BAB 4

Drama Completed 775

“Bumi yang ada sekarang ini tidak seindah dulu lagi. Bumi sekarang sudah mengerikan. Gundul tanpa hutan raya hijau zamrud kerana dibabat para pelaku illegal logging. Akibatnya terjadilah banjir dan longsor di mana-mana, menyengsarakan umat manusia. Bumi telah kelewat diperkosa, dicangkul, dibor, hingga membanjirkan lumpur panas. Bencana itu tidak hanya menenggelamkan banyak rumah, banyak desa, juga menghancurkan masa depan anak-anak. Aku ogah ditelan banjir, apalagi terkubur lumpur panas…hiiiiiiii. Ogaaah aaahhh!”

“Dari mana kau tahu itu?” selaku dengan pedih. “Dari layar TV, kulihat lewat pori-pori perut ibu yang terlapis kain tipis transparan,” sahut Dik Janin . “Lalu, apa lagi yang kau lihat dari layar TV?” Dik Ari-Ari menjajagi. “Kalau kusebutkan satu persatu tidak selesai dalam semalam. Aku ngeri!…,” suara Dik Janin terdengar serak menahan rasa ngeri. “Apa saja yang membuatmu ngeri,Dik?” tanyaku dengan sabar.
“Jumlah koruptor terus meningkat, pengadilan yang tidak adil, harga sembako terus membubung, langkanya minyak tanah dan minyak goreng, banyaknya kasus batita dan balita yang dibunuh ibunya, bayi-bayi yang mati kerana kurang gizi..,” sahut Dik Janin.

“Tapi, kau tidak akan kekurangan gizi, Dik. Bunda bintang film yang laris – uangnya segunung. Ayah kita pengusaha sukses, dijuluki konglomerat muda. Hidupmu bakal terjamin.…Dik,” aku membesarkan hatinya.

“Benar katamu, Kakang. Mungkin aku tidak kekurangan makanan. Tapi, di rumah Bunda hanya ada jenis makanan frozen, penuh pengawet, zat kimia dan sejenisnya. Tak heranlah kalau kakak kita – Mas Bimo menderita autis. Aku ndak mau jadi Mas Bimo yang kerjanya setiap saat menjerit-jerit dan nggigit siapa saja.” Dik Janin menyebut kakak kami, Bimo – yang lebih dulu berada di bumi. Dik Janin lahir, akan menjadi putra kedua Ayah-Bunda..

“Aku tak mau jadi anak Ayah dan Bunda. Aku malu!” protes Dik Janin, mengejutkanku dan Dik Ari-Ari.
“Malu?” tanyaku serentak bersama Dik Ari-Ari.
“Ya jelas malu dong. Aku akan terkait dengan karir mereka .” ujar Dik Janin getas.
“Maksudmu?” tanya Dik Ari-Ari.
“Ah, jangan pura-pura tidak tahu.” Ujar Dik Janin sinis.
Aku dan Dik Ari-Ari membiarkan si Janin terus berbicara, agar ia merasa lega.

“Ibu jadi pemain film laris bukan kerana mutu aktingnya. Tapi kerana keberaniannya untuk buka-bukaan baju. Ia tidak malu memamerkan lekuk-lekuk tubuhnya. Ayah jadi pengusaha sukses kerana dimodali para pejabat hitam,. dapat proyek-proyek KKN…,”
“Husss…husss…jangan negatif begitu terhadap orangtua kita., Dik,” kataku lembut.
“Bagaimana aku harus memandang mereka Kakang Kawah?” Dik Janin melembut.

“Pandang segi positifnya. Sekarang, Bunda tidak mau main seronok di film. Ia mulai selektif memilih peran. Ia juga serius belajar akting dari beberapa sutradara ternama. Tiga puluh persen pendapatannya disumbangkan ke panti asuhan. Ayah juga beramal. Ia mendirikan yayasan pendidikan, memberi beasiswa anak-anak berprestasi dari kalangan lemah, memperbaiki sekolah-sekolah yang roboh dan mendirikan perpustakaan untuk sekolah-sekolah miskin. Dana yang dikeluarkan ayah tidak sedikit, Dik!” kataku.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience