BAB 5

Drama Completed 286

“Lorecia , berapa sekarang usia Nikita ?” selaku, memotong kalimat Lorecia .
“Ya, sebaya denganku. Tiga-puluh lima. Tanpa anak.” Jelas Lorecia .
“Kasihan!” komentarku spontan.

“Ia kaya harta, tetapi mengaku miskin jiwa. Itulah makanya, ia mengurusi anak jalanan. Kalau hatinya tidak sedang sumpek, Nikita lucu, humor-humornya segar,” Lorecia tertawa, “Ia suka ngumbar humor-humornya sambil ngopi di Café de Fravo…,”

“Oiya, tadi Nikita menyuruhku ngopi di Café de Fravo. Dia bilang, kafe itu terunik dan tereksklusif di Sao Paulo. ” Ceritaku meluncur spontan.

“Oiya? Lorecia terheran-heran. “Itu, isyarat — bagaimanapun, dia menaruh perhatian padamu. Tulis saja itu dalam laporan perjalananmu ke Brazil,” saran Lorecia kemudian.
“Ide bagus. Aku memang mau ke kafe itu,” kukatakan rencanaku kepada Lorecia .
“Bagus. Tulis saja laporanmu mengenai pertemuanmu yang kacau-balau dengan Nikita , plus bahan-bahan Nikita dariku. Ditambah visiting favela, ke panti-panti dan taman pertanian untuk pelatihan kerja street-children. Tambahannya, pengalaman you yang unik minum kopi Brazil dan cerveja di Café de Fravo. Buat judul tulisanmu Winter di Hati Nikita Jose . Menarik kan? Optimistik, Bung!” Lorecia memberiku semangat.

“Okey. Setuju. Aku sekarang mau ke Café de Fravo. Goodbye, Lorecia !” pamitku.
“Goodbye and take care! Kunanti kedatanganmu di Mexico City. Okey?” sahut Lorecia .
“Okey!” Aku memang mau ke Mexico City setelah pekerjaanku selesai di Sao Paulo.

Nah, usai menelefon Lorecia , aku masuk ke Café de Fravo. Kafe yang telah berusia sekitar dua abad ini, ternyata tidak luas. Apalagi temboknya dibiarkan kusam dan mebel-mebelnya berwarna gelap. Kesannya, ruangan yang ada terasa sempit. Padahal, kalau temboknya dicat lebih cerah dan salah satu sisinya dipasangi lembaran cermin, tentu kesannya menjadi luas. Begitu pula lampu-lampunya, dibesar daya-terangnya..

“Anda sudah reservasi kursi, Tuan?” tanya seorang waitress cantik, yang kuperkirakan berdarah Itali-Jepang, menyambut kedatanganku. Ia mengenakan rok panjang model Abad XVIII. Sungguh unik. Terus terang, aku terpesona.

“Belum!” sahutku cepat, agak geragapan, kerana asyik memandanginya.
“Maaf, kalau begitu, Anda dalam waiting list, Kerana , bangku yang ada sudah dipesan semua, sehari sebelumnya. ” Jelas si Waitress.
“Jadi, aku tidak bisa ngopi di sini? Padahal aku jauh-jauh datang dari Indonesia.” Sahutku dengan membawa nama ‘Indonesia’ agar diberi bangku.

“O, tentu saja bisa.” waitress itu tersenyum, “Tapi, Anda hanya boleh duduk di teras sana!” ia menunjuk meja-meja yang ada di teras dan dinaungi payung-payung.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience