BAB 4

Romance Completed 102088

Unedited

Walau Delilah sudah bersikeras menolak Alex, namun dengan segala macam iming-iming yang diucapkan pria itu, Delilah akhirnya menerima ajakan menikah dari Alex lagi.

Kesokan harinya, seperti yang direncanakan Alex semula, ia dan Delilah kini sedang menuju rumah sakit tempat eyangnya dirawat.

"Kamu tidak keberatankan jika saya memutar radio?" Alex melirik Delilah dari sudut matanya.

"Silahkan. Ini mobil bapak. Bapak tidak perlu bertanya pada saya." balas Delilah tanpa menoleh ke arah Alex.

Sepanjang perjalan, wanita itu lebih memilih memandangi jalanan ibukota daripada berbicara dengan Alex. Setiap pertanyaan yang diberikan Alex selalu dijawabnya dengan pendek. Delilah seperti enggan berbicara dengannya. Dan jujur saja, itu membuat Alex jengkel setengah mati.

"Kamu kenapa? Bisakah kamu bersikap lebih baik kepada saya? Ingat, saya ini masih bos kamu." tegasnya sedikit marah akan sikap dingin yang ditunjukan sekretarisnya itu padanya.

"Begini ya pak Alex. Saya pengen ngomong soal obrolan kita yang kemarin."

"Soal obrolan kita yang kemarin? Apa yang pengen kamu obrolin?" Alex mengernyit tidak suka akan arah pembicaraan ini.

Delilah merubah posisi duduknya, mencari posisi yang enak lantas menoleh ke arah Alex.

"Begini. Coba bapak pikir deh, saya memang tidak menyukai bapak sekarang. Tapi bagaimana jika nantinya saya mulai tertarik dan jatuh cinta-..."

"Dan jatuh cinta sama saya?" Sela Alex meneruskan kalimat Delilah penuh percaya diri.

Delilah tertawa. Tawa wanita itu seakan menghipnotis Alex. Tanpa ia sadari ujung bibirnya sudah terangkat membentuk sebuah senyuman.

"You wish. Bukan itu. Bapak bukan tipe saya. Jadi kecil banget kemungkinannya saya bisa jatuh cinta sama bapak." Delilah tersenyum mengejek.

Alex sontak terpengarah. 'What? Bukan tipenya?'

"Maksud saya tadi, bagaimana jika nantinya saya tertarik dan jatuh cinta dengan orang lain?" jelas Delilah menyelesaikan kalimat yang dipotong Alex.

Alex tidak mendengarnya. Kata-kata Delilah yang mengatakan Alex bukan tipe pria yang disukai wanita itu terus berputar-putar di kepalanya.

"Kenapa saya bukan tipe kamu?" ucapan Delilah itu sedikit membuat Alex merasa kecewa.

Delilah memutar matanya dongkol. "Yang bapak tangkep dari apa yang saya omingin barusan hanya bapak bukan tipe saya? Dan bapak ingin tahu kenapa bapak bukan tipe saya?" Delilah mulai kesal.

"Mm. Kenapa saya bukan tipe kamu? Memangnya kenapa dengan saya?" tanya Alex lagi ingin tahu.

'Sialan. Baru kali ini ada wanita yang mengatakan kalo aku ini bukan tipenya. Dan dia juga mengatakannya tepat di depan wajahku.'

"Bapak baik-baik saja. Hanya saja bapak bukan tipe pria ideal saya. Hanya itu." jawab Delilah jujur.

Alex mendengus masih tidak percaya bahwa dia tidak termasuk ke dalam tipe pria ideal Delilah. "Terus tipe pria idealmu itu seperti apa?"

"Yang pasti bukan seperti pak Alex,"

Sh*t!

Delilah melirik pria yang sedang duduk di balik kemudi itu. Ia takut kalau perkataannya tadi sudah menyinggung perasaan Alex.

Tiba-tiba Alex menepikan mobilnya. Dan jantung Delilah mulai berdegup dengan kencang.

'Aduh. Tuhkan, dia pasti tersinggung. Del.. Del.. Punya mulut tapi kok gak bisa di jaga sih..'

Masih memegang setir mobil, Alex memiringkan badannya ke arah Delilah dan menatap wanita itu lekat.

"Begitu. Jadi tipe pria idaman kamu itu yang bukan seperti saya? Ganteng, kaya dan sexy?"

Sial. Rasa-rasanya Delilah ingin muntah. Bisa-bisanya atasanya ini mengatakan hal seperti itu?

"Sekarang saya tahu. Jadi tipe pria idamanmu itu kebalikan saya. Oke. Saya mengerti. Dan untuk jawaban pertanyaan kamu, begini saja. Demi kenyamanan kita berdua selama kita menikah, sebaiknya dalam kontrak kita, kita tambahkan satu syarat lagi. Yaitu kita berdua tidak boleh menjalin hubungan dengan orang lain selama kita belum berpisah."

Delilah memberengut, mempertimbangkan ucapan Alex. "Tapi bagaimana jika bapak tertarik dan jatuh cinta denga saya?" Ucapnya dengan wajah datar.

Alex terbatuk-batuk sebelum ia tertawa keras. Jawaban dari pertanyaanya wanita itu adalah sangat tidak mungkin.

Tertarik? Mungkin iya. Tapi jatuh cinta? Alex bahkan tidak tahu jika hatinya ini mampu merasakan cinta lagi atau tidak.

"Kamu tenang saja soal itu. Kecil kemungkinannya juga saya bisa jatuh cinta sama kamu." Alex menjawab Delilah dengan jawaban yang diberikan perempuan itu tadi kepadanya. "Kamu juga bukan tipe saya jadi tenang saja."

***

"Eyang. Alex dateng lagi, eyang." kata Alex saat masuk ke dalam kamar eyang di rawat.

"Delilah juga ikut?" seru Sean begitu gembira begitu melihat Delilah mengekor di belakang Alex.

Delilah adalah sekretaris cucunya yang paling ia sukai. Selain Delilah profesional dan pekerja keras, Sean juga dapat melihat bahwa Delilah berwatak baik.

"Maaf saya baru bisa berkunjung sekarang, pak." Delilah menundukan kepala memohon maaf.

"Kamu tidak perlu minta maaf. Sekarangkan kamu sudah disini," Sean tersenyum ramah. "Alex memperlakukanmu dengan baik, kan?"

"Iya. Pak Alex memperlakukan saya dengan baik. Pak Alex juga baik pada karyawan-karyawannya yang lain." puji Delilah.

Sean menganggukan kepala puas dengan jawaban Delilah. Alex lumayan terkejut ketika mengetahui bahwa eyang ternyata kenal baik dengan Delilah. Eyang juga terlihat sangat menyukai sekretarisnya itu. Ia bahkan tak tahu kalau hubungan mereka berdua begitu akrab.

Alex lantas mulai membicarakan proyek barunya dengan eyang. Dari pekerjaan sampai ke hal-hal kecil, semua dibahas mereka. Delilah hanya menjawab dan menambahkan jika dirinya ditanya atau diperlukan. Dari pengamatan Delilah, ia mengerti mengapa atasannya itu begitu menuruti keinginan Williams senior. Kedekatan antara cucu dan kakek itu membuat Delilah terharu. Ah, dia rindu dengan kakeknya.

Merasakan sudah cukup lama ia dan Delilah menemani eyang di rumah sakit, Alex akhirnya berpamitan. Selama menjenguk eyang, Alex tidak memperkenalkan Delilah sebagai calon istrinya pada eyang. Ia berniat untuk memberikan eyang kejutan.

Kini hanya tinggal mereka berdua saja. Saat ini Alex sedang mengendarai mobilnya menuju apartemen Delilah untuk mengantar pulang sekretarisnya itu.

"Saya tidak tahu kalau kamu ternyata akrab dengan eyang." ucap Alex memecahkan keheningan.

"Pak Sean orangnya baik. Setiap kali beliau datang berkunjung melihat bapak, beliau pasti akan menyisihkan waktunya meski hanya sebentar saja untuk mengobrol dengan saya. Bapak beruntung punya eyang seperti beliau."

"Ya. Saya beruntung. Dan karena itu, saya tidak mau mengecewakan beliau." Gumam Alex sedih mengingat kondisi eyangnya.

"Jadi, apa yang kamu bicarakan dengan eyang sewaktu saya pergi meninggalkan kalian berdua tadi?" tanya Alex penasaran.

"Tidak ada yang serius. Hanya obrolan ringan."

Alex tidak percaya dengan jawaban Delilah. Tadi, saat ia meninggalkan mereka berdua ketika menerima panggilan telepon, raut wajah mereka berdua masih kelihatan baik-baik saja. Namun begitu dia kembali, mata eyang sudah sembab dan berair. Seperti orang yang baru habis menangis. Dan itu membuat Alex bertanya-tanya apa yang mereka berdua bicarakan tadi.

Suara Chris Martin, vokalis dari band Cold Play, lagi-lagi terdengar memenuhi mobil Alex. Alex melirik Delilah sekilas. Ini sudah ke delapan kalinya ponsel wanita itu berbunyi. Alex bahkan sampai menghitungnya. Dan seperti yang dilakukan wanita itu sebelumnya, ia memutuskan panggilan teesebut.

'Siapa sih yang menelponnya? Dan kenapa juga dia tidak mau mengangkatnya?'

Alex sempat bertanya kenapa dia tidak mengangkatnya saja dam Delilah menjawabnya bahwa nomor sang penelpon tidak dia kenal. Salah sambung.

Karena bukan urusan Alex, ia tidak mau ikut campur dan hanya bisa menerima jawaban yang diberikan sekretarinya itu.

Counting Star dari Coldplay terdengar dari dalam kantung celana Alex. Yup, tidak disangkah ternyata mereka berdua memiliki selera musik yang sama. Mata pria itu menyipit begitu melihat siapa yang sedang menelponnya kini.

"Hallo?"

"Man, gue kira lo udah mati. Lama banget ngangkatnya. Lo dimana?" tanya Zakari. Salah satu sahabat baik Alex.

"Di jalan. Ngapain lo nelpon gue?" balas Alex sembari memperhatikan mobil yang ada di depannya.

"Lo kesini deh cepetan. Tempat biasa. Si Rafa ngajakin kita ngumpul. Kayaknya tuh anak lagi galau berat."

"Oke."

**

Selain keluarganya, Zakari Wiranto dan Rafael Daniswara merupakan dua orang yang sudah sangat mengenal Alex luar dalam. Mereka berdua adalah teman baik Alex. Sama seperti Alex, Zak dan Rafael juga merupakan pengusaha sekaligus pimpinan perusahan mereka. Karena tumbuh di lingkungan yang sama dan sering berpapasan, mereka bertiga akhirnya berteman. Dan dari pertemanan, persahabatan pun mengikutinya.

Baru saja Alex mematikan panggilan teleponnya, ponselnya kembali berbunyi. Siapa lagi penelponnya kalau bukan Zak.

"Lo ngapain tutup telpon gue? Gue belum selesai ngomong. Kejam amat lo, Lex." ucap Zak terdengar sedih. Sengaja dibuat-buat.

"Lah? Bukannya elo udah lama tau kalo gue ini orangnya kejam? Apalagi kalo sama elo. Gue lebih beringas, bro." seloroh Alex terkekeh.

"Sialan lo, Lex. Lo cepetan deh kesini."

Tut. Tut. Tut. Tut..

'Sialan banget tu anak, pakai balas dendam segala lagi. Awas lo, ya.'

Kali ini Zaklah yang memutuskan panggilan telepon. Bukan Alex.

"Saya tidak tahu kalau bapak ternyata bisa seperti ini juga," Delilah yang sedari tadi hanya diam memperhatikan, menyampaikan pikirannya.

Atasannya itu dari kemarin tidak berhenti membuatnya terkejut. Delilah sampai tidak percaya akan apa yang baru saja ia saksikan tadi.

"Seperti ini? Maksud kamu apa?"

"Berbicara lepas seperti apa yang bapak lakukan tadi dengan teman bapak. Selama saya bekerja dengan bapak, saya tidak pernah melihat bapak tertawa dan bercanda seperti barusan yang bapak lakukan. Apa yang bapak lakukan tadi sudah membuka mata saya. Ternyata bapak juga seorang manusia biasa." jelas Delilah dengan polosnya.

Jawaban terus terang dari sekretarisnya membuat Alex tidak bisa menahan senyumnya. Alex tersenyum kecil. Tidak menyangka kalau sekretarisnya ini ternyata bisa melawak juga.

"Kamu pikir saya ini apa? Alien? Monster?"

"Bukan begitu. Hanya saja, sikap dan prilaku bapak di kantor membuat orang-orang takut mendekati bapak. Dan bapak juga terlihat seperti orang yang tidak mau didekati."

"Begitu? Memangnya sikap saya bagaimana di kantor? Yang saya ingat, saya selalu bersikap selayaknya saya ini manusia biasa juga." ujar Alex setengah bercanda menggoda Delilah

'Mereka pikir aku ini jelmaan alien apa?' Batin Alex menggerutu.

"Manusia? manusia batu mungkin." gumam Delilah tanpa sadar mengatakan isi pikirannya.

Ini bukan kali pertama Delilah keceplosan mengatakan isi hatinya. Alex yang semula ingin memarahinya tiba-tiba mengurungkan niatnya begitu melihat raut wajah Delilah yang sudah ketakutan.

"Maaf, pak Alex. Tolong hiraukan apa yang saya katakan tadi. Itu bukan untuk bapak. Itu untuk saya." kilah Delilah.

Bibir Alex berkedut. Ia ingin tertawa. "Untuk kamu?"

"Iya, pak." Angguk Delilah cepat.

"Jadi kamu manusia batu?" goda Alex melirik wanita yang sedang duduk di sampingnya itu.

"Iya, pak. Manusia batu disini maksud saya, manusia jaman dulu. Saya manusia jaman dulu." Delilah mulai meracau. "Jadi pak, saya-"

"Delilah," Alex menyela Delilah. "Kamu tidak perlu berbohong. Saya tau apa yang kamu ucapkan tadi untuk saya. Dan saya sama sekali tidak marah."

Alex sadar bahwa ia memang jarang sekali memperlihatkan emosinya. Apalagi di kantor. Alex sengaja membuat citranya seperti itu. Ia tidak suka orang-orang menganggap enteng dirinya sebagai pimpinan perusahan Williams Enterprise karena usianya yang masih tergolong muda. Ia tidak mau dianggap orang yang mudah diperdaya dan penurut. Karena itu, Alex selalu bersikap tegas dan dingin pada semua karyawannya.

"Benar bapak tidak marah? Bapak tidak akan memecat saya, kan?"

"Tidak mungkin saya akan memecat calon istri saya," balas Alex sembari tertawa kecil.

Muka Delilah langsung merona merah saat mendengar ucapan Alex barusan.

'Calon istri? Oh, God...'

Delilah tidak bisa membayangkan akan seperti apa hidupnya setelah ia menikah dengan Alex.

??????????

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience