangat ceritanya saya suka cerita ini

Ida Yus
2021-10-11 08:43:56 

bagus sangat ceritanya saya suka cerita ini

Ida Yus
2021-10-11 08:43:56 

bagus sangat ceritanya saya suka cerita ini


NovelPlus Premium

The best ads free experience