Aku mengenal Lorecia di sebuah lokakarya jurnalistik di Jerman tahun 1999. Sejak itu, aku akrab dengannya walau hubungan kami hanya melalui telefon dan e-mail. Aku terdorong menulis seluk-beluk kehidupan street-children Brazil kerana idenya dan ia mengundangku ke Brazil. Sayangnya, ketika aku sampai di Brazil, ia ditugaskan secara mendadak ke Mexico City. Tapi, ia meminjamiku mobil lengkap dengan sopirnya dan mengatur pertemuanku dengan Nikita Jose .

Ya, sekarang aku sedang berhadapan dengan Nikita Jose di rumahnya banglo mewahnya terletak di kawasan Morumbi, kawasan elitnya Sao Paulo. Kaki Nikita yang mulus sedang diurut oleh seorang perempuan tua, berkulit hitam, sedang duduk bersimpuh di atas karpet Parsi buatan tangan, Nikita pula duduk di sofa kayu mahagoni i beralas kasur putih, seputih bantal dan guling hiasnya. Juga, seputih gaun panjang dan kasut yang dipakainya. Sungguh anggun, elegan!

“Maaf, Tuan Hadi , saya tidak bisa Anda wawancarai malam ini, kerana saya sangat lelah!” bibir Nikita tiba-tiba terkuak, meluncurkan penolakan..

“Maaf, tadi sore ketika saya telefon , Anda menyuruh saya kemari malam ini?” tangkisku cepat, sambil berusaha menyembunyikan kekesalanku.

“Ya, kerana tadi saya rasa tidak penat.” Nikita yang tinggi lampai nan jelita itu seraya membentangkan kedua tangannya yang indah .Dia sama sekali tidak merasa bersalah. Sikapnya itu benar-benar membuatku kesal dan kecewa. Dalam hatiku sempat mengata: Wah, apa benar perempuan angkuh sombong berlagak begini jadi pelindung anak-anak jalanan? Mustahil! Sandiwara semata saja!

“Nah, sebaiknya sekarang Anda menikmati keindahan kota ini. Saya sarankan, Anda duduk-duduk di Café de Fravo, menghirup secangkir kopi Brazil atau segelas cerveja – bir khas Brazil sambil mendengarkan musik samba. Café de Fravo, kafe terantik di Sao Paulo, telah berusia ratusan tahun. Itu bisa Anda tulis untuk koran Anda. Obrigada! Tchau!” Nikita meninggalkanku, disertai perempuan tua keriput itu.