BAB 3

Drama Completed 775

“Stop! Stop! Jangan kau teruskan.. Berisik, Kang” tiba-tiba adikku si Janin yang berdiam hampir sembilan bulan mulai angkat bicara. Nadanya keras seperti berang, membuat aku dan Ari-Ari terkejut.

“Lhooo…lhooo…kok marah-marah?” – kata Dik Ari-Ari pada Dik Janin. “Kakang Kawah bicara baik-baik, menceritakan keindahan bumi yang sebentar lagi akan kau huni, Dik! Mengapa kau katakan berisik?”

“Memang berisik!” Dik Janin sewot.
“Berisik? Mosok sih…Dik!” aku kecewa.
“Kerana aku ndak suka itu. Aku benci bumi!” Dik Janin menjerit.
“Lho…Benci bumi bagaimana? Mungkin besok atau lusa kau akan jadi warga bumi.
Usiamu di dalam garba sudah lebih dari sembilan bulan,” Dik Ari-Ari memberi tahu.
“Ndak soal. Pokoknya, aku ndak mau jadi penghuni bumi,” Dik Janin menolak keras.
“Aku mau tetap tinggal di sini. Selamanya!” tambahnya ngotot.
“Wah, ya tidak mungkin toh Dik. Tubuhmu makin membesar dan Garba Bunda hanyalah sebuah ruang terbatas, tak akan cukup lagi untuk menampung kau dan kami berdua.. Garba Bunda bisa meletus doooorrrr …doooorrr…seperti balon yang kepenuhan udara.” Kataku.

“Bila kau dalam kandungan lebih dari sembilan bulan, kau akan seperti anak babi yang disebut genjik, atau anak kerbau yang disebut gudel atau anak sapi yang disebut pedhet. Kau mau disamakan dengan anak-anak binatang itu?”

“Biarin. Emang gue pikirin…E-Ge-Pe!” Dik Janin makin bersikeras.
“E, jangan E-Ge-Pe. Anak manusia jadi rendah martabatnya, jika disamakan dengan gudel, pedhet atau genjik. Kenapa? Kerana anak babi hanya bisa molor, ngompol dan bau pesing. Anak kerbau, gudel itu, dimitoskan bodo – plonga-plongo. Anak sapi, pedhet, bisanya hanya nyusu, menthil dan pemalas. Apa kau yang ganteng dan cerdas mau disebut begitu?” tanyaku, untuk menyadarkannya.

“E-Ge-Pe..!” Dik Janin berang, “Lebih baik aku jadi pedhet daripada anak manusia!”
“Lhooo kok ngono to Dik Janin?” penggalku, terkejut.
“Lha iyalah,” seru Dik Janin, “Jadi anak sapi terjamin. Begitu lahir, dapat ASI dan akan terus dapat ASI sampai bila ia mau dan induknya mau menyusui anaknya.”
“Kau juga akan disusui Bunda kita,” sela Dik Ari-Ari.
“Ndak. Berkali-kali aku dengar, Bunda hanya akan memberiku susu formula, kerana ia takut payudaranya yang semula keras montok berubah menjadi mlorot-kendor dan tubuhnya gembrot. Ia takut tidak dicintai lagi oleh suaminya. Ia khawatir ndak laku main film lagi. Lagi pula, payudara Bunda kan sudah disumpel silikon dan sekarang jadi ikon rumah kecantikan yang mengontraknya sebagai bintang iklan yang menjual jasa ‘pencipta’ payudara indah.. Mana bisa payudara bersilikon menghasilkan ASI yang sehat?” Dik Janin gemas, “Padahal sekarang ini, susu formula umumnya mengandung bakteri yang akan merusak otak bayi atau membunuh bayi-bayi pelan-pelan, termasuk aku. Maka, lebih baik aku ndak usah lahir saja!”

Rupanya, Dik Janin mendengar apa sering yang dikatakan Bunda pada ayah, juga pada teman-temannya yang disebut sebagai selibriti.

“Sederet alasan lagi yang membuatku tidak mau lahir ke bumi,” Tambah Dik Janin.
Aku dan Ari-Ari membiarkan si Janin berbicara.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience