Kuijinkan Suamiku Menikah Lagi

Short Story Completed 1915

Berbagi Suami
Author : Ersu Ruang Sunyi

Perempuan mana yang rela berbagi suami dengan perempuan lain? Berbagi kebahagiaan dan berbagi ranjang?. Terlebih di saat pernikahan masih seumur jagung, di saat manis madu di teguk ada madu lain yang ingin di halalkan oleh sang suami.

Davira namaku, seorang istri yang memintal manis madu rumah tangga, di balik teduh mahligai janji suci, kebahagiaan begitu sempurna untukku karena memiliki suami yang teramat sangat menyayangiku, pernikahan sudah berjalan dua tahun, namun serasa masih dalam suasana hanimunan, ya, karena belum di karuniai buah hati, jadi setiap saat aku habiskan waktu bersama suamiku yang teramat sangat tampan juga penyayang.

Malam menjelang tidur, seperti biasa, beliau bercerita kegiatannya seharian ini, begitu pun dengan diriku, sambil mengecup keningku, suamiku berkata jika ia berniat untuk menikah lagi, sesaat aku terdiam, dan berasa jika dunia berhenti berputar seketika untuk beberapa detik.

"Yank, aku ingin menikah lagi, bolehkah?" ucapnya, sambil mengecup keningku.

Sesaat aku terdiam.

"Asal aku tahu siapa perempuannya, yang telah mencuri sebagian hatimu dariku yank, aku tidak keberatan jika itu membuatmu bahagia," ucapku lirih, sambil membalas kecupannya.

Malam itu terasa dingin, walau tubuhku di peluk oleh hangatnya, tubuh bidang itu, namun terasa membeku, ya, hatiku membeku.

Paginya di saat aku menyiapkan sarapan, suamiku untuk ke dua kalinya berkata jika ia berniat melamar perempuan yang ingin di nikahinya, dengan detak jantung yang saling berkejaran, kucoba mengatur ritme detak yang tak beraturan itu secara perlahan.

"Ya sudah, tentukan waktunya yank, kapan mau pergi lamarannya? biar aku siapkan semuanya, tentu pergi lamarannya bersamaku juga kan yank?" ucapku sambil tersenyum, dan mengocek teh manis hangat kesukaannya.

Aku bergegas ke dapur untuk mengambil rebus telur ayam kampung untuk pelengkap sarapan. Sesaat aku berdiri depan kulkas dua pintu dan menyender, sambil menarik ujung kerudung, agar bulir bening itu sedikit tertahan, lalu aku kembali ke meja makan.

"Yank, nanti lamarannya. Tapi belum beli cincinnya, kamu bisa kan Carikan cincin model seperti ini," ucap suamiku sambil memperlihatkan model cincin di handphone nya.

"Tentu yank, nanti aku akan carikan. Jam berapa pergi lamarannya?" tanyaku

"Ba'da isya, nanti kamu bersiap saja setelah isya," ucapnya sambil beranjak untuk pergi. Aku pun mencium tangannya seperti biasa.

Langkah ini serasa melayang, daun-daun berguguran dari ranting, sama halnya dengan segala kebahagiaanku yang berguguran terhempas angin. Cincin lamaran telah kubelikan sesuai dengan ukuran yang di minta oleh suamiku. Tinggal menunggu nanti setelah isya, aku akan pergi melamar calon istri kedua buat suamiku.

***

Berbagi Suami #Part2

Jangan bertanya seperti apa remuk redam perasaan ini, ketika aku mempersiapkan segala sesuatu untuk lamaran suamiku, untuk calon istri keduanya, tentu manusiawi jika aku pun merasakan sakit yang menghujam.

Bulir-bulir bening kusembunyikan di balik senyuman, yang di bingkai oleh kedua tangannya (suamiku).

Berkali-kali aku di tanya oleh ibuku lewat telpon.

"Nak, apa kamu sanggup untuk di poligami?" tanya ibu lirih.

" Iya Umi, aku ikhlas, jika mas Ilham menikah lagi, karena kebahagiaan nya adalah kebahagiaanku," jawabku, dengan suaraku yang tersendat karena menahan sesuatu yang ada di dalam dada.

"Nak, Abi mu memberikanmu nama Davira dalam artian, bijaksana, apakah ini yang di sebut bijaksana dengan mendzolimi dirimu sendiri," seru ibu.

"Umi, aku tidak pernah mendzolimi diriku sendiri, aku hanya berusaha menjadi istri yang patuh terhadap Agama dan kepada suami," ucapku, berusaha tegar.

Ya, aku ikhlas mas Ilham menikah lagi, walau hati kecil ada rasa sakit yang menghujam, manusiawi bukan jika aku merasakan hal yang sama, yang di rasakan oleh banyak perempuan yang tersakiti di luar sana?. Namun aku bukanlah pihak yang di sakiti, karena mas Ilham tidak lah berzina, beliau hanya ingin menunaikan Sariat Agama.

Kenapa aku harus bersedih? Berkali-kali kuraih tasbih yang tergeletak di samping tempat tidur.

Ba'da isya pun tiba, kupersiap segalanya, kurias diriku di balik gamis syar'i yang kukenakan. Kutengok mas Ilham sesekali tersenyum ke arah yang entah ke mana, yang pasti pandangannya bukanlah ke arahku, tak terasa ada yang menetes dari sudut mata, tanggul yang kokoh sedikit jebol karena banjir tanpa hujan. Bagaimana bisa kemarau ini membuat tanggul yang kubuat sedemikian rupa meluap hingga menjatuhkan bulir bening yang begitu berharga. Airmata ini sudah lama tak pernah menetes sebelum datangnya dua hari yang lalu. Dulu kuteteskan ketika sungkem terhadap Umi dan Abi di saat mas Ilham meminangku, dan kini bulir itu harus menetes di saat mas Ilham akan meminang perempuan lain.

"Yank, sudah? ayo kita pergi sekarang," ucap mas Ilham menghampiriku.

"Iya sudah yank," ucapku sembari membetulkan cadar yang menutupi wajah ini.

Sedikit tersamarkan mata sembab ini, dan untung mas Ilham pun tidak begitu memperhatikan kelopak mata yang sedikit bengkak, karena berkali-kali menangis. Kutarik nafas panjang, dengan mengucap bismillah. Kami pun pergi menuju rumah calon istrinya mas Ilham.

Kami pun di sambut dengan ramah oleh keluarga calon istri mas Ilham, setelah bercengkrama cukup lama tibalah ke intinya.

Ada senyum yang mengembang dari wajah jelita gadis pujaan hati mas Ilham, begitu pun dari wajah mas Ilham yang terlihat berseri, sebagaimana dulu ketika ia melamarku.

Setelah lamaran aku menyalami calon istri mas Ilham dan memeluknya.

Jangan berkata jika aku munafik, aku sungguh ikhlas walau sedikit sakit.

Kami pulang dari rumah calon istri mas Ilham setelah tanggal dan bulan pernikahan di tentukan oleh pihak orang tua wanita. Tiga bulan mendatang pernikahan akan di laksanakan. Di tanggal dan di bulan baik.

Sesampainya di rumah aku bergegas ke kamar mandi untuk mengganti pakaian dan membasuh tanggul yang sudah benar-benar jebol. Lebih dari 20 menit, aku di kamar mandi, sehingga berkali-kali mas Ilham memanggilku.

"Sayang, kamu ngapain kok lama banget di kamar mandinya, mas mau gosok gigi," seru mas Ilham.

"Bentar mas, aku lagi Pup," jawabku berbohong.

Aku pun keluar dari kamar mandi setelah membasuh muka.

Malam itu walau mas Ilham ada di sampingku, namun jiwa mas Ilham tidaklah bersamaku melainkan bersama Sakila calon istrinya. Aku membelakangi punggungnya sambil berusaha memejamkan mata yang tak jua terpejam.

Ah, aku sungguh munafik, ketika berkata jangan mengatakan kalau aku munafik.

"Sayang, sudah tidur?" bisiknya di telingaku.

Aku tak menjawabnya dan pura-pura tertidur, namun mas Ilham tahu jika aku pura-pura tertidur.

"Tidak maukah memeluk suamimu ini?" seru mas Ilham sambil membalikan wajahku ke arahnya.

"Mas, biar aku memelukmu hingga subuh, tetaplah seperti ini," ucapku sambil memeluk dada bidangnya.

Sedikit lebih baik ketika kujatuhkan rasa ini di pelukannya. Ya, sungguh besar rasa cinta ku kepada mas Ilham, ia cinta pertama dan terakhirku. Itulah sebabnya aku begitu teramat sangat mencintai mas Ilham. Dulu awal menikah aku mana berani memeluk mas Ilham seperti ini, untuk menjabat tangannya pun sudah membuat debar jantungku tak beraturan.

Bersambung

Ruang Sunyi, 08-02-20

#Cerbung #BerbagiSuami_Part02 #ErsuRuangSunyi

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience