Bab 6. Apa Salahku, Bu? (POV Titik)

Drama Series 146

Alhamdulillah hari ini pekerjaanku cepat selesai. Aku sengaja tadi bangun jam 4. Kurendam dulu bajuku, baju Bapak dan baju Ibu dengan sabun R***o. Sedikit saja, biar irit. Ibu suka marah kalau aku mencuci dengan sabun yang kebanyakan menurut Ibu.

Aku lalu mengambil air wudhu dan sholat. Aku pun sholat tahajud 2 rakaat dan sholat witir 3 rakaat. Itu yang diajarkan oleh Bu Istiqomah, guru agamaku kemarin.

Kalau ingin disayang Allah, ingin ilmu yang kita dapatkan nanti berkah, pastikan bahwa semua yang kita lakukan itu lillahi ta'ala. Benar-benar karena Allah.

Pertebal iman, rajin sholatnya, lebih bagus ditambah dengan shalat sunnah.

Aku sadar sekali, di keluargaku, kami jarang melakukan shalat. Kami paling melakukan shalat hanya shalat yang harus dilakukan di depan umum. Misalnya shalat di sekolah, biasanya shalat dhuhur. Atau shalat Jum'at buat Bapak, mas Danar dan mas Dinar. Serta shalat hari raya.

Shalat sunah paling cuma shalat taraweh. Itu juga kalau sudah seminggu menjelang lebaran, kami sudah tidak laksanakan.

Biasanya seminggu menjelang lebaran, Ibu sibuk membuat cemilan buat lebaran nanti. Contohnya peyek, kue kacang atau tape. Tentu saja aku dan mbak Diva akan ikut membantu.  Sedangkan Bapak dibantu mas Danar dan mas Dinar sibuk mempercantik rumah. Memperbaiki pagar rumah, merapikan tanaman, memotong rumput, ataupun memperbaiki rumah bila ada yang bocor atau cat temboknya sudah memudar.

Sekarang aku sudah kelas enam. Aku bertekad mulai sekarang aku akan rajin shalat. Karena aku ingin ilmu yang aku pelajari menjadi berkah buat hidupku.

Aku juga mulai mengaji lagi, walau masih terbata-bata. Dulu aku sudah lulus Iqro enam saat kelas satu SD, tetapi semenjak itu aku tidak pernah mengaji ke mushola lagi.

Walaupun sudah lama, aku masih agak ingat huruf huruf hijaiyah. Tetapi sepertinya aku harus minta mbak Winda mengajari aku lagi. Aku khawatir bacaanku salah huruf atau panjang pendeknya.

Selesai shalat dan mengaji, adzan subuh berkumandang. Alhamdulillah, aku bisa langsung shalat subuh. Selesai berdoa, aku kemudian menuju ke dapur. Suasana rumahku masih sangat sepi. Semuanya sepertinya masih  tertidur.

Aku pun lalu menakar beras untuk aku tanak di kompor. Bersyukur sekali kami sudah punya kompor. Dulu kami masih harus memasak memakai kayu bakar. Sekarang kami punya kompor minyak tanah dan kompor gas. Ada untungnya juga punya Ibu yang selalu tidak mau kalah dengan orang lain. Perlengkapan dapur jadi lengkap dan modern.

Untuk memasak nasi, aku lebih suka memasak di kuali daripada menggunakan  rice cooker. Selain rasanya lebih enak, ada sisa intip (kerak nasi) yang bisa aku keringkan kemudian digoreng menjadi cemilan. Rice cooker juga butuh listrik yang besar.

Listrik di rumah kami yang cuma 450 watt tidak kuat kalau dipakai untuk memasang peralatan elektronik yang dibeli Ibu.

Rice cooker yang dibeli Ibu hanya jadi pajangan di meja makan. Lumayan bisa buat disombongkan kalau ada tamu yang ditawari makan. Hampir semua peralatan elektronik adalah pajangan. Ada kulkas, ada radio, ada kipas angin juga. Semuanya tidak boleh dinyalakan kecuali kalau ada tamu. Untung Bapak tidak mengijinkan Ibu membeli TV dan mesin cuci. Rumah kami bisa-bisa sudah seperti gudang saja.

Selesai mencuci beras dan menanaknya, aku mulai mencuci dan memotong sayuran. Menjelang pukul enam, semua sudah terhidang di meja

Nasi hangat, sayur lodeh terong, sambal, dan tempe bacem. Aku kupas sekalian buah pepaya hasil panen di kebun. Setelah aku tutup semua, aku menuju sumur hendak mencuci baju.

"Tik, sudah bangun dari tadi? "

Tersengar suara mas Dinar menyapa.

"Iya, mas. Tadi Titik sekalian sholat subuh dulu soalnya. "

"Wah, mantap adikku. sekarang rajin shalat. Mas Dinar jadi malu. "

" Ayoo makanya, mas Dinar rajin shalat juga. Malu lho mas sama Allah, kita sudah dikasih banyak rejeki, cuma shalat sebentar saja ndak mau. "

" Iya, besok lagi kalau Titik. Bangun, mas dibangunin ya? Biar mas juga shalat Subuh. "

"Ndak cuma subuh lho mas, shalat itu ada 5 waktu. "

" Iya, iya. Ingetin mas terus ya. " Mas Dinar mengelus rambutku dengan lembut.

Dia lalu menuju ke kamar mandi.

Pukul setengah delapan semua cucianku sudah terjemur rapi. Aku lalu mulai menyapu dan membersihkan sekeliling rumah. Di dalam rumah nanti saja, karena aku melihat semua sudah bangun dan sedang sibuk di dalam rumah.

"Diva, ini rumahnya disapu, dipel. Jangan semua Titik yang mengerjakan. " Kudengar suara Bapak berteriak.

"Aku mau ke pasar bareng ibu, Pak. " sahut mbak Diva.

"Sapu dulu, dipel. Baru pergi. Awas kalau ndak, " ancam Bapak lagi.

Tidak lama terdengar suara motor Bapak pergi menjauh.

Ah, semoga mbak Diva beneran menyapu dan mengepel di dalam rumah. Jadi pekerjaan aku cepat selesai.

Selesai membantu mas Dinar membersihkan kandang ayam dan kambing, aku masuk ke dalam rumah. Wah, beneran sudah bersih.

Kulihat mbak Diva sedang siap-siap ke pasar sama Ibu.

Ah, syukurlah. Aku berencana habis mandi mau mengerjakan soal latihan dari guruku segera. Jadi nanti malam aku bisa menyulam bajuku. Hampir semua barang-barangku adalah lungsuran dari mbak Diva.

Agar terlihat baru dan bagus, aku suka memodifikasi nya sendiri.

Ternyata aku tidak bisa langsung mengerjakan tugas. Temanku, Nunik datang mengajak mengobrol. Lebih tepatnya, dia bertanya dan aku menjawab. Nunik rencananya akan merayakan ulang tahunnya yang ke 12 selesai ujian nanti. Dia bertanya padaku ide dan acara yang menarik buat pesta itu.

Nunik adalah anak tunggal. Bapaknya juragan sapi di desaku. Setiap tahun ulang tahunnya dirayakan. Yang aku suka, dia mau bergaul dengan siapa saja. Bahkan dia tidak kecewa padahal hadiah ulang tahunnya dariku adalah benda murah dan terkadang buatan ku sendiri.

Kami putuskan tema kali ini adalah cita-cita.

Nunik akan memakai baju sesuai cita-citanya. Menjadi pramugari. Aku senang membantu Nunik menyusun acara pestanya. Aku bayangkan, bahwa itu adalah pesta ulang tahunku sendiri.

Pukul setengah dua belas, Nunik pamit pulang. Akupun langsung siap-siap shalat Dhuhur. Tak lupa kuajak mas Dinar yang sedang membaca buku untuk ikut shalat. Awalnya aku mau mas Dinar jadi imam. Kan tidak mungkin aku yang perempuan menjadi imam. Berhubung mas Dinar menolak, akhirnya kami shalat di mushola. Jadi kami bisa sama-sama jadi makmum.

Selesai shalat dan makan siang, mas Dinar mau main ke rumah temannya. Akupun masuk kamar hendak mengerjakan tugas.

Sekitar pukul satu, mbak Diva dan Ibu pun pulang dari pasar. Kulihat mbak Diva langsung masuk kamar dan membuka sebuah bungkusan.

Kulihat lagi bungkusan itu. Ternyata HP. Persis seperti milik bu Istiqomah, guruku.

"Apa itu, mbak? " tanyaku memastikan.

"HP baru, " jawab mbak Diva sambil tersenyum.

"Dibeliin sama Ibu, mbak? " tanyaku lagi.

"Iya, dong. "

"Pakai uang Ibu, mbak? "

"Lha iyalah, kan Ibu sudah janji. "

Bergegas aku keluar kamar. Aku mau mencari Ibu. Kulihat Ibu sedang membongkar belanjaannya di dapur.

"Ibu.... Ibu membelikan mbak Diva HP baru? "

"Kamu itu Ibunya pulang belanja bukan bantu buka malah datang teriak-teriak. Iya, Ibu beliin Diva HP. "

"Harganya berapa, Bu? "

"Satu juta enam ratus, tapi Ibu tawar jadi satu juta lebih sedikit. Ibumu pinter nawar, tho? "

"Pakai uang Ibu? "

"Sebagian tabungan mbakmu. Sebagian uang Ibu. Wis tho, jangan tanya mulu, bantu Ibu sini. "

" Ibu kok tega sama Titik? Kemarin Titik minta uang buat beli buku latihan soal harganya cuma tiga puluh ribu katanya ndak ada uang. Kenapa sekarang Ibu jadi punya uang buat beliin HP mbak Diva?"

" Mbakmu itu butuh HP buat kegiatan dia. Lagian HP kan ndak setiap tahun beli. Lha kamu buat apa beli buku? Pakai saja buku bekas kakak-kakakmu. Masak udah dapat buku dari sekolah masih beli buku lagi. "

" Buku yang dipinjam dari sekolah cuma buku paket, Bu. Bukan buku latihan. Titik butuh buku latihan soal buat belajar. "

"Uwis.. Uwis (udah), besok gajinya bulan depan Bapakmu, Ibu beliin bukunya. "

Ibu mendorong badanku ke pinggir.

"Bulan depan Titik sudah ndak butuh, Bu, ujiannya kan hari Senin lusa. "

"Yoo bagus kalau ndak butuh. Malah uangnya utuh. "

Aku berlari ke belakang rumah. Rasanya sakit sekali hati ini. Kupandangi tanganku yang hitam dan jari yang pendek-pendek. Telapak tanganku juga kasar karena sering kupakai menimba air sumur.

Ah, seandainya wajah dan kulitku secantik Ibu, apakah mungkin Ibu akan sayang padaku juga?

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience