Ratmi bergegas menuntun sepedanya pulang. Jalan yang berkerikil dan menanjak membuatnya langkahnya tidak bisa cepat. Apalagi ada sepatu hugh heels 7 cm dan tas kecil yang harus dia cangklong di leher. Sebuah tas kresek berisi makanan pemberian tetangga yang sedang hajatan juga tercantel di stang sepeda. Keringat bercucuran di wajahnya. Bahkan terlihat punggung bajunya juga basah oleh keringat. Mukapun coreng moreng oleh bedak dan lipstik yang tercampur keringat. Sebenarnya, sudah ada jalan yang di aspal lewat belakang rumahnya. Sayangnya, jalan itu memutar dan lebih jauh.
Akhirnya, sampailah Ratmi di halaman rumah. Langsung dia sandarkan sepeda di bawah pohon jambu. Bunga jambu yang mulai bermekaran, sebagian gugur dan mengotori halaman.
Ratmi menghempaskan tubuhnya di atas kursi kayu di teras. "Tik..... Titik! " teriaknya memanggil anak bungsunya.
"Tik.... Jupuke wedang. Ibu haus ki! " katanya sambil mengelap peluh yang masih bercucuran.
Perjalanan 15 menit naik sepeda di jalan desa dan menuntun sepeda mendaki selama 10 menit sangat menguras tenaganya. Padahal perutnya sudah kenyang diisi berbagai makanan di hajatan.
Di usia hampir 40 tahun, Ratmi masih terlihat sangat cantik. Kulit kuning langsat, mata bulat innocent, alis tebal, hidung bangir ditambah bibir yang mirip Angelina Jolie. Apalagi tubuhnya juga masih ramping layaknya gadis remaja. Ratmi sadar sekali kalau dia cantik. Dia juga cukup senang bila melihat laki-laki terpana melihat kecantikannya. Tapi tidak pernah terbersit keinginan untuk lebih dari itu. No!!
Ratmi sangat mencintai Joko, suaminya.
Joko sendiri perawakannya agak bantat dan tidak bisa dibilang tampan. Bukan, bukan fisik Joko yang membuat Ratmi jatuh cinta. Tetapi pekerjaan Joko sebagai guru PNS di SMA Negeri I.
Menikah dengan Joko membuat Ratmi merasa derajatnya lebih tinggi dibanding saudara perempuannya yang hanya istri petani atau penjaga toko. Pun, dengan saudara laki-lakinya yang cuma mengandalkan sawah warisan. Ratmi merasa menjadi istri priyayi, seperti emaknya dulu yang menjadi istri lurah. Gelar itu buat Ratmi membawa keuntungan sendiri. Contoh kecil saja, saat hajatan tetangga, Ratmi akan masuk jajaran penyambut tamu yang duduk manis di pintu masuk. Tidak perlu berpeluh dan kotor memasak di dapur.
Ratmi mengipasi tubuhnya dengan kipas yang dia bawa. Dia mengenang kembali awal pertemuannya dengan Joko.
Ratmi berasal dari sebuah desa kecil di kabupaten P. Bapaknya adalah seorang lurah. Terdengar keren memang. Golongan priyayi. Tapi menjadi lurah di sebuah desa kecil, dengan pendapatan penduduk rata- rata per bulan dibawah 500 ribu, gelar lurah itu tidak membawa kekayaan baginya. Sawah milik sendiri ditambah sawah bengkok, hanya mampu menghasilkan 10 karung gabah setiap masa panen. Kebun kelapa di belakang juga cuma mampu untuk membayar listrik tiap bulan. Sesekali bapaknya dapat proyek mencarikan pekerja kasar untuk proyek di sekitar desa. Tentu saja pekerja yang tidak rewel dan mau dibayar murah.
Memiliki 11 anak, menyebabkan pak lurah harus pandai mencari sambilan penghasilan. Yang halal tentunya. Meskipun miskin, pantang baginya untuk memberi makan barang haram kepada keluarganya.
Diantara 11 anak, 7 anak adalah lelaki dan 4 perempuan. Tapi, hanya Ratmi yang berkulit kuning langsat dan cantik. Saudaranya yang lain berkulit sawo matang dan berwajah biasa saja.
Suratmi adalah nama lengkap Ratmi. Lahir setelah ketujuh kakak laki-lakinya lahir. Suranto, Sumarno, Suratno, Sumardi, Suyanto, Sunardi dan Sumitro. Setelah Ratmi, emaknya masih melahirkan dua kali lagi. Suyatmi dan si kembar Sundari dan Sumini.
Dibalik kecantikannya, sayang Ratmi memiliki kekurangan dibanding saudara-saudaranya. Dia lebih lambat berpikir dibanding mereka. Tetapi, orang kan yang pertama dilihat adalah penampilan bukan?
Kecantikan memang bermanfaat membuat orang suka dan memperhatikan. Tetapi tidak bisa membantu menaikkan nilai ujian. Setiap tahunnya raport Ratmi selalu dihiasi angka merah. Jabatan bapaknya sebagai lurah lah yang menyelamatkan dia dari tidak naik kelas. Keberuntungan itu tidak berpihak padanya saat SMP. Lokasi SMP yang berada di kecamatan, membuat pengaruh bapaknya yang cuma lurah di desa kecil tidak sampai ke sana. Akibatnya, dua kali Ratmi harus mengulang kelas. Diapun akhirnya lulus SMP bareng adiknya, Suyatmi.
Kontras sekali kondisinya. Yatmi lulus dengan predikat siswa terbaik dan nilai NEM tinggi, sedang Ratmi lulus dengan nilai terendah. Tapi kan yang penting lulus.
Dua kali mengulang kelas membuat Ratmi malu dan menyerah. Dia menolak melanjutkan ke SMA.
" Wegah mak, aku mau mbojo (menikah) saja." kata Ratmi ketika disuruh mendaftar SMA.
Bapak dan emaknya juga tidak memaksa. Mereka paham kesulitan Ratmi dalam belajar. Tapi mereka tidak sampai hati kalau hanya Ratmi yang lulus SMP sedang saudaranya yang lain lulus SMA. Bagaimana kalau nanti kedepannya Ratmi merasa iri dan terjadi masalah?
Emak akhirnya memutuskan, hanya anak lelaki yang sekolah sampai SMA. Anak perempuan cukup SMP saja. Apalagi anak lelakinya sudah lulus SMA semua, bahkan saat itu Suranto, Sumarno, Suratno, Sumardi dan Sumitro sudah menikah dan punya anak.
Bapak hanya bisa menyetujui keputusan Emak. Dari dulu memang seperti itu. Bapak memang kelihatan garang dan tegas di lur rumah, tetapi di dalam rumah, emak lah yang berkuasa. Kalau zaman sekarang mungkin di bilang bucin.
Keputusan tersebut sangat mengecewakan anak perempuan yang lain terutama Yatmi. Dia berusaha keras belajar selama ini, untuk mengejar cita-citanya menjadi dokter. Yatmi terus membujuk emak dan bapaknya. Dia bahkan berjanji akan membiayai sendiri sekolah SMA dan kuliahnya nanti.
Yatmi bisa seoptimis itu karena dia sudah berkonsultasi dengan gurunya, Bu Lastri. Bahwa dengan kecerdasan Yatmi, Bu Lastri akan membantu mencarikan koneksi untuk kerja sampingan. Bu Lastri adalah lulusan kampus negeri di kota Y. Di kota Y banyak kenalan Bu Lastri yang menginginkan anaknya diles privat. Bu Lastri juga punya koneksi teman yang punya restoran ataupun toko. Yang dibutuhkan Yatmi hanya ijin dan restu orang tua. Karena Yatmi tidak mau dianggap membangkang dan durhaka.
"Ndak usah ngotot, Yatmi! Buat apa tho? Nanti sekolah tinggi bikin kamu jadi sombong. Lha wong kakak laki-lakimu juga cuma lulus SMA. Semugih. Mau kuliah segala. Biar apa? Biar dibilang paling pinter? Anak perempuan kok neko-neko. Yang penting itu bisa jadi istri baik, ngelayani suami, masak, bikin anak, sudah. Sudah kodrat perempuan kayak gitu. " omel emak kepada Yatmi.
Yatmi hanya bisa menangis meratapi nasib.
Kedatangan Bu Lastri untuk membujuk emak dan bapak pun disambut kemarahan oleh emak.
"Nuwun sewu nggih Bu Guru. Jenengan pikir kami tidak mampu sekolahin Yatmi? Kami sanggup, Bu. Tapi Ratmi juga ndak nglanjutin sekolah, apa salahnya adik-adiknya berempati. Toh, anak perempuan ini. Ntar kalau nikah juga suaminya yang tanggung jawab. "
2 bulan kemudian, Yatmi dinikahkan dengan Wiranto. Sebenarnya Wiranto ingin melamar Ratmi, tapi emak menawarkan sama Yatmi saja. Untungnya Wiranto mau.
"Yo eman-eman kalau Ratmi nikah sama Wiranto. Cah ayu e. Cocoknya dapat priyayi, bukan pelayan toko. Sawah juga cuma punya dua petak, gak punya sapi, masih harus ngurusin bapake yang sakit lagi. Ilang ntar ayune Ratmi. "
Yatmi cuma bisa menangis di kamarnya mendengar ini. Memang dari kecil, Ratmi diperlakukan beda oleh emaknya. Emak melarang Ratmi mengerjakan pekerjaan yang berat-berat. Bahkan emak melarang Ratmi membantu di sawah saat tandur dan panen.
"Sayang kulitmu, nduk. Takut gosong. "
Ratmi juga yang tiap lebaran dibelikan baju baru. Alasannya, nanti juga lungsurannya bisa buat adiknya.
Untunglah, adik-adiknya tidak protes akan hal tersebut. Atau mungkin protes dalam hati.
Ratmi sangat apik menjaga barang-barangnya, sehingga saat dilungsur, semua barangnya masih bagus. Yah, sebenarnya Ratmi tidak jahat. Dia senang berbagi ke adik-adiknya. Perlakuan beda emak yang sering membuat adik-adiknya sakit hati.
Begitu juga kali ini. Hanya karena Wiranto hanya pelayan toko baju di kota kecamatan, emak menikahkan dia dengan Yatmi.
Akhirnya jodoh Ratmi datang, ketika ada guru baru SMA yang mencari kontrakan rumah. Pak Lurah yang kebetulan bertemu di warteg deket kantor kecamatan menawarkan untuk mencarikan.
Pak Lurah dengan cerdik menyuruh Ratmi menemani pak guru baru ke rumah warga yang bersedia dikontrakan.
Dari situ awal mulai perkenalan mereka. Namanya Pak Joko, berasal dari kota M. Sejak itu, pak Joko saat sedang libur suka main ke rumah pak Lurah sekedar mengajak ngobrol.
Tidak butuh waktu lama, kurang dari setahun akhirnya Joko menikah dengan Ratmi.
4 tahun kemudian, ketika Ratmi sudah memiliki 2 anak kembar, pak Joko dipindahtugaskan ke sebuah SMA di kabupaten K.
Sebagai hadiah, emak meminta pak lurah menjual sebagian sawahnya untuk dibelikan tanah dan rumah buat Ratmi di sana.
Keputusan itu sempat diprotes oleh anak lainnya. Sawah itu harusnya menjadi warisan untuk dibagi adil dengan yang lain, bukan hampir separuhnya untuk Ratmi sendiri.
Tapi keputusan emak adalah mutlak.
"Kalian iri sama Ratmi? Lihat Ratmi. Dia bisa membanggakan emak dengan menikahi seorang priyayi. Sedangkan kalian, coba? Cuma macul, angon, jadi buruh. Makanya usaha, jangan ngandelin warisan. "
Kakak laki-laki Ratmi berusaha membujuk Ratmi dan Joko agar menolak uang pemberian emak. Joko tidak mau ikt campur urusan keluarga mereka. Sedangkan Ratmi menolak. "Lha itu kan duit dikasih emak buat aku, kang. Bukan warisan. Yo ndak mau. Orang buat bikin rumah nanti di sana. "
Semenjak itu persaudaraan mereka jadi renggang. Saudara-saudaranya gak habis thinking dengan keputusan Ratmi yang egois. Padahal dia juga tahu kalau saudara-saudaranya bukan orang kaya, warisan itu sangat bermanfaat buat mereka kelak.
Tiga tahun kemudian, emak dan bapak meninggal karena kecelakaan. Mereka sedang berboncengan naik sepeda ketika sebuah mobil sayur menyerempet sepeda mereka, sehingga jatuh. Motor di belakang mobil tersebut tidak bisa menghindari tubuh emak yang jatuh di jalanan sehingga melindasnya. Bapak sendiri jatuh dengan posisi kepala dulu kena aspal. Mereka sempat dibawa ke puskesmas, tetapi meninggal saat diperjalanan.
Joko sempat datang melayat bersama anak kembarnya, Dinar dan Danar. Ratmi tidak bisa ikut karena baru saja melahirkan anak bungsunya. Di hari ketiga, terjadi rapat keluarga membahas hak warisan. Semua saudara Ratmi sepakat, bahwa jatah warisan Ratmi sudah dia ambil saat pindah ke K. Joko sempat mendebat, bahwa Ratmi berharap mendapat bagian sama, minimal seperti saudara perempuan lainnya. Tapi semua menolak usul itu. Jokopun pulang dengan kesal, karena dia berharap ada sedikit warisan yang bisa dipakai membayar pinjaman koperasi di sekolah. Ya, Joko terpaksa harus meminjam uang ke koperasi buat biaya caesar anak bungsunya, sekaligus steril buat Ratmi. Entah kenapa, anak bungsunya ini agak susah kelahirannya, karena plasenta yang melilit lehernya.
Semenjak peristiwa itu, hubungan Ratmi dan saudara-saudaranya terputus sudah. Dia dan Joko benar -benar serasa tidak punya saudara. Joko sendiri anak tunggal dan sudah lama kehilangan orang tuanya.
Ratmi tersadar dari lamunannya. Bergegas dia masuk ke dalam rumah sambil memanggil Titik, anak bungsunya.
" Tik.... Kemana sih ni anak. Dipanggil ibu e lho gak jawab. "
Share this novel