Menjeru

Romance Completed 426

Semenjak kejadian itu, hari-hariku menjadi sedikit berbeda, tidak jarang aku mengalami hal-hal yang di luar kepala, seperti suatu ketika, selesai jam kuliah malam saat itu sekitar jam 21:00, setelah mengantre lama dan berebut lift akhirnya aku harus kembali ke lantai 8 karena bodohnya diriku meninggalkan tugas di sana. Aku menilik lift yang baru saja bergerak naik, apa boleh buat aku memilih untuk menaiki tangga sendiri karena Nafisa tidak mau ikut, dengan sedikit berlari akhirnya aku sampai di lantai 8, aku mendengar seseorang berbicara dari kelasku, memang lampu masih menyala dan pintu belum tertutup aku pikir masih ada teman-teman atau dosenku, namun di luar dugaan aku tak menemukan seorang pun di dalam. Tanpa memghiraukan hal itu aku segera memusatkan pandanganku ke arah map merah terjatuh di lantai.

Ketika aku berjalan masuk mengambilnya, aku kembali mendengar suara derap sepatu, mungkin itu office boy yang akan mengunci pintu, aku segera bergegas keluar ruangan, dan lagi-lagi aku tak menemukan apa-apa. Karena badanku sudan menggeriap ketakutan aku menekan-nekan tombol open pada lift yang tak kunjung terbuka. Sesaat aku melihat laki-laki aneh itu lagi keluar dari saldh satu kelas, aku sedikit selesa karena ternyata aku tidak sendirian dalam keadaan seperti itu, tapi di luar dugaan dia hanya duduk di bangku tunggu tanpa melanjutkan langkahnya ke arahku. yang benar saja apa yang dia lakukan di sana, benar-benar tidsk bisa diharapkan.

Dan lift pun terbuka, aku sedikit heran kenapa ada banyak sekali mahasiswa yang ternyata belum meninggalkan kampus, buktinya lift ini masih saja penuh dari awal aku memasuki lift aku sudah merasa tidak normal, kenapa malam itu dengan beberapa orang di dalam lift masih saja terasa dingin, padahal secara logika kita tahu semakin banyak benda yang menempati sebuah ruangan pasti akan ada penghantar energi. karena aku sudah mulai merasa tidak aman aku terpaksa menekan angka 7 untuk bisa segera keluar dari lift itu. pintu pun terbuka dan aku tidak menemukan seseorang pun di sana dengan lampu-lampu kelas yang sudah padam. apa boleh buat dari pada terjebak di antara kerumunan tidak jelas aku memilih untuk menuruni tangga. saat itu Nafisa meneleponku.

"Kamu lama banget sih, padahal aku sudah lihat kamu naik lift kenapa keluar di lantai 7?" aku mengacuhkan telepon itu, ini bukan saatnya untuk menjawa pertanyaan seperti itu. Aku kembali mendengar derap langkah berada tepat di belakangku. tapi tak ada bayangan yang bisa ku lihat aku semakin menjadi-jadi, aku berlari hingga lantai 5 dan akhirnya di sana aku bertemg dengan laki-laki aneh itu lagi, bukan saatnya untuk berpikir negatif aku beruntung masih bisa bertemu dengannya, aku heran setiap aku bertemu dengan dia aku merasa terselamatkan.

Aku berjalan sedikit jauh darinya, ternyata dia juga menghindari naik lift, tahu seperti ini lebih baik sedari tadi aku berjalan dengannya.

"Shilla, kamu ngapain jalan kaki turun tangga? lift kan kosong!" ujar Nafisa yang berlari ke arahku. sesaat aku menoleh ke arah laki-laki yang entah hilang kemana. Aku merengek untuk segera pulang dan berjanji akan menceritakan semuanya lain hari.
sesampainya di rumah aku melihat setangkai bunga mawar di depan halaman rumahku mungkin itu milik seseorang yang terjatuh, karena tak ada rasa tertarik terhadap bunga itu aku memilih untuk mengacuhkannya. sekelebat aku teringat dengan laki-laki aneh itu.

Beberapa hari aku lalui dengan tenang tak ada sesuatu yang mengganjal seperti hari-hari sebelumnya, dan aku semakin sering bertemu dengan laki-laki aneh itu, ada beberapa problem yang mengahantui ku, dari sekian banyaknya laki-laki di kampus kenapa aku hanya sering sekali bertemu dengan laki-laki aneh itu, dari situlah muncul keingin tahuan yang besar. ke esokan harinya hari-hari mencekam datang kembali dalam kehidupanku. semua di mulai saat aku menemani Nafisa ke kamar mandi. Aku melihat seorang perempuan memasuki kamar mandi yang kosong. tiba-tiba saja aku merasa mulas aku mengetuk-ketuk pintu Nafisa memintanya untuk segera keluar.

"kamu kan bisa pakai kamar mandi satunya kan kosong!" teriaknya.

"Aduh udah ada yang makek buruan dong!" seruku.

Dan ketika aku keluar kamar mandi aku melihat kamar mandi sebelah masih tertutup. Iseng-iseng aku bertanya kepada Nafisa.

"Belum keluar juga nih orang," ujarku dengan nada bercanda.

"Sakit akut kali perutnya," balasnya.
tidak sengaja lip ice milik Nafisa terjatuh menggelinding ke arah pintu kamar mandi yang tertutup itu. ketika dia mengambilnya

"Shill, kok aku heran ya dari tadi nggak ada suara apa-apa dari dalam jangan-jangan dia bunuh diri," perkataan Nafisa itu membuatku geli, namun ada rasa juga rasa khawatir.

Aku memberanikan diri untuk mengetuk pintu itu hanya untuk memastikan pemakai kamar mandi itu baik-baik saja. tapi setelah beberapa kali ketukan itu merebak, kami semakin berwalang hati. Akhirnya dengan seluruh kekuatan dan kelancanganku mendobrak pintu yang ternyata tidak terkunci itu. dan alhasil aku tidak menemukan siapapun di dalamnya.

"Akh, sialan kamu Shill bohongin aku!". aku kembali bertanya pada Nafisa.

"kamu dari tadi di sini kan? nggak kemana-mana kan?" dia hanya menggelengkan kepalanya dengan wajah yang terlihat sangat marah.

"Tapi serius tadi itu waktu kamu di dalam ada perempuan lewat tepat di sampingku masuk ke dalam, aku keluar kamar mandi pun pintu itu masih ketutup, makanya aku tanya ke kamu apa perempuan itu belum keluar kamu jawab belum," Nafisa melototkan matanya kepadaku. Kini ekspresi wajahnya berubah drastis dia terlihat gamang, aku hanya menaikkan alis tinggi-tinggi.

"Shill hitungan ke tiga kita jalan mundur pelan-pelan."

"Ngapain?" aku semakin bigung dengan perintah Nafisa.

"Udah nurut aja, satuuu, duaaa, tiiii..., lari Shill lari," teriaknya dengan berlari mendahuluiku.

"Kampreeeeet tungguin."

sekilas saat aku berlari membuntuti Nafisa aku melihat laki-laki aneh itu berjalan berlawanan arah denganku.

Brrruuukkk!!!

"Astaga, apaan sih udah gede masih lari-larian nggak malu apa diliatin banyak orang?" aku kenal sekali suara itu milik Alya. karena terlalu santer beralri Nafisa menabrak kakaknya yang sedang membawa tumpukan buku-buku perpustakaan yang akan ia kembalikan.
Aku melihat tatapan papaknya ke arahku, dan aku hanya bisa menelan ludah menyiapkan diri untuk mendengar kicauannya.

"kalian berdua batuin bawa ke perpus," tuturnya.

"Kak ini buku dari hasil minjem semester berapa aja? habis berapa buat bayar denda," ujar Nafisa dengan nada mengejek. Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat mereka berdua adu mulut. Baru saja aku memijakkan kaki di perpustakaan itu mataku seakan tertarik ke arah laki-laki yang duduk di sudut kanan rak buku. Laki-laki aneh itu lagi, aku semakin penasaran dengan dirinya dan bermaksud untuk menanyakan kepada Nafisa.

"Kamu ngelihatin apa sih? serius sekali?" tegur Nafisa. Aku hanya menggelengkan kepala, saat aku menoleh ke arahnya aku tak menemukan sosok itu lagi. Dan entah dia memiliki kekuatan apa tiba-tiba saja aku melihatnya sudah duduk di meja baca yang ada di lantai 2 dengan beberapa tumpuk buku di sampingnya. Dia terlihat seperti laki-laki yang misterius itu membuatku semakin penasaran.

Sambil menunggu Alya kami memilih untuk duduk di bangku yang tidak jauh dari laki-laki itu. Aku semakin lega melihatnya dari dekat seperti ini, dia terlihat seperti laki-laki pendiam, entah secara tak sadar bibir ini menyungging ke arahnya. Dan aku baru tersadar saat dia membalas senyumanku. betapa jengahnya diriku melihat senyuman manisnya. tapi tiba-tiba saja kepalaku kembali merasa sakit seperti saat aku berusaha menemukan jawaban dari kedua dokter itu.

"Shill kamu sakit? pucet banget mukamu?" ujar Nafisa.

"Aku hanya merasa sedikit pusing." Nafisa memintaku untuk menunggunya sampai dia kembali dari koperasi untuk membelikanku beberapa cemilan dan obat. Tapi aku menolak begitu saja.

Semenjak hari itu aku lebih sering bertemu dengan laki-laki aneh yang tanpa ku ketahui nama dan identitasnya. Dimanapun aku berada, namun tidak lepas di sekitaran kampus, seperti kantin, perpustakaan, ruang tunggu, ruang kelas, dan lain-lain. Sesekali aku merasa sangat dekat denganya, Bagaimana mungkin aku bisa merasakan hal itu sedangkan kami bertemu hanya sekedar bertatap muka dan melemparkan senyuman. tetapi ketika aku berusaha mengingatnya aku akan merasa sangat pusing.

Suatu ketika aku pernah bermimpi berjalan dengan laki-laki aneh itu, aku terlihat sangat akrab dengannya dan dia memberiku setangkai bunga mawar, lalu seiring waktu dia menghilang di telan sang binar. Mimpi itu sangat mengganggu hari-hariku.

"Shill aku lupa setelah matakuliah ini anterin aku ambil tugas di depan kampus ya?" aku mengiyakan permintaan Nafisa.
Beberapa menit pun berlalu, di perjalanan menuju lokasi yang kami tuju ada rasa canggung saat aku ingin menceritakan segalanya kepada Nafisa. Karena aku pikir tak ada salahnya aku berbagi pengalaman seperti halnya mereka berkeluh kepadaku.

"Nafisa aku tunggu di sini nggak apa-apa kan? kayaknya di sana rame banget," eluhku.

"Oke, tunggu ya cuma sebentar kok."
saat ini aku duduk di sebuah dingklik panjang di depan pos satpam , entah kenapa saat aku melihat pohon besar yang ada di seberang seakan ada bayangan-bayangan,api dan benturan hebat. orang-orang yang berbebar kesana kemari dan pekikan-pekikan mematikan.

Aku kembali merasa sangat pusing yang teramat, dan benar-benar sudah terlampau seketika semua menjadi gelap katup. ketika aku siuman, aku melihat pemandangan yang tak parak bagiku. pemandangan-pemandangan rumah sakit yang sewajarnya.

"Shilla," suara itu segera membuatku mengarah ke pusatnya, aku melihat Bunda dan Nafisa. Aku mulai jemu ketika mereka membuang pertanyaan-pertanyaan itu, itu karena aku tak bisa menjawabnya.

"Sudahlah, aku masih lelah."
Dan tak ada lagi pertanyaan yang ku dengar.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience