Namaku Joko.
Astaga.... biasa banget ya pembukaannya. Hahahaha....Maklumlah, aku guru kimia, bukan guru sastra. Sebenarnya aku malas disuruh menulis satu bab di novel ini. Tetapi penulis mengancam kalau aku tidak mau, dia akan menulis segala kejelekanku sepanjang novel.
Wah bisa runtuh pamorku nanti. Terpaksa aku setuju membantunya.
Oke, aku ulang lagi ya:
Namaku Joko. Lengkapnya Joko Susilo. Aku berasal dari sebuah kota bernama M di timur pulau J. Aku sudah menjadi yatim sejak umur 5 tahun. Semenjak itu, Simbok membiayaiku dengan menjadi pelayan sebuah restoran yang cukup terkenal di kota M.
Untunglah otakku cukup encer, sehingga aku selalu bisa diterima di sekolah negeri yang bagus. Sampai suatu hari saat aku datang ke Simbok memberitahu kalau aku diterima di Fakultas pendidikan sebuah kampus negeri di kota M, beliau hanya bisa menatap pilu.
"Le, biayanya gede ndak sekolah di situ? Tabungan Simbok baru ada 135 ribu Le. Arep teko endi maneh nggo nyukupi? ( Mau darimana lagi buat mencukupi pembayaran?)"
Aku cuma bisa menangis saat Simbok berbicara seperti itu.
"Mbok, jangan khawatir. Simbok cukup merestui dan mendoakan Joko saja. Soal biaya biar Joko yang usaha sendiri. Kemarin bapaknya si Baskoro sudah nawarin Joko buat jadi penjaga warnet Bu. Nanti Joko juga akan usaha nyari sampingan lain."
"Oalah Le, moga-moga berhasil cita-citamu, ya. Sampai direwangi (dibantu) jaga harnet barang. Harnet ki opo to, Le? "
"Hahahaha.... Simbok... Simbok. Warnet Mbok, bukan Harnet. Warnet itu warung internet, disitu nanti bisa ngetik sama belajar, Mbok. "
"Kowe ki, lho. Simbok kan orang jaman dulu, cuma lulusan SD, yo ndak tek ngerti. Malah diketawain. " Simbok memukul bahu Joko sayang.
"Yo, Le. Simbok ngrestuni."
Aku bersyukur memiliki Simbok yang selalu mendukung cita-citaku. Dia tidak pernah mengeluh bila harus membayar biaya ekskul atau beli peralatan dan bahan praktek saat sekolah dulu. Bersyukurnya, setiap pulang kerja Simbok sering dibawain sisa makanan dari restoran. Yang aku maksud sisa di sini adalah sisa yang ada di piring pelanggan. Sisa yang seharusnya masuk tong sampah, akan dipilih oleh Simbok. Yang masih layak akan disimpan untuk dibawa pulang. Yang tidak layak juga dibawa. Bukan buat kami makan tentunya, tapi buat makan ayam.
Pemilik restoran tahu itu tapi tidak melarang. Beliau hanya berpesan jangan sampai pelanggan melihatnya. Nanti dikira makanan sisa mau dijual lagi.
Sudah biasa aku makan dengan paha ayam yang dagingnya tinggal separuh. Atau campuran sayur sop dan tumisan. Balado telur rebus yang tinggal putihnya.Apakah aku jijik? Hahahha... Aku tidak mengenal kata jijik. Dan nyatanya, makanan seperti itu yang hampir selalu kami makan selama ini.
Aku berhasil membuktikan kepada Simbok janjiku. Selama kuliah aku tidak pernah meminta uang kepada Simbok. Selain menjadi penjaga warnet, aku juga menerima jasa pengetikan, pembuatan laporan ataupun skripsi. Bahkan terkadang aku diajak bantu-bantu sebuah WO saat mereka sedang banyak job. Hasil dari kerja sambilanku bisa membayar biaya kuliahku. Bahkan aku bisa sesekali membelikan Simbok lauk yang pantas buat makan.
Tapi bersamaan dengan itu, aku tidak punya kesempatan untuk aktif dalam kegiatan kampus. Aku sempat khawatir apakah itu akan menghambat karirku kelak. Tapi semua keputusan ada resikonya, bukan?
Biarlah, aku akan coba menutupi dengan berusaha agar nilai IPK ku selalu di atas 3.
Ternyata ujian belum berhenti mengujiku. Setelah rasa nyaman karena tidak perlu khawatir soal uang kuliah, tiba-tiba Lek Dimas, teman kerja Simbok di restoran datang menemuiku saat sedang kuliah. Aku tidak tahu bicara apa beliau dengan dosenku, tetapi tidak lama aku dipanggil dan disuruh keluar kelas.
Lek Dimas langsung merangkulku dan tersenyum. "Piye, sehat tho Ko? "
"Sehat, Lek. Ini kita mau kemana, Lek? Kok saya disuruh keluar? Tadi kuliah penting, Lek. Keluar nanti saat ujian. "
"Sudah, Ko. Sekali ini temenin Paklek dulu, ya. Jalan-jalan kita. "
"Lek, kalau cuma jalan-jalan ya jangan ajak saya. Saya mau kuliah, Lek," kataku sambil mendorong tangan Lek Dimas agar melepaskan aku.
Tapi Lek Dimas malah semakin mempererat rangkulannya, memaksa aku menuju tempat parkir. Di sana ternyata sudah ada Pak Tejo dan Bu Tini, teman kerja Simbok juga, menunggu.
Aku menjadi cemas melihat mereka. Walaupun mereka tersenyum dan bilang cuma mau mengajak jalan-jalan, tetapi perasaan aku sangat tidak enak. Pasti ini ada hubungannya dengan Simbok. Kalau tidak, mereka tidak akan ada di sini.
Lek Dimas langsung menyuruhku bonceng dia, Pak Tejo dan Bu Tini juga sudah berboncengan.
"Lek, ada apa tho sebenarnya? Ada apa sama Simbok? Ndak mungkin kalian ajak aku, kalau ndak ada urusan sama Simbok. Lek...lek, jawab Lek"
Lek Dimas tetap diam saja tidak menjawab. Dia terus memacu sepeda motornya. Ternyata sepeda motor diarahkan mereka menuju rumahku. Sebuah bendera kuning terlihat di ujung gang. Perasaanku sudah tidak karuan. Benar saja, setiba di rumahku, suasana sudah ramai. Banyak orang sedang berkumpul. Ketika sepeda motor berhenti, aku langsung berlari masuk ke dalam rumah.
"Mbok..... Simbok.... Simbok nandi, tho? "
Kulihat ada mayat terbujur di ruang tamu. Sehelai jarik menutup seluruh tubuhnya. Segera kubuka penutup kepalanya. Kulihat wajah Simbok yang begitu pucat. "Mbok... Bangun Mbok!!! Kenapa Mbok? Tadi pagi Simbok masih sehat. Mbok, bangun Mbok!! Katanya mau lihat aku wisuda, Mbok!. Aku tinggal skripsi Mbok. Sebentar lagi lulus, Mbok. Bangun Mbok! "
Kuguncang tubuh Simbok. Berharap Simbok bisa bangun kembali.
Pak RT merangkulku dari belakang.
"Istighfar, Joko. Ikhlaskan, ya. Biar Simbok tenang di alam sana. "
Kucari Lek Dimas diantara orang-orang di sekitarku. Segera kupegang kerah bajunya.
"Simbok ku kenapa Lek? Simbokku tadi pagi masih sehat."
Lek Dimas menepuk-nepuk bahuku.
"Simbok mu tadi tiba-tiba pingsan saat sedang mencuci piring. Kami segera membawanya ke klinik dekat restoran. Ternyata sampai di sana, Simbokmu sudah meninggal. Simbokmu kena serangan jantung, Ko."
Aku hanya bisa menangisi Simbok. Kulihat banyak pelayat yang ikut menangis. Simbok, padahal sebentar lagi aku akan memakai toga. Padahal aku belum mampu beliin Simbok rumah, bikin Simbok bahagia. Ah Simbok, maafkan anakmu.
Aduh, maaf ya. Aku malah jadi curhat. Hahaha... Padahal penulis meminta aku hanya cerita pertemuan pertamaku sama Ratmi.
Ya sudah... Sekarang aku akan cerita awal pertemuan ku dengan Ratmi.
Lulus kuliah, kebetulan ada pendaftaran CPNS guru. Aku mencoba keberuntungan ku dengan mendaftar. Bersyukur sekali, aku diterima. Bahkan penempatan aku masih di pulau J. Jadi sewaktu-waktu aku harus kembali ke kota M, transportasi lebih gampang. Aku hanya membawa tas ransel berisi baju dan kardus buku-buku. Karena memang itu hartaku. Simbok mewariskan tabungan sebanyak 210 ribu. Ayam Simbok dan barang yang bisa dijual sudah aku jual. Pengennya rumah juga mau aku jual, sayangnya itu rumah bukan punyaku. Hahaha. Aku juga masih punya tabungan hasil kerja sampinganku. Ah, sakit rasanya dada ini. Simbok pasti sangat berhemat agar bisa menabung. Wah... Wah.. Aku curhat lagi ya hhahahhaha.
Maafkan ya, karena tidak fokus.
Setiba di desa tempat aku bertugas, aku mencari dulu kontrakan untuk tempatku menginap. Yah, aku tahu harganya pasti lebih mahal daripada nge-kost, tapi di tempat asing, sepertinya lebih nyaman memiliki tempat sendiri.
Disitulah aku bertemu dengan Pak Lurah, calon mertuaku. Aku pikir beliau memang ramah dan baik kepada semua orang. Dia baik sekali membantuku mengurusi semua.
Sementara belum mendapat kontrakan, beliau mengijinkan aku menginap di kantor desa. Kebetulan di sana ada satu ruang istirahat lengkap dengan kamar mandi. Lumayan, tinggal dibersihkan sedikit, bisa kugunakan untuk menginap dulu. Di ruangan itu sudah ada fasilitas kasur lipat, meja dan sebuah kursi serta gantungan baju. Tapi.....horor juga, ternyata hahahha.
Kantor desa terletak agak jauh dari rumah penduduk. Di depan kantor ada balai desa, di samping kanan kiri ada polindes, kantor PKK , serta sekolah PAUD dan TK. Depan balai desa adalah lapangan luas. Sepertinya luasnya dua kali lapangan bola. Disekeliling bangunan ini, ada jejeran sawah penduduk. Untungnya saat ini sawah dalam kondisi ramai. Banyak orang yang sedang berjaga di sawahnya.
Semua itu akibat harga cabe yang sedang melejit, makanya penduduk yang kebetulan banyak menanam cabe harus berjaga agar cabenya tidak habis dicuri.
Ah, daripada horor di kantor desa sendiri, lebih baik aku ikut berjaga di sawah. Apalagi mata ini sangat sulit untuk dibawa tidur di tempat asing.
"Kulo nuwun, Pak"
"Monggo, monggo Mas Guru."
Ah, syukurlah mereka sangat ramah. Ternyata berita kedatanganku sudah menyebar di desa ini. Syukurlah, jadi aku tidak perlu memperkenalkan diri lagi.
Aku pun ikut berbaur bersama mereka. Lumayan, selain ada teman ngobrol, dapat kopi dan cemilan gratis. Hahahaha
Pukul empat pagi aku pamit mau istirahat. Bergegas aku balik ke kantor desa, mandi kemudian tidur. Hari ini hari Minggu, jadi tidak mungkin ada pegawai kelurahan yang datang.
Tok.. Tok.. Tok
"Kulonuwun.... Assalamu'alaikum. Pak Guru... "
Samar- samar kudengar suara perempuan dan ketukan halus di pintu ruangan ku. Aku kaget dan sontak terbangun. Rasa takut menjalari tubuhku. Jangan-jangan kunti....
Tapi melihat biasan cahaya dari ventilasi angin, serta suara kambing yang mengembik di kejauhan, aku mulai tersadar. Segera kuambil jam tanganku dan melihatnya. Ternyata sudah jam 10 pagi. Lama juga aku tidur.
Kembali terdengar suara ketukan halus.
"Kulonuwun Pak Guru. Assalamu'alaikum. "
"Ya... Waalaikumsalam.. Sebentar nggih, saya raup (cuci muka) dulu. "
Bergegas aku ke kamar mandi dan mencuci muka. Biarin deh, tidak gosok gigi dulu, kasihan kalau tamunya kelamaan menunggu.
Aku penasaran siapa perempuan yang bertamu di depan. Segera kubuka pintu.
Ceklek.
Begitu kubuka pintu, aku merasa melihat pemandangan di surga. Hahahaha
Bukan aku lebay, tapi perempuan yang kulihat di depan pintu benar-benar sangat cantik. Padahal dia tidak memakai make up sama sekali, bajunya pun tidak modis sama sekali.
"Pak Guru.. "
Segera kututup mulutku yang menganga dari tadi.
"Oh ya, maaf. Ada apa ya? "
"Ini, saya diutus Bapak, buat nganterin Pak Guru buat melihat calon rumah kontrakan Pak Guru nanti. "
"Bapak... Maksudnya, Pak Lurah? "
"Inggih, Pak Guru. "
Rasanya tidak percaya mataku melihat. Pak Lurah yang mukanya sebelas duabelas sama aku, bisa memiliki anak secantik ini. We O We.. Wow
" Pak Guru, jenengan belum gosok gigi, ya? Bau.. " katanya sambil menutup hidung.
Langsung kututup mulutku dan masuk kamar mandi. Malu cuy.
Aku tidak cuma menggosok gigi. Secepat kilat aku juga mandi. Setelah memakai baju dan memastikan kalau aku cukup ganteng (versi Simbokku), baru aku keluar lagi.
"Maaf ya dek, lama. Oh ya, jangan panggil Pak ya, panggil Mas saja."
" Oh nggih Pak eh Mas Pak eh Mas Guru"
"Jangan Mas Guru, panggil saja Mas Joko. Kalau adik cantik, siapa namanya? "
"Saya Ratmi, Mas Gu... Mas Joko. "
Ewwww..... Senyum malu-malunya manis syekaliii...
Wah, sepertinya aku bakal betah mengajar di sini hahahaha.
"Mas, kita naik motor saja ya, tadi Bapak minjemin motor buat kita. Mas Joko yang nyetir, bisa kan? "
Hooooo.... Tentu bisa dong.
"Bisa bisa, sini Mas Joko pinjam kuncinya. "
Kami berangkat menuju ke calon kontrakanku sambil mengobrol.
Wah naga- naganya nih cewek wajahnya saja yang cantik. Tapi kepalanya kosong. Hahah sayangnya, padahal berharap lebih. Tak apalah, kalau cuma buat teman jalan. Tapi sepertinya aku lebih baik mundur kalau buat jadi istri. Buatku, pinter jauh lebih penting daripada cantik. Terlebih, aku sudah terbiasa selalu diremehkan karena wajah dan kemiskinan ku. Untung otakku encer, mau tidak mau, banyak yang deketin. Apalagi kalau tidak minta contekan. Makanya aku illfeel banget dengan casing mulus glowing tapi tidak ada isinya. Zonk.
Kesepakatan dengan pemilik rumah tidak berbelit-belit. Sepertinya Pak Lurah sudah membantu menawar harganya. Aku juga beruntung karena rumah dikontrakan bersama isinya. Syukurlah, dengan keuangan pas-pasan, aku bisa mengirit tidak perlu membeli perabotan.
Setiap hari libur, Pak Lurah selalu mengutus Ratmi datang untuk menemaniku mengenal desa itu.
Sebenarnya risih juga, apalagi Ratmi sering ngeblank, tidak nyambung saat diajak ngobrol.
Tapi tidak enak karena Pak Lurah sangat baik padaku, apalagi lumayan bisa dapat kendaraan gratis. Sebagai balas budi, aku selalu membelikan makan siang gratis kepada Ratmi. Yah, yang murah saja sih. Sesuai kantong. Apalagi aku belum gajian sama sekali. Hahahah
Ini sudah minggu keempat aku mengajar. Seharusnya sih, nanti tanggal 1, gaji pertamaku cair. Mungkin nanti aku akan membelikan baju baru buat Ratmi. Sebagai hadiah dan ucapan terimakasih. Sekaligus perpisahan. Karena aku tidak perlu lagi ditemenin kemana-mana. Gawat kalau sampai aku dikira pacarnya.
Hari ini hari Jum'at tanggal merah. Ah, enaknya bermalas-malasan. Sebaiknya aku tidur saja sampai nanti siang buat sholat Jum'at. Semenjak menjadi guru, aku selalu berusaha tidak pernah bolong sholat wajib. Pertama karena malu dengan muridku, tentu saja hahaha. Kedua, untuk menjaga pamorku.
Janganlah kau nasehati aku soal ikhlas lillahi ta'ala atau apalah itu. Istilah yang kalian pakai... Ah hijrah.
Aku tidak pernah mengaji sejak kecil. Aku belajar agama hanya karena diajarkan di sekolah dan masuk ke nilai raport. Buatku, nilai raport adalah segalanya, agar Simbok bisa dengan bangga setiap mengambil raportku. Simbok tidak dipandang rendah karena kemiskinan kami.
Nah kan... Simbok lagi hahahah. Maafkan pembaca. Karena bagiku, Simbok adalah cinta pertama dan selamanya.
Keinginanku menghabiskan pagi dengan tidur terganggu dengan gedoran di pintu. "Pak... Pak Guru, Assalamu'alaikum. "
Terdengar suara dari luar pintu. Waduh, ada apa nih pagi-pagi.
Kubuka pintu segera setelah kubetulkan sarung yang kupakai untuk menutup celana pendek ku.
Ternyata ada Pak Minto di luar.
"Pak Guru, diminta ke balai desa sama Pak Lurah sekarang. Ayo Pak. "
Pak Minto menarik tanganku dengan paksa.
"Eh... Eh bentar Pak Minto. Ada apa nih? Saya ganti baju dulu, ndak enak masak pakai sarung ke balai desa. "
"Ndak usah, ndak usah, kayak begitu juga ndak apa. Yang penting ndak telanjang. Ntar dikira wong edan. "
Pak Minto tetap menarikku dengan paksa setelah mengijinkan aku mengunci pintu kontrakan.
Dengan hanya memakai kaos dalaman yang sudah menguning dan ada yang bolong serta sarung bau karena sudah seminggu tidak kucuci, aku membonceng Pak Minto di belakang. Jadi merasa seperti Jenderal pahlawan Revolusi yang diculik tanpa boleh mengganti baju. Seperti yang sering aku lihat filmnya setiap akhir bulan September.
Tak sampai 5 menit, kami sampai di balai desa. Ternyata di sana sudah ada beberapa orang. Dengan pakaian rapi tentunya.
Ada Pak Lurah dan eh.. Sebentar. Keluarga Pak Lurah semuanya lengkap di sana. Kulihat Ratmi sedang menangis dipeluk ibunya.
"Nah ini orangnya datang, " teriak Marno, salah satu kakak Ratmi.
Aku langsung didudukkan di depan Pak Kyai. "Sudah datang, nikahkan saja sekarang Pak Yai. "
"Loh.. Ada apa ini? Kok main nikah-nikahan? " Aku panik dan bingung melihat semua ini.
"Ndak usah sok ndak tahu sampeyan, sudah memperkosa adikku. Bikin dia hamil. ndak pernah terjadi apa-apa diantara "
Aku kaget mendengarnya. Tentu saja aku menolak semua tuduhan mereka.
Menyentuh saja tidak pernah. Paling cuma salaman. Bikin hamil darimana.
Tapi massa sepertinya tidak mendengar bantahanku. Mereka terus merangsek dan memaksaku untuk menikah siri dengan Ratmi sekarang juga.
Karena takut dihakimi massa, aku terpaksa menerima dan mengikrarkan ijab qobul. Untuk maharnya sebuah cincin 1 gram dibayar kredit. Menunggu gajian tanggal 1. Apes benar nasibku.
Selesai ikrar ijab qobul, Orang-orang yang awalnya terlihat marah dan menakutkan, kemudian tersenyum dan tertawa sambil saling mengucapkan selamat. Mereka juga menyelamati aku. Hanya satu adik-adik Ratmi yang kulihat diam saja.
Entah darimana datangnya, tiba-tiba ada yang masuk membawa nasi, sayur lodeh, ayam goreng, tempe goreng, sambal dan krupuk. Semua langsung ditaruh di atas meja akad tadi. Menyusul tumpukan piring sendok dan air minum.
Ah, aku merasa ada kejanggalan atas apa yang terjadi. Tapi otakku tidak mau diajak berpikir. Aku terlalu syok dengan apa yang baru saja terjadi.
Pak Kyai menepuk bahuku dan berkata, "Sekarang bari nikah siri dulu. Nanti resminya lewat KUA ya? Kata Pak Lurah mau pakai resepsi juga. Soal waktunya silahkan dibahas sama keluarga ya. Pak Yai tidak ikut campur soal itu. "
Aku hanya bisa mengangguk lemah. Apalagi yang bisa aku lakukan? Aku laksana rusa diantara kawanan singa.
Seandainya aku bisa menjadi H2O, jadi aku akan mengurai menjadi unsur hidrogen dan oksigen. Aku akan terbang, melarikan diri dari mereka semua.
Kupandangi orang-orang yang sedang asyik mengambil makanan dan mengobrol. Tiba-tiba Ratmi datang membawakan piring yang sudah berisi nasi lengkap dengan sayur dan lauk.
Kuambil piring itu tanpa melihatnya. Aku meras mual melihat muka Ratmi yang terus tersenyum daritadi.
Kudengar suara perempuan berbisik dari belakang. Ini bukan suara Ratmi.
"Maaf ya Pak Guru, saya sudah berusaha memprotes pemaksaan ini. Secara belum ada bukti kuat kalau jenengan memperkosa mbak Ratmi. Dan saya yakin jenengan ndak mungkin melakukan itu. "
Aku segera menoleh ke arah sumber suara. Kulihat ada perempuan yang bergegas pergi meninggalkan aku sambil membawa piring-piring kotor.
Ah, ternyata benar. Sumber semua masalah ini Ratmi. Bagaimana dia bisa menuduh aku memperkosanya. Dan bagimana dia bisa membuat orang-orang percaya dia hamil?
Siangnya, aku tidak pergi sholat Jum'at. Bodo amat. Toh nama baikku sudah hancur gara-gara peristiwa tadi pagi.
Malam ini Pak Lurah menyuruh Ratmi pindah ke kontrakanku. Bersama kedatangan Ratmi, emaknya membawakan peralatan masak lengkap dengan bahan masakan.
Sebenarnya aku ingin menolak dan mengusirnya dari rumah ini. Aku merasa terhina atas apa yang terjadi pagi.
Bagaimana pula aku nanti harus melapor ke kepala sekolah atas insiden hari ini?
Aaahhh... Kepalaku pusing. Bagaimana kalau aku dipecat karena dituduh melakukan perbuatan amoral?
"Mas Joko pusing, kok pegang kepala terus? Ratmi pijitin ya? Apa mau Ratmi bikinin minum jahe? "
Aku melihat Ratmi lekat-lekat.
"Ndak usah, sini kamu duduk saja di depanku. Tolong jawab pertanyaanku dengan jujur. Kenapa kamu memfitnah aku memperkosamu? Padahal aku ndak pernah menyentuhmu.. apalagi bikin kamu hamil. "
" Mas Joko sudah menyentuhku hari Minggu kemarin. Waktu kita lagi jajan bakso, sampeyan kan lalu buru-buru ke toilet karena mau pipis. Trus dompet Mas jatuh. Jadi tak ambil, trus aku duduk di bekas tempat duduk Mas. Tempat duduk Mas masih panas Mas, terasa banget panasnya menyentuh pantatku. Itu kan sama saja Mas memperkosa aku. Kalau aku hamil gimana? Makanya aku laporan Bapak. Aku ndak mau nanti nikah perutnya sudah mblendhung. "
Aku hanya bisa ternganga. Aku tidak paham jalan pikiran Ratmi. Sebodoh itukah dia?
Dan aku, lulusan cumlaude kampus negeri di kota M, bisa dikadalin sama dia?
JANNNNCCCUUUUKKK.... Tenan.
Share this novel