Atmosfer di pagi ini sedikit berbeda dari pagi-pagi sebelumnya, pagi yang benar-benar di selimuti oleh kelabunya sang gegana.
"Shill, jangan terlalu lelah, ingat pesan dokter, kamu itu belum sembuh total," ujar Bunda dengan menghidangkan teh hangat di depanku yang masih tercenung. Seakan ada sesuatu yang menyeruak dalam rasioku, semakin aku berusaha mengingatnya akan semakin merajam diriku.
"kamu yakin masih kuat?" celetuknya lagi, hanya lenggutanku yang bisa ia terima sebagai jawaban iya dariku.
Hari ini adalah hari yang aku benci, karena harus ada jam kuliah malam, sepulang kuliah aku memilih untuk tidak terlebih dahulu menemui Nafisa, karena aku tahu betapa keponya dia tentang apa yang terjadi padaku lusa. Beruntung sekali aku terpisah dengannya saat mengantre lift, sedikit demi sedikit aku melangkah mundur menjauhi lift itu, saat aku berjalan melewati ruang tunggu sepintas aku mendengar seseorang memanggilku, aku kembali merasakan dingin yang teramat menusuki tulangku. Bahkan aku mencium bau mawar menyengat yang tiba-tiba datang dan pergi begitu saja
Namun rasa penasaranku mengalahkan ketakutanku, aku berusaha mencari pusat suara itu, apalah daya aku tak menemukannya. Dan aku menjingkat saat lampu kelas yang ada di sampingku padam, yang di sertai dengan beberapa lampu-lampu di lorong. saat itu mulai merasa ada yang tak beres aku berlari menuruni anak tangga itu hingga ke lantai dasar. Dengan napas terengah-engah, aku menjatuhkan diriku di lantai umtuk mengatur napasku.
"Shill, kamu nggak apa-apa?" teriak Nafisa dan beberapa teman kelasku. Aku hanya menyunggingkan senyuman kepada mereka menandakan aku baik-baik saja.
Nafisa menawariku untuk mengantarku pulang, karena memang semenjak kecelakaan itu kedua orangtuaku sangat melarang aku untuk berkendara sendiri. Dan momen-momen yang seharusnya aku hindari kini benar-benar mencacati pendengaran dan otakku.
"Shill, kamu kan kemarin udah janji mau cerita, cerita dong sama aku kenapa kamu bisa kayak gitu!" Ujar Nafisa tanpa memandang ke arahku. Aku mulai menceritakan kepadanya bahwa semua berawal dari pohon besar di seberang kampus, seakan ada sebuah cerita kelam di sekitarnya, sebuah teriakan, tangisan, darah dan benturan yang keras. Namun Nafisa segera menghentikan ceritaku.
"Eh, Shill kita lanjut besok saja ya, sepertinya aku tahu apa yang kamu maksud, aku nggak cukup berani kalau harus bercerita sekarang, maaf ya bukannya apa-apa tapi aku orangnya penakut, apalagi aku pulang sendirian," ujarnya. Itu sangat menjadi sebuah tanda tanya besar bagiku.
Ke esokan harinya, pagi-pagi sekali kita bertiga Alya, Nafisa dan aku sudah bertengger di ruang tunggu, entah kenapa aku memang suka pemandangan kampus saat pagi hari.
"Aku dengar dari Nafisa, lusa kamu ngalamin hal nggak wajar ya?" celetuk Alya. Aku hanya mengangguk mengiyakan. kemudian dia melanjutkan bercerita bahwa apa yang aku lihat berkaitan dengan tragedi kecelakaan 7 bulan yang lalu dan menewaskan satu korban laki-laki dia salah satu mahasiswa di kampus itu. Itu di sebabkan karena dia ingin menyelamatkan seorang perempuan yang kabarnya luka parah di bagian kepala. Dan dia yakin bahwa arwah laki-laki itu masih ada di sana sampai saat ini, hal bodoh macam itu bagiku orang mati tidak akan pernah ada lagi. Dan yang membuatku baper cerita dimana ada sebuah kotak cincin dan mawar yang tergeletak tidak jauh dari mayatnya.
Beberapa hari kemudian, aku memberanikan diri untuk menceritakan semua apa yang terjadi padaku, bahkan aku juga bercerita tentang laki-laki aneh yang selalu aku temui dari sekian banyaknya laki-laki entah kenapa aku hanya sering bertemu dengannya. Laki-laki yang kurasa sangat familiar bagiku, seakan aku sudah mengenalnya begitu lama. Suatu ketika karena terlambat masuk kelas aku terpaksa TA dan menunggu sampai pelajaran selesai. Aku duduk di ruang tunggu yang lengang, tak ada seorang pun yang duduk di sana, hanya ada segelintir orang saja yang berlalu lalang.
Tiba-tiba saja laki-laki aneh itu muncul dari kajur, aku melirik ke arah papan yang tertempel di atas pintu, dari situ aku berpikir bahwa dia satu jurusan denganku,
jantungku terasa berdampung-dampung saat ia berjalan ke arahku, tak pernah terpikir olehku jika kami akan duduk berhadapan sedekat ini, karena biasanya kami hanya bersisipan. Aroma mawar itu melekat pada tubuhnya, aku mereka-reka dia memang laki-laki peminat bunga mawar. Aku semakin tak karuan ketika dia melemparkan senyumanya ke arahku, dia terlihat sangat manis. Tidak lama kemudian beberapa temanku dari kelas lain datang menyapaku, dan mungkin laki-laki ini sedang menunggu kelas.
Apa mungkin laki-laki ini memang tipe orang yang tak banyak kata, karena beberapa teman yang menyapaku tak ada satu pun yang menegurnya.
"Shilla, aku pikir kamu udah balik," ujar Nafisa.
"Belum kok," jawabku dengan bola mata yang terus memperhatikan dia yang kini beranjak dari bangkunya. Dan karena pertanyaan-pertanyaan Nafisa yang memecah konsentrasiku, aku harus kehilangan jejaknya yang entah ke kelas mana ia masuk.
"Gara-gara kamu aku jadi nggak bisa tahu deh dia kelas apa!" gumamku dengan ekspresi dongkol.
Karena rasa penasaran aku dan Nafisa memilih untuk tak meninggalkan tempat hingga jam kuliah dua kelas itu selesai. Walhasil waktu sudah menunjukkan pukul 17:00 sudah hampir satu jam kami di sana, dan akhirnya kami pulang dengan tangan kosong dan berawai.
Share this novel