(POV Danar)
Si Kembar. Itu panggilan yang sering kami dengar sewaktu kecil. Tidak perduli apakah aku atau Dinar yang mereka panggil, selalu dipanggilnya kembar.
Tidakkah mereka bisa menghargai kami sebagai sebuah individu?
Ah, tidak semua sih. Bapak selalu memanggil kami sesuai nama. Ibu mencari cara aman. Memanggil Nar. Dia tidak perlu takut panggilannya salah. Toh, ucapan berikutnya selalu rutin setiap hari.
Sudah makan?
Pulang sekolah, jangan lupa ngarit. (Mencari rumput).
Ayamnya dikasih makan belum?
Main jangan jauh-jauh. Sebelum Bapakmu pulang, pulang dulu. Nanti dimarahin Bapak lho.
Ibu tidak peduli siapa yang nanti akan mengerjakan perintahnya. Pokoknya pekerjaan yang dia suruh beres.
Ada untungnya juga sih. Karena seringnya Dinar yang mengerjakan semua, jadi aku bisa bebas main. Intinya, selama Bapak tidak tahu, semua beres.
Diva si pemalas, sama saja seperti Ibu. Dia tidak mau repot-repot membedakan kami. Kata Mas sudah cukup mewakili kami berdua. Apalagi, kami juga jarang mengobrol. Kecuali ada hal penting yang harus dibicarakan. Contohnya.. Hm... Hm..
Ah pokoknya pernah lah kami mengobrol.
Apa belum pernah ya?
Si bungsu Titik, akan melihatku seksama sebelum memanggil.
Yah, dia seperti Bapak. Memanggil nama.
Aku sebenarnya sayang sama Titik. Anaknya baik, rajin dan suka aku minta bantuan menjahit bajuku. Entah kenapa, bajuku sering sekali hilang kancingnya atau robek. Jahitannya juga rapi, bekas jahitan tertutup rapat. Kalau bekas jahitan susah disamarkan, Titik akan berusaha menempel atau menutupi dengan suatu bentuk. Pokoknya Titik bisa aku andalkan.
Karena sayang itulah, makanya aku suka meledek dia. Membuat dia cemberut itu kesukaanku. Sayangnya Bapak tidak sependapat denganku. Beliau selalu marah setiap mendengar aku meledek Titik.
Padahal ledekanku tidak separah ucapan Ibu ke Titik. Parah kalau Ibu mah. Pakai bawa-bawa fisik. Body shaming asli.
Bagaimana dengan Dinar? Dia itu profil hampir sempurna dari anak baik. Hampir, ya. Bukan sempurna. Karena kesempurnaan hanyalah milik Tuhan. Asyyeek. Mantap kan?
Bukan berarti aku nakal, lho. Aku hanya iseng. Aku masih ingin menikmati masa remajaku. Tidak hanya sibuk belajar dan membantu orang tua. Apalagi sebentar lagi kami lulus SMA. Aku masih bingung mau ambil jurusan apa nanti saat kuliah. Dinar sendiri sepertinya sudah pasti. Dia ingin ambil kuliah hukum, lanjut advokat, ikut ujian advokat lalu jadi pengacara. MagangĀ di Kantor Hukum Assegaf and Partners. Mengumpulkan uang, melanjutkan pendidikan ke Fakultas Hukum Leiden University. Itu yang dia tulis di kertas manila putih dan dia tempel di atas meja belajarnya. Semua langkah Dinar sudah tertata tahap dan prosesnya. Cita-citanya ingin bisa menjadi Wichai Thongthan Indonesia. Walau aku sendiri tidak tahu siapa Wichai Thongthan, tapi kalau sampai dia masuk dalam rencana hidup Dinar, pasti dia orang hebat. Semangat ya bro!!! Semoga cita-citamu tercapai.
Aku sendiri tidak ingin menjadi pekerja. Aku ingin punya usaha sendiri. Biarpun nilai raportku selalu di bawah Dinar, tapi otakku sebenarnya cukup encer. Nilaiku masih di atas 8.
Hampir semua kekacauan dan keisengan yang terjadi di sekolah adalah buah pemikiran ku. Tentu saja meminjam tangan orang lain untuk melaksanakannya. Ada yang bilang aku cerdik. Ada juga yang bilang aku licik. Kalau aku bilang, aku hanya ingin membantu agar suasana sekolah yang monoton dan membosankan bisa menjadi lebih ceria dan seru.
Agar ada yang bisa dibahas saat reuni nanti. Ada yang bisa diceritakan kepada anak cucu. Toh, selama ini semua yang kulakukan tidak masuk tahap kejahatan dan mengancam nyawa.
Kembali ke cita-cita. Kira-kira apa ya karir yang cocok buatku? Ah, sebaiknya aku tanya Bapak.
(POV Dinar)
Hidupku? Biasa saja. Seperti anak laki-laki lain di desaku. Aku sibuk mempersiapkan diri untuk ikut ujian masuk Perguruan Tinggi.
Target ku adalah kampus negeri di kota Y.
Aku dengar fakultas hukum di kampus tersebut terbaik di Indonesia.
Aku yakin tidak mudah lolos masuk ke sana. Apalagi buatku yang tidak ikut bimbingan belajar di manapun.
Tidak mudah, bukan tidak mungkin. Makanya aku membuat bagan perencanaan yang matang sejak aku masuk SMA.
Aku cukup dibantu guru dan bapakku saat membuat perencanaan ini.
Termasuk target materi apa saja yang harus aku pahami dalam setiap minggunya.
Target tersebut tanpa mengesampingkan tugasku untuk mendapatkan nilai bagus di semua pelajaran dan tugas membantu orang tua di rumah.
Sebenarnya tugas yang dibebankan Ibu di rumah hanya satu: Ngarit (mencari rumput). Asal stok rumput buat kambing melimpah, Ibu tidak akan komplain apa yang aku lakukan. Tapi kalau masih sempat, aku akan berusaha membantu Titik menyelesaikan tugasnya. Aku merasa, Ibu tidak adil membebani tugas kepada adik bungsuku itu. Aku juga agak kesal dengan Danar dan Diva yang tidak ada usaha membantu Titik.
Danar pernah bertanya kepadaku, "Kamu memang tidak stress dengan semua targetmu itu? Apakah itu benar semua bisa kamu capai? Kalau kamu ndak lolos tes masuk bagaimana? "
Aku hanya meliriknya, dan tanpa menghentikan membaca bukuku, aku menjawab, "Aku tidak akan membuat target ini, jika aku tidak yakin bisa mencapainya. Hidupku di masa depan taruhannya. Kalau ndak lolos... Aku juga sudah punya plan B dan plan C. Tetapi aku harap aku tidak perlu memakai plan itu. "
Danar berhenti bertanya kepadaku. Tapi dari sudut mataku, kulihat mata Danar seperti menerawang jauh. Mungkin dia mulai memikirkan kata-kataku. Syukurlah, semoga dia bisa lebih serius dan fokus dengan cita-citanya. Umurnya sudah 17 tahun. Sudah bukan masanya hanya sibuk bermain dan bersenang-senang. Tidak selamanya Bapak akan membiayai hidupnya.
Hari ini hari pertama tes ujian masuk. Kemarin Bapak menemani kami mencari kost harian murah di kota Y. Setengah jam perjalanan naik bis dari tempat ujian. Kalau mencari penginapan dekat kampus, kami bisa-bisa harus membayar dua kali lipat. Aduh, rasanya sayang duitnya. Bapak harus menabung bertahun-tahun untuk memuluskan langkah kami untuk kuliah. Belum tahun depan Diva menyusul lulus SMA. Kami tentu harus berhemat setiap rupiahnya.
Ternyata kami tidak berangkat naik bis. Bapak menyewa sebuah mobil kijang dari penduduk setempat, karena tidak mau kami terlambat ujian. Terimakasih, Bapak. Betapa banyak pengorbananmu buat kami. Aku semakin bertekad harus lolos tes kali ini.
Akhirnya dua hari tes sudah kami lalui. Sekarang hanya doa yang bisa kami panjatkan, semoga aku dan Danar bisa lolos tes dan kuliah di fakultas yang kami idam-idamkan.
(POV Danar)
Mataku nanar melihat hamparan sawah di bawah. Sesekali mobil dan truk lewat melalui jalan desa yang dibangun membelah sawah menjadi dua. Beberapa motor yang dinaiki berboncengan oleh anak berseragam SMA tampak sedang parkir di depan sebuah warung nasi. Senyum ceria dan kebahagiaan tampak terpancar dari wajah mereka.
Dulu aku juga seperti itu. Setiap hari kuhabiskan untuk bersenang-senang dengan temanku. Wajarlah kalau persiapan ku kurang. Wajar lah kalau aku gagal.
Terbayang peristiwa tadi pagi. Jam enam Bapak buru-buru pergi ke kecamatan mencari koran pagi di kios. Hari ini hari pengumuman hasil ujian masuk perguruan tinggi.(SPMB).
Setiba Bapak di rumah, bergegas Bapak mencari namaku dan nama Dinar.
"Ada... Ada nama Dinar. "
Terlihat nama Dinar Bagas Sulistyo tertulis sebagai salah satu calon mahasiswa di Fakultas Hukum kampus yang dia idamkan.
Bapak lalu sibuk mencari lagi namaku.
Harusnya namaku di urutan lebih dulu dibanding Dinar.
"Wah, kok Bapak terlewat terus ya. Sepertinya kacamata Bapak harus ganti, nih. "
Sudah lima kali Bapak mengulang-ulang membaca pengumuman tersebut.
Aku sentuh bahu Bapak.
"Pak, sudah Pak. Danar sepertinya memang tidak lolos. Maaf, ya Pak. Sudah mengecewakan Bapak. "
Aku mencoba tersenyum walaupun air mata sudah menggenang mendesak ingin keluar.
Dinar menepuk bahuku mencoba menghibur. Kulihat Titik melongokkan mukanya dari dapur dan tersenyum menyemangati.
Bapak memandangku seperti hendak mengucapkan sesuatu. Dia akhirnya memelukku sambil mengusap punggungku.
Belum pernah Bapak memelukku seperti ini. Selama ini, hubungan kami lebih seperti guru dan murid.
"Bagaimana hasilnya, Pak? Mereka keterima tidak? "
Tiba-tiba Ibu masuk sambil membawa kantong belanjaan. Di belakang Ibu ada Diva memegang HP.
"Dinar keterima, Danar belum beruntung, " jawab Bapak.
"Tuh kan, apa Ibu bilang. Kalau ndak nurut sama Ibu itu hasilnya pasti ndak bagus. Sudah dibilang buat apa daftar sekolah pertanian. Kalau mau jadi petani tinggal minta diajarin sama Pak Dullah tuh. Bagaimana caranya biar bisa kaya raya. Jangan cuma asal jadi petani yang hidupnya pas - pasan. Dari awal Ibu sudah bilang ndak setuju kamu sekolah jadi petani. Sayang duitnya. Macul kok pake sekolah. Ndak nurut sama Ibu ya ndak keterima. "
"Uwis tho Bu, kalau ndak bisa menghibur anak yo jangan ngomong bisa ndak? Anak lagi sedih bukannya dihibur malah ngomel, " balas Bapak menjawab Ibu.
Aku berjalan keluar rumah. Aku butuh sendiri saat ini. Bergegas aku ambil sepedaku dari gudang belakang. Kukayuh menuju ke atas bukit. Aku ingin merenung sendiri, tanpa harus membuat Dinar salah tingkah, mau bahagia atas kelulusannya atau ikut berpartisipasi sedih bersamaku. Aku juga tak ingin mendengar emak merepet mengomeliku.
Sudah hampir maghrib. Ternyata aku ketiduran di sini. Perutku juga lapar sekali. Dari pagi perutku belum terisi apa-apa.
Perlahan kukayuh sepedaku melewati jalan yang menurun. Sampai di jalan desa, beberapa kali aku jawab panggilan orang yang menyapa.
Sampai di rumah, lampu sudah menyala terang. Perlahan kubawa sepedaku masuk ke gudang. Aku memilih masuk lewat pintu dapur. Semoga belum dikunci.
Krieeeet.....
Kulihat Titik sedang memindahkan nasi dari kukusan ke tempat nasi. Dia tersenyum melihatku dan berkata, "Mas Danar, tadi aku masak ayam kecap kemangi kesukaanmu, lho. Sudah aku angetin lagi. Mas mandi dulu, sana."
Aku hanya mengangguk sambil menyambar handuk yang dijemur di belakang dapur.
Terimakasih ya Tik, kamu tidak membahas sama sekali soal SPMB.
Bapak ternyata sedang duduk di ruang tamu bersama Dinar. Ah, tentu mereka sedang membahas persiapan untuk kuliah. Mereka berhenti bicara ketika, melihatku.
"Eh, Danar. Baru pulang? " sapa Bapak ramah.
Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Segera aku masuk ke kamar mandi. Baru saja mau menutup pintu kamar mandi, terdengar suara Ibu menggelegar.
"Nar!!! Kamu itu ndak keterima sekolah petani kok malah main. Mbok usaha daftar ke sekolah lain. Ibu kemarin ketemu sama Bu Sani, dia bilang anaknya diterima jadi polisi, dibantu sama Pak Santoso. Kamu tahu Pak Santoso kan? Bapaknya Maemunah, yang kerja di Polsek itu. Katanya cuma bayar, 10 juta sudah pasti diterima. Kamu coba tanya-tanya sana. Kalau 10 juta, Ibu yakin Bapakmu bisa meminjam koperasi. "
"Bu!!! Sampai kapanpun Bapak tidak rela anak Bapak kerja dari hasil nyogok. Jangankan 10 juta, cuma disuruh bayar 1 juta pun Bapak ndak bakal boleh. Lagian Ibu, jangan memaksa anak mengikuti kemauan Ibu. Danar berhak menentukan mau jadi apa dia kelak. Heran sama Ibu. Bukannya kasih semangat malah bikin down anak saja" teriak Bapak sambil menggebrak meja.
Aku hanya bisa menyandarkan punggungku di balik pintu kamar mandi. Suasana hening setelah Bapak menggebrak meja. Sepertinya Ibu takut mendengar kata-kata Bapak. Syukurlah. Aku pusing mendengar Ibu terus berbicara, menyuruh aku jadi PNS, jadi polisi, jadi apapun yang penting pakai seragam dan keren. Jadi "priyayi"Ā istilah Ibu.
Terdengar suara adzan Maghrib dari mushola. Bergegas aku membuka bajuku. Segera kuguyur badanku. Aku ingin ke mushola. Aku ingin sholat Maghrib. Betapa jarangnya aku melaksanakan sholat. Setiap hari pasti ada bolongnya. Hanya sholat Dhuhur di sekolah yang sering aku kerjakan.
Selesai mandi, kulihat makanan sudah selesai dihidangkan di meja makan. Ada Ibu yang sedang menyiapkan piring dan sendok. Titik sepertinya sibuk mencuci bekas masak di belakang.
Aku ambil baju koko ku dari lemari. Baju satu-satunya yang hanya aku pakai saat shalat Jum'at di sekolah. Warna birunya sudah memudar karena sering dicuci. Mulai bulan kemarin, baju ini sudah tidak menjadi seragam hari Jum'at ku lagi, karena aku sudah lulus sekolah.
Terdengar suara iqomat dari mushola. Bergegas aku keluar kamar. Tak kuhiraukan Ibu yang memandangku heran.
"Dengaren (tumben) ke mushola, Nar. "
Untung mushola cukup dekat dari rumah. Hanya butuh 2 menit berjalan kaki. Sedekat ini, tapi aku dulu pergi ke mushola hanya saat tarawih. Itupun paling hanya 10 hari. Selebihnya, lebih banyak ngabisin waktu ngobrol sama teman-temanku di pos ronda.
Saat sampai, ternyata imam sudah mulai sujud rakaat pertama. Terpaksa aku harus masuk satu rakaat.
Selesai aku tambahkan satu rakaat kekurangan ku, aku lihat tinggal beberapa orang tua yang sedang duduk mengobrol di teras mushola. Aku lanjut berdzikir dan berdoa. Kumatikan kipas angin dan lampu sebelum menutup pintu mushola. Sebelum pulang, kusalami satu persatu bapak-bapak yang masih duduk di teras.
Sopan santun harus dijaga. Kan aku bilang, walau aku agak usil di sekolah, tapi aku bukan anak nakal.
"Ini Danar apa Dinar, nih? " tanya Pak Kyai.
"Saya Danar, Yai, " jawabku.
"Masya Allah. Yai senang lihat Danar sholat di mushola. Lain kali, ajak Bapaknya sama Dinar sekalian, " sambungnya sambil tersenyum.
Aku hanya nyengir mendengarnya. Bismillah Pak Kyai, saya saja sedang berusaha untuk bisa istiqomah, belum berani ajak yang lain.
"Ini Danar yang kembar itu? Anak Pak Joko? "
Seorang lelaki muda bertanya kepada Pak Kyai.
"Iya, benar. "
"Wah, sudah besar ya sekarang. Ganteng lagi. Dulu waktu aku berangkat merantau, kalian masih kecil, baru masuk SD. Sudah kelas berapa sekarang?" tanyanya lagi.
"Saya lulus SMA tahun ini, om. "
"Wah, sebentar lagi kuliah dong. Apa mau kerja? "
"Kemarin rencananya kuliah, Om. Tapi ternyata tidak lolos SPMB. Sekarang belum tahu, Om. "
"Oh, yang sabar ya. Yah, sebenarnya kan bisa juga kuliah di swasta kalau mau. Atau mau kerja dulu? Tahun depan bisa mencoba lagi. Atau bisa kuliah sambil kerja. Om dulu begitu. Lulus SMK pengen kuliah, tapi orang tua ndak punya biaya. Akhirnya merantau ke Bekasi, ikut bulek. Eh, alhamdulillah keterima kerja di pabrik makanan. "
Aku sangat tertarik dengan pendapat beliau. "Om, saya bisa ngobrol lebih banyak? "
Semua bapak-bapak di sana tertawa.
"Ha.. Ha.. Ha... Boleh, boleh. Ayo sini. Danar ikut mengobrol. Mungkin dari obrolan kita, ada yang bisa Danar ambil manfaatnya. "
Aku pun larut dalam obrolan bersama mereka. Banyak yang aku tanyakan tentang prospek, untung dan rugi kuliah atau kerja.
Tak terasa waktu Isya' pun tiba. Kami lalu melaksanakan sholat Isya berjamaah dengan warga lain yang berdatangan.
Aku bersyukur sekali memutuskan untuk sholat di mushola. Yah, dari obrolan tadi, aku sudah membuat keputusan, yang aku harap terbaik untuk masa depanku. Semoga Bapak bisa menerima keputusanku ini.
Share this novel