Namaku Saziya Ashilla, mereka biasa memanggilku Shilla, aku berkepribadian yang bisa dibilang introvert, bukan karena aku tidak bisa menaruh diri. Tapi karena memang aku lebih nyaman dengan kesunyian. tidak jarang mereka menganggapku aneh atau bahkan menjulukiku anak indigo, walaupun sebenarnya semua itu tak benar.
semenjak kecelakaan yang menimpaku hari itu membuat diriku benar-benar absurd. selama 6 bulan aku tidak bisa mengingat apapun bahkan kedua orangtuaku, karena kondisiku yang terus saja naik turun membuat dokter merasa bimbang untuk memulangkanku, waktu 6 bulan itu hanya aku habiskan di dalam kamar inap yang jauh dari lorong tempat lalu lalang para penghuninya. yang bisa kudengar hanya suara derap sepatu milik suster yang dengan sabar merawatku, setiap pagi selalu ada seorang laki-laki paruhbaya berpakain rapi datang dengan seorang perempuan paruhbaya yang selalu membawakanku bucket bunga.
Mereka adalah Ayah dan Bundaku, tapi sungguh kebesaran Tuhan di suatu malam aku melihat kedua orangtuaku tertidur di sofa panjang yang disediakan di dalam kamar.
"Bunda," entah bagimana bisa ia mendengar suaraku yang lirih itu. dengan perlahan ia membuka matanya yang sayu, betapa terperanjatnya ia mencerapkan panggilanku.
"Ayah, ayah, Bunda nggak salah dengar?" ujarnya dengan memukul-mukul pelan bahu Ayah.
Jelas saja aku melihat mereka dengan heran, begitu juga mereka yang melihatku seperti orang asing.
"Bunda, Ayah." sekali lagi aku menyeru. dengan segera mereka berlari mendekatiku.
"kamu ingat Bunda dan Ayah nak?" ujar Bunda dengan melekapku kuat.
"Shilla kamu sudah sembuh nak, tunggu sebentar Ayah akan panggilkan dokter. Dokter, dokter," teriaknya dengan berlari kencang hingga tersungkur di depan pintu kamarku.
Aku melihat kebahagiaan yang teramat dari kedua orangtuaku, namun aku benar-benar tidak tahu kenapa aku bisa menjadi seperti ini, setiap hari menghabiskan waktu di kamar ini, dan hanya sesekali keluar untuk menghirup udara segar. Aku masih bertanya-tanya apa yang sebenarnya menempa diriku.
" Shilla, kamu ingat Bunda nak?" ucapnya lagi, kini perbanku terasa basah oleh airmata Bunda yang terus saja berambai-ambai.
"Bunda ini masa Shilla nggak ingat sama ibu sendiri."
tidak lama kemudian Ayah datang bersama dua dokter dan empat perawat.
"Anak saya sudah sembuh dokter, itu dia, Shilla ingat Ayah sama Bunda kan?" ucapnya lagi dengan napas terengsh-engah.
"Ayah ini Shilla nggak akan mungkin melupakan kedua orangtua Shilla."
"Benarkan dok, anak saya sembuh dok!" teriaknya lagi. kedua dokter itu kini mendekatiku. Mereka adalah Dokter Benny dan Dokter Boy.
"Coba kamu sebutkan nama lengkapmu," ujar Dokter Boy.
"Saziya Ashilla," jawabku lirih.
"Berapa usiamu?" sambung Dokter Benny. Bagiku ini adalah pertanyaan yang tidak masuk akal, aku yakin anak SD pun bisa menjawabnya tanpa berpikir keras.
"23 tahun," jawabku dengan nada malas.
"Apa kamu ingat salah satu teman dekatmu?" tapi entah pertanyaan itu benar-benar membuatku berpikir keras.
"Auw, sakit!" eluhku dengan memegang kepala bagian kiri. benar-benar terasa sakit lagi-lagi mereka memandangku dengan aneh.
"Bu apa kecelakaan itu terjadi di sekolah atau kampusnya? atau bersama temannya" kini giliran Ayah yang angkat bicara.
"Kami tidak tahu pasti tapi menurut informasi kecelakaan itu terjadi tidak jauh dari kampus." Dokter Benny kembali bertanya kepadaku,
"Shilla dimana kuliahmu?" rasanya aku seperti bayi yang baru terlahir kedunia aku benar-benar tidak mengerti dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuatku semakin pusing.
"Baiklah, pak, bu saya rasa cukup, bisa bicara sebentar di ruangan kami pak?" ujar Dokter Benny.
"Bisa-bisa pak."
kini hanya tinggal aku dan Bunda yang masih memelukku.
TOK-TOK-TOK
seorang perawat membawakan nampan berisi makan malamku.
"Silahkan, seperti biasa ini obat malamnya."
"Baik terimakasih," sahut Bundaku yang segera mengambil alih nampan itu.
"Sekarang Bunda suapin kamu, setelah itu minum obat biar cepat sembuh dan kita bisa pulang sama-sama."
Entah kenapa pertanyaan-pertanyaan itu masih bersemayam dalam tilikanku.
Share this novel