Namaku Diva Maharani Sulistyo. Aku anak ketiga dari Pak Joko dan Bu Ratmi.
Buatku, hidupku sangat sempurna.
Aku memiliki wajah cantik, badan yang bagus. Thanks's God, sangat mirip Ibu.
Nilai sekolahku di atas rata-rata. Bahkan, aku tak perlu belajar keras untuk mendapatkannya. Thank's God, otakku mewarisi gen ayah.
Aku tidak bisa membayangkan seandainya sebaliknya.
Di sekolah aku memiliki banyak teman. Guru-guru menyayangiku. Ah, aku tidak merasa ada kekurangan.
Aku berharap, hidupku akan terus sebahagia ini.
"Mbak, mbak Diva. Bangun. Sudah jam setengah enam. Sholat subuh dulu. "
"Hmmmm."
Aku cuma menjawab dengan kata hmmm. Males banget menjawabnya. Mataku juga masih mengantuk. Semalaman aku asyik ngobrol di sms sama temenku.
Oh iya, HP ku baru lho....
Baru dibeliin Ibu lima bulan yang lalu sebagai hadiah ulang tahunku.
Hehehhe.....
Sudah lima bulan bukan baru lagi ya.
Tapi aku sangat senaaaang sekali.
Bukan HP yang baru rilis memang. HP ini katanya sudah model beberapa tahun lalu.
Nokia 3310.
Walau sudah agak lama, tapi Ibu membelinya masih mahal di konter HP depan pasar Watu Jlitheng. Satu juta lima puluh ribu rupiah.
Sebelumnya penjual menawarkan seharga satu juta enam ratus ribu rupiah. Untunglah berhasil ditawar Ibu.
Sebenarnya kami membawa uang dua juta tiga puluh lima ribu rupiah. Yang tabungan ku selama ini aku bawa separuh. Ada empat ratus sembilan puluh dua ribu rupiah. Sisanya uang Ibu sendiri. Tidak tahu Ibu dapat dari mana. Mungkin uang belanja dari ayah.
Aku sudah meminta dibelikan HP sejak tahun kemarin, saat aku diterima di SMA Negeri Watu Jlitheng. Sama dengan SMA Mas Dinar dan mas Danar. SMA favorit di tempatku.tent saja favorit, karena satu-satunya di kecamatanku. HeheĀ ...
Aku minta ke Ibu agar hadiah ulang tahunku nanti sebuah HP. Aku malu, Teman-teman akrab ku sudah punya HP. Aku sendiri yang belum.
Saat itu, mereka kalau janjian ingin pergi atau jalan-jalan selalu lewat SMS. Akibatnya, aku sering ditinggal.
Ibu membantuku bilang kepada Bapak.
Bapak menolaknya mentah-mentah.
Masih teringat sekali percakapan mereka di malam itu.
"Tidak Bu, buat apa punya HP? Memangnya mau menghubungi siapa? Saudara? Saudara kita kan cuma dari Ibu. Dan Ibu sudah lama putus kontak dengan mereka.
Teman-teman Diva? Memang teman Diva ada yang rumahnya jauh sekali? Paling jauh kan cuma cucunya Mbah Rejo, yang rumahnya deket kuburan. Naik sepeda ke sana paling juga cuma sepuluh menit nyampe. Jangan selalu turuti kemauan Diva, Bu. Jangan dimanja anakmu. Dinar sama Danar saja tidak punya HP. Danar temannya banyak, tapi ndak pernah dia minta yang aneh-aneh. Ingat, Bu. Kita harus irit. Anak-anak butuh uang banyak buat kuliah nanti. "
"Tapi, kan beda Pak. Danar sama Dinar itu anak laki-laki. Mereka ndak ngerti mode. Ndak ngerti pergaulan. Sekarang itu sudah jaman modern, Pak. Kalau Diva ndak ngikuti perkembangan jaman, ndak ngikutin teman-teman nya, Bisa-bisa Diva ndak punya teman. Kasihan, Pak. Bisa malu nanti dia. Ndak ditemenin. "
"O, malah bagus kalau Diva ndak temenan sama temen ngumpulnya sekarang. Bapak juga ndak suka sama mereka. Gayanya sok kaya, padahal orangtuanya susah payah cari uang. Contoh, tuh Narsih, Winda, Zaenab. Pulang sekolah bantuin orang tuanya ngangkut gabah, jualan es. Bukan malah maksa-maksa minta beli baju baru, HP baru, cuma buat gaya-gayaan. Cari duit susah seenaknya dibuang-buang. "
"Anak dekil kayak gitu mau disamaain kayak Diva anakku, Pak, " masih kudengar gerutuan Ibu sebelum suara pintu kamar ditutup.
Ah, aku kecewa sekali. Kenapa sih, Bapak tidak paham mode?
Selama ini juga, setiap Ibu membelikan baju, tas, atau baju baru, Bapak pasti memgomel.
"Baru lagi, yang lama kan masih bagus, Bu. Titik tuh, beliin. Bajunya lungsuran semua. "
Ah, Bapak. Titik biarpun barang-barangnya lungsuran dariku, tapi kan masih bagus semua.
Besoknya, sebelum berangkat sekolah, Ibu berbisik kepadaku, "Sabar, ya nduk. Ibu pasti beliin kamu HP. Tapi ya ndak bisa sekarang. Uangnya harus Ibu kumpulin dulu. Nanti kamu tambahin uang tabunganmu juga ya? "
Sebenarnya, aku tidak ikhlas memakai tabunganku buat beli HP. Itu kan tugas orang tua memenuhi kebutuhan anak. Kenapa jadi aku yang harus mengeluarkan uang?
Biarlah, daripada tidak dibelikan. Tetapi tentu saja, aku tidak mau keluar semua uang. Ibu tetap harus keluar uang lebih banyak.
Dan, akhirnya, setelah setahun, dan harus terus aku ingatkan, Ibu membelikan aku HP. Lengkap dengan nomer baru. Ah, tak sabar rasanya segera pulang dan memamerkan kepada teman-teman ku.
Panasnya matahari di pasar tidak lagi kurasakan. Bahkan keranjang sayuran yang aku tenteng juga tidak terasa berat.
Tentu saja, karena HP yang aku idam-idamkan sudah ada di tas.
Kupastikan tas ranselku tertutup rapat. Satu tanganku menjinjing keranjang sayuran, satu lagi memegang tas ranselku. Tepatnya kotak kardus HP di dalam tas ranselku.
Akhirnya, Ibu selesai membeli semua keperluannya. Kami lalu keluar dari pasar.
"Kita naik colt atau andong, Bu? "
"Andong saja, ndak apa-apa bayarnya agak mahalan. Man-eman (sayang) HP mu kalau kelamaan di jalan. "
Yes... Dalam hatiku.
Aku memang males naik colt. Harus nunggu sampai penuh dulu. Beda kalau naik andong, asal tawar menawar harganya cocok, andong bisa berangkat kapan saja.
Tentu saja, semakin sedikit penumpang, harganya semakin mahal.
Beruntung, ada andong yang sudah mau berangkat.
"Pak, saya mau naik sampai pertigaan Kancil, ini andongnya lewat, Pak? " tanya Ibu.
"Oh, bisa Bu. Bisa. Tapi nanti belok ke rumah pak lurah desa Mager Ayu dulu, nggih. Ini ibunya ada yang turun sana. " Jawab Pak Kusir.
"O, nggih. "
Ibu dan Pak Kusir lalu tawar menawar harga, setelah sepakat, kami berdua lalu naik.
Penumpangnya juga cuma dua orang. Seorang Ibu berkacamata dan memakai kebaya dan seorang lagi Ibu bercelana panjang. Tapi barangnya...... Buanyakk bangettt.
Untung Ibu dan aku badannya kurus. Kami masih bisa nyempil diantara barang-barangnya.
Perjalanan dari pasar ke pertigaan jalan menuju rumah hanya butuh waktu 15 menit. Kudengar Ibu sudah asyik mengobrol dengan ibu-ibu yang lain.
"Sampeyan mau turun mana tho, Bu? " tanya Ibu kepada Ibu berkacamata.
" Saya masih jauh, lewat Bok Abang ( Jembatan Merah). Toko Sentosa. "
" Oalah, Ibu pemilik Toko Sentosa? Tapi masih mau, ya belanja sendiri. Naik andong lagi. Bukannya orang kaya, punya mobil? "
" Saya bukan pemilik Toko Sentosa kok, Bu. Saya cuma tukang masak di sana. "
"Oalah batur(pembantu) ..... Batur kok belanja ke pasar pakai baju bagus, dandan lipenan segala...Kirain priyayi. " Ibu langsung melengos karena merasa tidak level mengobrol dengan pembantu.
"Lah, Ibu satunya berarti yang turun di rumah pak lurah desa Mager Ayu? " Ibu lalu bertanya kepada Ibu bercelana panjang.
Ibu melirik baju si Ibu. Bercelana panjang coklat, baju kemeja kembang pink. Rambutnya diikat seadanya dengan karet gelang. Dipadu dengan sandal sw****w warna hijau.
"Iya, Bu" jawabnya sambil senyum.
"Batur juga? "
Ibu berkacamata tampak sewot.
"Bu, sampeyan jangan sembarangan ngomong. Dia itu Bu Nanik, dia.. "
Kata-kata nya berhenti karena ibu bercelana panjang yang ternyata namanya Nanik menyentuh tangannya.
"Sudah, Mbak Nur. Saya ndak apa-apa kok. "
Bu Nanik lalu memandang ibuku.
"Sampeyan kenapa sih dengan profesi batur? Kayaknya jijik banget. Apa yang salah dengan profesi itu? Pekerjaan halal, ndak dosa, sangat membantu buat orang yang membutuhkan. "
" Yo.. Beda Bu. Saya kan istrinya guru SMA Negeri Luwak Ijo. SMA paporit di kecamatan Luwak Ijo. Suami saya itu priyayi. Masak saya bergaul sama batur. Ya ndak pantes. "
Bu Nanik hanya tersenyum
"Sampeyan istrinya siapa, kalau boleh tahu? "
Ibu menjawab dengan judes.
"Kenapa sampeyan nanya-nanya? Namanya Joko Susilo, S. Pd. Sampeyan ndak bakal kenal suami saya. Orang batur kerjaannya di dapur orang, mana kenal para priyayi. "
Bu Nanik hanya tersenyum. Kemudian kami hanya berdiam diri selama sisa perjalanan. Sebenarnya aku malu dengan omongan Ibu. Terdengar jelas sangat merendahkan orang lain.
Tapi..... aku males mengurusi urusan orang lain. Biar saja Ibu judes dan menyebalkan buat orang lain. Yang penting baik sama aku. Hehe...
Tak berapa lama Bu Nanik turun di depan rumah lurah Desa Watu Jlitheng. Rumah yang luas dengan atap berbentuk limasan. Terlihat ada dua mobil yang berderet di depan rumahnya. Wah, kaya sekali pak Lurah ini.
Kamipun meneruskan perjalanan. Di pertigaan Kancil, kami turun. Saat membantu kami turun, pak Kusir berbisik kepada Ibu.
"Bu, lain kali mulutnya itu dijaga. Hati-hati, jangan sembarangan ngomong. Nanti kena tulah, lho. "
Ibu hanya menatap dengan mendelik. Bergegas kami pulang ke rumah.
Sampai di rumah, aku taruh keranjang sayur di dapur. Langsung aku masuk kamar.
Terlihat ada Titik sedang menulis. Mungkin mengerjakan PR.
Buru-buru aku buka kardus HP ku.
Titik melirikku.
"Apa itu, mbak? "
"HP baru, " jawabku sambil tersenyum.
"Dibeliin sama Ibu, mbak? " tanyanya lagi.
"Iya, dong. "
"Pakai uang Ibu, mbak? "
Aku melirik Titik kesal. Tanya melulu, ih.
"Lha iyalah, kan Ibu sudah janji. "
Kulihat Titik bergegas keluar kamar.
Bodo ah, yang penting aku akhirnya punya HP baru.
Share this novel