Akhirnya selesai sudah. Aku sudah mengangkat dan melipat rapi semua jemuran hari ini. Sepertinya semua baju cukup rapi, sehingga aku tidak perlu menyetrikanya. Nanti malam aku harus belajar karena besok ada ujian Agama dan Bahasa Indonesia. Sebenarnya aku tidak terlalu cemas sih, karena aku yakin aku cukup paham dan hafal pelajaran yang sudah diajarkan. Yah, kalau tidak begitu, mana bisa aku mempertahankan ranking satunya sejak SD dulu.
Semoga Ibu pulang kondangan membawa lauk untuk makan malam. Jadi aku tidak perlu memasak untuk makan malam. Lauk tempe bacem yang harusnya buat sampai malam, sudah dihabiskan oleh mas Danar. Masak baru jam setengah 5 dia sudah 4 kali makan. Makan serakus itu, tetap aja badannya bisa kurus. Beda denganku, padahal hanya makan sedikit, tapi badan sudah kayak arem-arem dibungkus.
Aku tidak suka hari libur. Setiap hari libur, justru aku harus bekerja sepanjang hari. Di saat kakak-kakakku masih bermalasan di tempat tidurnya, aku harus sudah bangun. Membantu Bapak membersihkan kandang kambing dan ayam, kemudian membantu Ibu memasak untuk makan sehari. Setelah itu menyapu dan mengepel dibantu mbak Diva. Itupun kalau dia sudah bangun. Selanjutnya mencuci bajuku, baju Ibu dan baju Bapak. Dulu aku disuruh sekalian mencuci baju semuanya. Tentu saja aku menolak.
"Bu, Titik kan bukan batur(pembantu) . Masak harus nyuci baju semuanya. Titik cuma mau mencuci baju Bapak sama Ibu. "
"Oalah Tik, kerja kok ndak tuntas. "
Belum juga berlanjut omelan Ibu, Bapak menukas, "Bu, mbok ya jangan semua Titik yang ngerjain. Biar kakak-kakaknya kerja juga. Ndak pemalas seperti sekarang. Bangunin Diva tuh, sudah perawan kok jam segini masih tidur. "
" Loh, Pak. Bukan begitu. Maksud Ibu biar Titik bisa terbiasa kalau nanti nikah dapatnya orang miskin. Kan dia harus bisa ngerjain semua. Beda sama Diva. Dia cantik, pasti bisa dapat priyayi. "
"Bu, Titik itu juga anakmu. Kok doanya yang jelek gitu tho!! "
"Siapa yang doa jelek, Pak? Aku ngomong kenyataane lho. Titik itu ndak cantik, ada yang nglamar sudah bersyukur. Lagian yo, waktu lahir dia itu paling nyusahin. Kakak-kakaknya tinggal ke bidan langsung brojol. Lha kok giliran Titik minta lahiran ke rumah sakit. Harus dicaesar."
"Bu!!! Kok itung-itungan sama anak. Aku yang biayain lahiran Titik dulu, aku gak masalah Bu. Jangan salahkan Titik! "
"Tapi Pak.... "
Aku segera berlari keluar. Setiap kali aku menolak perintah ibu, selalu omelan itu yang keluar. Rasanya pengen berteriak.
Bukan salah Titik Bu, kalau lahir caesar.
Bukan salah Titik Bu, kalau Titik tidak cantik.
Ibu jangan khawatir, kalau perlu Titik tidak usah menikah, jadi Ibu tidak malu melihat Titik tidak dapat suami priyayi.
Aku menghapus sudut mataku yang berair. Ah, kenapa selalu terasa sakit setiap kali mengingatnya. Padahal aku sudah sering mendengarnya. Padahal aku sudah berusaha cuek dan masa bodo. Tiba-tiba sebuah tepukan pelan di bahu mengagetkan aku.
Segera aku menoleh ke belakang. Terlihat mas Dinar tersenyum kepadaku.
"Ngapain Tik? Sore-sore kok melamun. Adikku yang baik ini kenapa, hah? Inget omongan Ibu lagi ya? Sudah, ndak usah dipikirin. Nanti kalau mas sudah kerja, Titik ikut mas saja. Mas akan berusaha agar bisa membiayai sekolah Titik sampai tamat kuliah. "
Aku tersenyum mendengar janji mas Dinar. Memang diantara 3 orang kakakku, mas Dinar lah yang paling sayang sama aku. Sebenarnya mas Danar dan mbak Diva juga tidak jahat. Tetapi mereka sangat cuek dan tidak pernah berusaha membantu pekerjaanku maupun membelaku dari omelan Ibu.
Oh ya, sebenarnya namaku juga berawalan D seperti ketiga kakakku. Dinar, Danar, Diva dan Darti. Tapi aku malu dipanggil Darti karena suka diledek mas Danar, kalau Darti singkatan Darah Tinggi. Kata mas Danar sejak melahirkan aku, Ibu jadi punya penyakit darah tinggi. Saat kutanya sama Ibu, beliau hanya tertawa. "Nah, sekarang sudah tahu, kamu. Makanya kalau disuruh Ibu nurut, jangan membantah. Bikin darah tinggi Ibu kumat saja. "
Untung Bapak masih mau belain aku. Setiap mas Danar meledek dengan memanggilku darah tinggi, Bapak langsung memukul pantatnya. "Diam, kamu!! Gedenya Titik bakalan lebih sukses dari kamu. Baru kamu nanti malu. "
"Ndak bakalan, Pak! Priyayi juga mikir kalau mau nikah sama Titik. Mereka butuh istri yang terlihat cantik, biar ndak malu sama yang lain, "teriak Ibu dari dapur.
" Bu, Ibu. Orang kok kolot. Ngeyelan lagi. Zaman sudah berubah, Bu. Zaman sekarang sudah banyak perempuan mandiri dan sukses. Ndak kalah sama lelaki. Priyayi-priyayi mulu yang dipikir. Memangnya kalau priyayi ndak butuh makan apa. Kalau Bapak, daripada didampingi istri cantik tapi bodo, mending yang pinter kayak Titik. "
"Maksude apa Pak? Nyesel nikah sama Ibu? Karena Ibu ndak pinter? "
Selaluuuu..... ribut setiap hari. Topik apa saja bisa membuat mereka ribut.
Lelah hayati, booo
"Titik.... tobat tenan bocah iki. Ibu manggil dari tadi minta minum, bukannya diambilin malah mainan di belakang rumah. Bocah kok males bener. Tuh, halaman depan kotor banyak bunga jambu sama daun rontok. Jam segini kok belum disapu. "
"Maaf, Bu. Titik ndak dengar tadi Ibu memanggil. "Bergegas aku bawa baju yang sudah kulipat di keranjang masuk ke dalam. Nanti saja aku pilih-pilih dan taruh di kamar masing-masing.
"Titik tadi lagi angkat jemuran, Bu. Dinar lihat sendiri. Memang pernah Titik kalau di rumah main, males malesan? Ibu lihat Titik istirahat sebentar juga sudah disuruh kerja lagi. Kayak anak perempuan Ibu cuma Titik saja, " sindir mas Dinar membelaku.
Ibu cuma melengos mendengar sindiran mas Dinar. Ibu memang tidak pernah membalas kalau disindir Dinar. Mas Dinar jarang sekali bicara, tetapi sekali bicara, auranya seperti pemimpin yang memerintah bawahannya. Yah, mungkin Jenderal Sudirman dulu seperti mas Dinar sekarang. Biarpun badannya kecil tinggi dan gampang sakit, tapi sangat berwibawa, adil dan perhatian. Beruntung sekali nanti yang menjadi istri mas Dinar.
"Tik, ambil kresek hitam di sepeda Ibu. Yang bisa buat besok angetin dulu, yang ndak bisa taruh meja makan sini."
Aku bergegas mengambil kresek hitam di sepeda Ibu. Wah, kayaknya banyak nih bawaannya.
"Tik,.... Ini tempe bacemnya kok habis tho? Kamu kalau makan jangan boros. Nasinya juga ndak cukup ini buat makan malam. Kamu ini di rumah seharian ngapain aja?"
Belum juga aku masuk rumah, terdengar teriakan Ibu. Langsung kutaruh kresek hitam di meja makan dengan kasar.
"Titik mulu sih, Bu yang disalahin. Titik capek, Bu. Dari bangun pagi bersihin kandang, nyapu, ngepel, masak, nyuci, ke sawah nyabut rumput. Barusan Titik baru selesai angkat jemuran, Bu. Seharian ini Titik belum istirahat. Dan Titik baru makan sekali, saat sarapan tadi! "aku menjawab Ibu sambil menangis.
Aku tidak tahu kenapa Ibu benci sekali padaku. Apakah benar hanya karena aku jelek?
" Kamu itu, ngomong sama orang tua kok bentak-bentak gitu. Ibu tanya tinggal jawab, ndak perlu marah apalagi nangis. Kayak anak kecil saja."
Mas Dinar memelukku. Dia menuntunku menuju kamar. Di kamar, terlihat mbak Diva sedang tidur. Aku memang tidur sekamar dengan mbak Diva, sedang mas Dinar sekamar dengan mas Danar. Mas Dinar menyuruhku duduk di kursi. Dia juga mengambilkan air minum untukku.
"Sudah, istirahat saja, Tik. Maaf, ya. Seharian tadi mas Dinar cari rumput buat pakan kambing. Sekarang rumput sedang jarang ada, jadi mas harus cari sampai desa sebelah. Jadinya sore baru bisa dapat sekebo (satu karung). Mas jadinya ndak bisa bantuin Titik cabut rumput di sawah. Titik istirahat saja di kamar. Kalau sudah tenang, mandi, belajar. Besok sudah mulai ujian, tho? Biar Ibu sama Diva yang nyiapin makan malam. "
Mas Dinar lalu membangunkan mbak Diva. "Diva, bangun. Bantu Ibu nyiapin makan malam. Mas yakin kamu sudah bangun. Kalau sampai mas harus manggil kamu lagi, kamu akan menyesal, " begitu ancaman mas Dinar.
Bergegas mbak Diva bangun. Ternyata dia cuma pura-pura tidur. Kesal aku jadinya. Seharian kerjaannya cuma main HP dan tidur saja.
Akhirnya Ibu dibantu mbak Diva yang mempersiapkan makan malam. Kalau aku lihat isi kresek tadi, harusnya besok pagi juga tidak perlu masak lagi.
Ada nasi sebesek, ayam goreng setengah, telur rebus 4 butir, sayur buncis seplastik, mie bihun seplastik, mie kuning seplastik, sayur krecek seplastik, ada juga nasi gurih. Dan kayaknya ada plastik juga berisi cemilan lemper, pisang, kue jajanan pasar.
Itu Ibu dikasih apa ngerampok ya? Banyak banget yang dibawa.
Harusnya sih, telur dan sayur bisa buat makan besok. Sayur asem hari ini masih sangat banyak, karena Ibu dan Bapak kondangan, mas Dinar cari rumput dan aku ke sawah. Otomatis siang tadi hanya mas Danar dan mbak Diva yang makan siang. Apalagi mas Danar makan berkali-kali hanya memakai nasi dan tempe bacem. Nasi tinggal diangetin, sisanya besok bisa digoreng buat sarapan.
Ah, ngapain aku masih mikirin ya. Biar saja sekali-kali mbak Diva yang mikirin menu buat makan.
Samar - samar kudengar suara klontang klontang di dapur. Suara percakapan antara Ibu dan mbak Diva. Sesekali ada juga suara mas Dinar. Sayangnya dari kamarku yang tertutup, suara mereka tidak jelas terdengar.
Rumahku memang ukurannya memanjang. Flat aja, tidak ada nilai artistiknya. Seperti kebanyakan rumah di desa kami. Di sebelah kanan kamar memanjang tiga pintu, di depan kamar Bapak Ibu, di tengah kamarku dan mbak Diva, di belakang kamar mas Dinar dan mas Danar. Diantara kamarku dan kamar anak lelaki ada sebuah kamar mandi.
Di sebelah kiri memanjang juga teras, ruang tamu, ruang makan kemudian dapur. Antara ruang tamu dan ruang makan terdapat lemari yang berisi macam-macam buku. Antara dapur dan ruang makan terhalang lemari buat tempat menaruh piring, gelas,dan perabot makan yang lain.
Ruang tamu hanya ada satu set kursi rotan, di ruang makan satu set meja makan kayu mahoni dengan 6 kursi.
Sudah, itu saja. Jam dinding hadiah guru terbaik 3 tahun lalu dari sekolah, digantung di tengah dinding.
Tidak ada TV di sini. Bapak tidak mau membeli TV, alasannya karena Bapak ingin kami bisa fokus belajar.
Itu yang menyebabkan mas Danar jarang di rumah kalau siang. Sepulang sekolah, biasanya dia nebeng nonton TV di rumah tetangga. Apalagi hari libur, saat Bapak ndak ada di rumah, seharian dia ke rumah tetangga. Pulang hanya buat makan dan beol.
Posisi Bapak yang sering pulang menjelang Maghrib menyebabkan beliau tidak tahu kegiatan mas Danar. Kami juga males buat mengadu. Apalagi Ibu yang selalu menutupi kegiatan sehari-hari anak itu.
Setelah istirahat dan merasa sudah mulai tenang, aku beranjak keluar. Lebih baik aku mandi sekarang, mumpung belum rebutan. Selama ini, aku selalu berusaha mengalah mandi di awal atau di akhir, agar tidak berebutan dengan yang lain.
Segera ku melangkah ke belakang dapur hendak mengambil handuk.
" Enak ya, mbak e sibuk bantu masak malah enak-enakan di kamar. "
Sindiran Ibu langsung terdengar saat aku lewat.
Aku cuek saja terus mengambil handuk dan langsung mandi.
Aku lelah Ibu.... terserahlah, karena aku selalu salah.
Share this novel