#Berbagi_Suami Part 15
Author : Ersu Ruang Sunyi
Daun-daun gugur dari ranting
Berserak terbawa angin
Terhempas ke tanah
Lalu mengering
Musim berlalu
Kemarau berganti hujan
Musim semi berguguran
Sepoi angin menjelma badai
Cinta tak lagi bertahta
Rindu tak lagi satu
Menjadi kenangan semata
Menjelma bayang semu
Ada yang menyesatkan, dari semua pilihan; itu adalah cinta yang salah, salah mencintai makhluk-Nya, melebihi pencipta-Nya.
Cinta selalu memberikan debar; debar yang begitu istimewa yang tidak akan di rasakan oleh mereka yang tidak memiliki cinta ataupun tidak pernah jatuh cinta. Namun cinta pun selalu menciptakan genangan, genangan yang mengukir rasa sakit, kecewa, bahkan putus asa, mana kala keindahan itu menjelma mimpi buruk.
***
Airmata luruh membasahi pipi, tanpa kusadari kini aku bukan lagi istrinya Mas Ilham. Talak 3, tidak lagi bisa di hapus, tidak lagi bisa di permainkan. Cinta yang begitu besar sirna dengan dua kata.
Aku yang tidak pernah bermimpi akan menjadi seorang single parent, kini harus menerima kenyataan, mimpi-mimpiku sirna di telan kenyataan.
"Abi, maafkan saya, waktu itu saya benar-benar emosi melihat Davira bersama Alex, hingga saya khilaf mengucapkan kata itu," dalih Ilham.
"Amarahmu, meruntuhkan keutuhan rumah tanggamu! tidak ada toleransi bagi seorang laki-laki yang sudah menalak 3 terhadap istrinya! Mulai detik ini jangan menjumpai kembali anak Abi! Sudah cukup kamu menyiksa batin Davira!" seru Ayahku, yang membuat Mas Ilham sujud di kakinya.
"Maafkan saya Abi, saya menyesal. Saya akan memperbaiki semuanya, apapun akan saya lakukan Untuk bisa kembali menikahi Davira," pinta Mas Ilham.
"Tidak! Tidak ada caranya lagi! Abi tidak akan pernah mengijinkan kamu menikahi Davira kembali! Tidak semudah itu Ilham! Kurang sabar apa anak Abi kamu perlakukan tidak adil! Keluar sekarang juga dari rumah Abi! Pastikan kamu mengurus perceraian di pengadilan!" hardik Ayah dengan lantang.
Semua berakhir begitu saja, begitu mudah ... alur hidup berubah tanpa rencana seperti ini.
***
Di depan hakim. Ketukan palu terdengar menghardik keras. Semua berakhir dengan airmata yang terus mengalir.
Mas Ilham yang temani oleh Sakila, terlihat murung di balik kemeja putihnya. Kulangkanlah kaki keluar dari ruang sidang, langkahku terhenti di saat di halangi oleh seorang laki-laki yang pernah paling kucintai. Lalu aku berjalan ke samping kanan, berjalan tanpa menatap wajahnya.
"Davira, maafkan Mas," ucapnya lirih.
Tak menghentikan langkahku untuk pergi dari hadapannya.
"Terimakasih, atas kebahagiaan yang telah engkau beri selama ini!" balasku, berlalu pergi dari hadapannya menuju parkiran yang sudah di tunggu oleh Rio dan Risa, karena Ibu dan Ayahku telah pulang terlebih dulu.
***
Mendung menyelimuti jalanan, gerimis turun menghujan, menjelma bulir-bulir di sudut netra.
___***
Tidak terasa waktu berlalu begitu saja, kini hujan menjelma pelangi di lengkung matanya.
"Bunda," panggil gadis kecil pemilik nama Ayunindya.
"Iya sayang."
"Bunda, katanya kita mau pulang ke rumah Oma, kapan?"
Suara cadelnya semakin membuatku gemas.
"Besok kita akan pulang, dan hari ini kita harus berkemas."
"Bunda, kenapa aku tidak punya Ayah seperti Milka?"
Pertanyaan itu, sejenak membuat jantungku berhenti berdetak, di usianya yang hampir 4 tahun ia baru bertanya untuk pertama kalinya hal seperti ini.
"Ayah Ayunindya ada kok, nanti juga Nindya bakal bertemu," jawabku sambil mengatur detak jantung.
***
Tinggal di sebuah lingkungan pesantren selama hampir 4 tahun, aku tak pernah pulang ke Jakarta, hanya sesekali Ibu dan Ayahku, mengunjungi aku dan Ayunindya.
Turun dari pesawat, dan berjalan sambil menggendong Nindya, semua nampak asing, setelah sekian lama tak melihat keramaian orang.
"Nindya."
Risa memanggil dari kejauhan, dan berlari kecil untuk segera menggendong bidadari kecilku.
Ayah dan ibu terlihat berdiri dan ada seseorang yang berdiri di samping Ayah, lelaki berhidung mancung dan bermata lentik itu.
Rasa haru menyeruak di saat kupijakan kaki kembali di kota kelahiran.
***
"Nak, ada titipan dari Rani & Rian untuk Ayunindya," ucap Ibu sambil memberikan kotak yang cukup besar.
Tak terasa airmata ini mengalir saat kuterima titipan untuk Ayunindya dari Rian & Rani. Masih teringat jelas ketika pasangan muda itu hendak melahirkan, dalam keterbatasan harus operasi sesar karena melahirkan prematur. Satu laki-laki, dua bayi perempuan dengan berat yang jauh dari kata normal. Dengan tabungan yang ada kubantu untuk semua biaya persalinan. Dan kuberikan rumah yang di kasih oleh Mas Ilham kepada Rani dan Rian. Dengan penuh keikhlasan Rani & Rian memberikan kepercayaan untukku merawat 1 dari ketiga anak kembarnya tersebut.
"Bunda, itu apa yang Bunda pegang?" tanya Ayunindya membuyarkan lamunanku di balik airmata yang mengalir.
"Ini hadiah buat Nindya dari Ayah & Bunda Nindya," jawabku sambil mengusap airmataku dengan tangan.
Ayunindya begitu berbinar ketika ia mendapatkan beberapa hadiah boneka dan baju.
Namun ia pun terheran ketika kukatakan itu adalah hadiah dari Ayah dan Bundany.
***
"Umi, Abi, besok aku mau ke rumah Rani & Rian untuk mempertemukan Nindya dengan orang tuanya," ucapku dengan terbata.
"Kamu yakin? Apa kamu tidak takut akan kehilangan Ayunindya jika ia tahu kalau kamu bukanlah ibunya? Bagaimana kalau Ayunindya mau tinggal dengan orang tua kandungnya?" tanya umi.
"Umi, mungkin ini terlalu sulit untuk di pahami oleh Nindya, namun setidaknya dia tidak akan berpikir jika ia tak memiliki Ayah," jawabku.
"Nak, ada yang lebih penting dari itu. Apa jawaban mu dari pertanyaan dari Alex kemarin? Apa siap untuk ta'aruf?" tanya Ayahku, yang membuat dadaku sesak, sudah tidak terhitung ayah ataupun ibuku berkata tentang hal yang sama.
Aku masih belum siap, hingga detik ini pun. Masih fokus dengan tumbuh kembang Ayunindya.
***
Ke esokan harinya, kuparkir mobil milik ayahku di depan rumah yang minimalis. Ya, rumah pemberian Mas Ilham sekian tahun lalu. Ia sengaja memberikan rumah ini karena rumah yang kami tempati dulu tetap di huni oleh Mas Ilham dan Sakila. Oh, aku juga tidak tahu bagaimana kabar Mas Ilham dan Sakila.
Aku turun dari mobil dengan membuka pintu mobil belakang, kuraih tangan mungilnya yang sedikit bingung, mungkin karena untuk pertama kalinya ia aku bawa ke sini.
"Bunda, ini rumah siapa?" tanyanya dengan suara khasnya yang merdu dan cadel.
Aku hanya tersenyum dan mengajaknya berjalan ke arah pintu.
"Assalamualaikum," ucapku sambil mengetuk pintu.
Tak lama kemudian pintu terbuka, dengan tatapan yang seolah tidak percaya siapa yang ada di hadapannya. Ia memaku tak bergeming.
"Mamah ... mamah, siapa yang datang?" tanya kedua anak laki-laki dan perempuan seusia Ayunindya membuyarkan lamunan perempuan itu.
"Kak Davira kah ini ..?," tanyanya. "Terus ini berarti Nindya?" lanjutnya lagi.
Tangisnya pecah, di rangkulnya bidadari kecilku itu, ada wajah yang kebingungan tersirat dari ketiga bocah kecil yang tak paham apa yang terjadi. Bagaimana mungkin mereka paham. Mungkin setelah ini aku pun akan di kutuk oleh Ayunindya karena telah memisahkan nya dari saudara kembarnya, begitu juga dari orang tuanya.
Butuh waktu bagi Ayunindya untuk memahami segalanya, begitupun untukku, butuh waktu untuk siap, jika kelak Ayunindya memutuskan untuk kembali ke orang tua kandungnya.
Ayunindya tidak mirip dengan saudara kembarnya karena mereka bukan kembar identik. Malah kata kedua orang tuaku jika Ayunindya lebih mirip denganku, mungkin karena aku yang merawatnya dari bayi.
Sungguh luar biasa skenario yang ALLAH buat untukku, mengenal Rani & Rian tanpa sengaja di sebuah toko buah, hingga bertemu kembali ketika aku mencari buah dukuh untuk Sakila, hingga aku kini di berikan kepercayaan untuk menjaganya sebagai seorang Ibu.
Walau aku tidak melahirkan Ayunindya dari rahimku, tetapi aku melahirkannya dari cinta kasihku padanya.
Ayunindya begitu senang ketika bertemu dengan Rian ayahnya, ia berteriak kegirangan jika ia memiliki Ayah seperti temannya Milka. Terlebih memiliki dua bunda, aku & Rani.
Ayunindya pun tetap memilih tinggal bersamaku, karena akulah Bundany, seru Nindya.
****
Sore ini Ayunindya dengan rengekan manjanya meminta untuk di ajak jalan-jalan ke sebuah Mall karena ada yang ingin di belinya. Dan semua permintaannya selalu di turuti oleh Risa dan Rio, dengan meng-iyakan nya.
Ayunindya berlari sambil memungut sepatu balita, lalu ia menarik tangan seorang laki-laki, yang di sampingnya ada perempuan yang menggendong anak kecil. Ayunindya menyodorkan sepatu yang terjatuh itu.
"Om, ini sepatu Dede bayinya jatuh," ucap Ayunindya.
Seketika laki-laki itu melihat ke arah Nindya dan mengambil sepatunya.
"Oh, iya jatuh ya sepatu anak Om, terimakasih ya cantik," ucap lelaki itu.
"Terimakasih ya," sahut perempuan di sampingnya. Yang menggendong anak umuran 11 bulan atau kurang lebih setahunan.
"Di mana orang tuamu!" tanya lelaki itu.
"Tuh ..," tunjuk Ayunindya. "Bunda." Ayunindya berlari ke arahku.
Pasangan suami istri itu mematung menatapku dan Ayunindya. Ayunindya langsung di gendong oleh Rio agar tidak lagi menoleh ke arah orang itu; Ilham & Sakila. Sekarang melihat mereka biasa aja, terlebih melihat Mas Ilham, sudah tidak ada debar yang dulu pernah terasa.
***
Ada yang menanti jawabanku hingga detik ini di luar sana; Alex. Ya, dia masih setia menantiku hingga kini. Tetapi aku tetap belum siap untuk menerima pinangannya.
Hingga nanti jika hati ini sudah benar-benar siap dan jika berjodoh. Maka ALLAH, akan menyatukan dengan segala ijinNya
_____
The End.
Ruang Sunyi, 19-02-20
Terimakasih bagi semua pencinta karya saya yang sangat sederhana ini. Semoga ada hal baik yang bisa dipetik dari cerita ini. Dan jangan memetik hal buruknya, cukup hal baiknya saja yang di ambil. Intinya bagi seorang perempuan jangan terlalu lemah karena cinta. Dan bagi seorang laki-laki jangan terlalu mudah untuk mengucap kata talak. Satu ucapan akan membawa perubahan. Terlebih ucapan yang buruk.
Saya tidak bisa bicara panjang lebar lagi. Selain ucapan terimakasih atas semua yang Kenan membaca tulisan saya ini????????????????????.
Tunggu karya lainnya ya di fanspag @Cerpen & Cerbung Ruang Sunyi. Atau di @Ruang Sunyi. Hatur nuhun pisan nya. Salam Sunyi, santun literasi ??
Share this novel