.Berbagi_Suami Part 13
Author : Ersu Ruang Sunyi
PENGAKUAN ALEX
Terlihat rasa kecewa di wajah Om Afan, namun kulihat juga kekesalan di raut wajah Alex sebelum meninggalkan ruangan rawatku.
____
Ada yang luruh dari kedua bola mata
Membasahi sudut paling sunyi
Bercerita kisah tentangnya
Yang berakhir di penghujung hari
Hujan kali ini, mengukir genangan di ingatan
Ketika luka liku hidup di tulis di sebuah kertas usang, ada yang terjeda di saat malam tiba, ketika kusaksikan senja kembali keperaduan sebelum hujan tiba.
***
Hari ini aku di ijinkan pulang oleh Dokter, namun menunggu Mas Ilham menjemputku. Mas Ilham mengabari jika ia akan menjemputku sekalian periksa kandungan Sakila. Ibu merapihkan semua barangku. Dan Mas Ilham SMS jika ia sudah sampai RS, namun periksa kandungan Sakila dulu.
[Sayang, Mas sudah sampai, kamu tunggu aja, Mas sama Sakila periksa kandungan dulu.]
Kubuka SMS dari Mas Ilham, aku keluar dari ruang rawat, meninggalkan ibu yang tengah beres-beres.
Bagaimana bisa seperti ini Dok?"
"Iya Ibu, Bapak. Itu karena di sebabkan oleh virus."
"Tidak! Pokoknya janin ini tidak boleh di lahirkan!"
"Ia, kami sarankan, janin ini harus di buang."
"Bagaimana caranya Dok? apa mengaborsinya?"
"Iya, daripada mengambil resiko, dengan janin yang cacat, lebih baik di ambil tindakan secepatnya."
Aku terperangah mendengar perbincangan di ruang Dokter, khusus kandungan. Plaak ... tong sampah yang kupegang tiba-tiba jatuh. "Sial" gumamku, dengan segera berlari kecil.
"Siapa?"
"Tidak ada siapa-siapa!"
Aku terperangah ketika menyadari yang terjadi. DeJavu? lagi-lagi aku mengalaminya. Aku harus keluar dari masalah ini, aku harus menyelamatkan janin yang dikandung oleh Sakila, karena mimpi sebelumnya sama persis dengan ini. Kulangkanlah kakiku menghampiri Mas Ilham dan Sakila di depan pintu ruangan Dokter.
"Yank, Sakila," sapaku, melihat wajah keduanya nampak terkejut.
"Davira!" seru Mas Ilham.
"Em ... Yunda," sapa Sakila dengan wajah pucatnya.
"Bagaimana sudah periksanya?" tanyaku.
"Em .. Davira lebih baik kamu pergi beresin barang kamu, nanti Mas sama Sakila nyusul," kata Mas Ilham.
"Gak apa-apa Mas ada Umi yang beresin."
"Tapi," sela Sakila.
"Pokoknya, janin itu tidak boleh di buang!" seruku. Yang membuat Mas Ilham dan Sakila terkejut.
"Tahu dari mana kamu?" tanya Mas Ilham.
"Tahu dari mimpi, dan mimpi ini sama persis dengan yang kulihat dan kudengar hari ini," jawabku.
"Mimpi? Maksud Yunda?" tanya Sakila, heran.
"Entah harus bagaimana aku jelasinnya? Mungkin bisa di bilang dengan istilah DeJavu ...," jawabku. " Pokoknya janin itu tidak boleh di buang, atau kalian akan menanggung dosa sampai di akhirat!" seruku lagi.
"Tapi aku tidak mau punya anak yang cacat di bagian mata dan tangan," ucap Sakila.
"ALLAH memberikan kita kepercayaan, apa mau membuangnya?"
"Pokoknya, aku juga gak mau punya anak yang cacat! Bagaimana nanti kata orang-orang dan rekan bisnis ku!" seru mas Ilham.
"Yank, jika kamu mengijinkan Sakila untuk aborsi maka kamu dan Sakila sudah menjadi pembunuh, apapun kondisinya anak itu harus lahir, kamu ingat kan bagaimana kita merindukan tangis bayi di rumah kita?" kataku, melarang.
***
Kali ini Sakila yang menyiapkan makan malam, kami bertiga tertegun di ruang makan, dengan lamunan masing-masing. Pikiranku kembali ke Alex, apa dia baik-baik saja? karena kulihat ketika pergi dari rumah sakit, ia nampak tidak dalam kondisi baik.
Terdengar dari luar ada yang mengetuk pintu, membuyarkan lamunanku, Mas Ilham berdiri dari duduknya, berjalan menuju pintu.
"Siapa?"
"Apa benar ini rumah ibu Davira Humaira?"
"Iya betul, ada perlu apa?"
"Kami dari salah satu stasiun Tv swasta, mau mewawancarai Ibu Davira, perihal video yang vital tersebut, karena sebelumnya kami pun dari rumah Mbak Rani & Mas Rian."
"Istri saya lagi tidak terlalu sehat kondisinya."
"Sebentar kok Pak, cuma beberapa pertanyaan saja."
kenapa harus ada orang dari Tv mau wawancara? mereka mau bertanya bagaimana.
Pertanyaan demi pertanyaan mengalir dari host infotainment tersebut. Aku pun menjawab seadanya. Untuk pertama kalinya ada sesi wawancara sudah pasti itu membuatku tidak nyaman terlebih sebelumnya demam kamera, ya, demam kamera, jangankan untuk di wawancara seperti ini, untuk foto aja pakai kamera hp itu bisa di bilang hampir gak pernah terkecuali sewaktu menikah dulu. Selsai juga akhirnya.
***
Wajah teduhnya menyiratkan kekhawatiran yang mendalam, entah apa yang menggelayuti pikirannya. Ia termenung setelah tadi menceramahiku karena video viral tersebut.
Kutinggalkan ia yang tengah bercengkrama dengan isi pikirannya, aku berjalan gontai menuju kamar, kujatuhkan tubuh yang lelah ini, kulihat gawaiku, terlihat ada beberapa chat yang masuk.
[Davira.]
[Aku mau bertemu.]
[Ada yang mau aku sampaikan.]
[Please balas dong chatnya.]
Isi chat WhatsApp berjejer memenuhi gawaiku.
[Maaf Alex, aku tidak bisa! please jangan ganggu hidupku,] Balasku.
Tiba-tiba dering panggilan masuk, berupa panggilan video WhatsApp, apa yang tengah ia lakukan, kenapa panggilan video? "Tidak waras," gumamku. Sambil merijek panggilan videonya.
Ting.
[Kenapa tidak di angkat?]
Aku acuhkan chatnya tanpa membalas.
Ting.
[Davira ... I Miss u so much.]
Ingin kulempar handphone pemberian Mas Ilham satu tahun lalu ini. Dering panggilan masuk namun kali ini, panggilan suara.
Kuangkat, lalu hening. Hanya suara nafas yang terdengar jelas.
"Em ... Assalamualaikum," kuucapkan ucapan salam padanya, karena ia masih terdengar diam.
"Davira, aku ... aku mencintaimu, sungguh ...," lirih suaranya terdengar sedikit parau.
Terdiam, beberapa puluh detik aku diam tanpa bicara.
"Davira ... kamu masih di situ kan?" tanyanya lagi membuyarkan isi kepalaku.
"Alex, please ... jangan bikin lelucon yang tidak lucu seperti ini!" hardikku.
"Aku tidak bikin lelucon Dav, kamu tahu aku menyukai kamu sudah sejak kecil. Kamu masih ingat, ketika Papahku bangkrut dan sempat menumpang di rumah kamu, sejak saat itu aku menyukaimu, menyukai seluruh yang ada di dirimu, dan kamu ingat waktu orang tua kamu pergi dan di rumah hanya ada aku dan kamu, akulah yang menenangkan kamu ketika listrik padam, dan akulah yang memeluk dan menjaga kamu hingga kamu tertidur dan hingga orang tuamu dan Papahku pulang," terang Alex.
Aku tidak ingat dengan apa yang ia katakan itu, sungguh aku tidak ingat.
"Apa maksud kamu?"
"Apa kamu sudah tak ingat? Ketika waktu itu aku pun bilang sama kamu, jika aku akan melindungi kamu sampai aku mati?"
Permainan macam apa yang ia bicarakan? kututup telponnya tanpa bilang, kumatikan handphoneku, cukup sudah kudengar celotehnya yang tidak jelas, ya, sangat tidak jelas.
Kupejamkan mata ini, sungguh letih menjalani hari.
"Umi, takut, Umi aku takut."
Kudengar pintu kamar terbuka, sosok hitam menembus gelap pekatnya malam. Terdengar jeritan gadis kecil berusia 8 tahun.
"Jangan takut ini aku, kak Alex."
Sosok itu mendekati dan memeluk dan mendongengkan crrita Cinderella dan putri salju.
"Jangan takut, kakak akan menjagamu hingga kamu tertidur, dan hingga nanti kita dewasa."
Deg, aku terbangun dari mimpi, sungguh mimpi itu mengingatkanku ke masa lampau, ke waktu yang 20 tahun silam.
***
Sakila muntah-muntah sepagi ini, meja dan dapur penuh dengan tissue, kuhampiri dengan membawa minyak telon. Kuolesi pundak dan perutnya.
"Yunda, aku tidak ingin anak ini lahir!" celetuk Sakila.
"Dinda bagaimana pun kamu harus menjaga kandungan kamu, ALLAH menitipkan kepercayaan kepada kita, kamu harus menjaganya!" seruku lirih.
"Bagaimana bisa kita punya anak yang cacat?" seru Mas Ilham menghampiri.
"Yank, apa kamu mau berbuat dosa dengan membuang anak itu?" ucapku.
Perdebatan terjadi, 2 lawan 1. Namun aku terkekeh jika janin itu harus di pertahankan. Mas Ilham berangkat kantor, dan Sakila di jemput oleh ibunya. Hatiku tidak enak ketika Ibunya Sakila menjemput Sakila, sebelumnya ia turun dari mobil dan masuk ke rumah. Seperti biasa ia akan melontarkan kata-kata mutiaranya yang membuat hatiku tertikam.
"Ya ampun, pagi begini udah menghalangi pandangan! Hitam legam, wajah tertutup. Bikin sakit mata lihatnya," cerca Ibundanya Sakila.
Aku hanya berlalu ke dapur tanpa menyauti ucapan Ibunda Sakila, karena tak ada untungnya juga jika aku sahuti. Kusajikan teh manis hangat dengan beberapa potong kue di meja.
"Eh ... Davira nanti kalau Sakila sudah lahiran, lebih baik kamu keluar dari rumah ini,pindah gitu ke rumah yang kecilan, biar Sakila dan bayinya yang menempati rumah ini!" hardiknya membuat gelas teh yang akan kusuguhkan jatuh dari nampannya.
Braakkkk ... Gelas teh pecah. Aku segera memunguti serpihan gelasnya. "Astagfirullah," gumamku.
"Yunda, kenapa? sampai begini?" tanya Sakila yang lari terbirit.
"Tidak apa-apa Dinda," jawabku
"Tuh kan, bagaimana bisa kamu serumah sama orang teledor seperti ini! Bagaimana nanti kamu sudah melahirkan. Bisa-bisa anak kamu kesiram air panas sama Davira!" cerca Ibunda Sakila.
Tak terasa airmata ini mengalir dengan sangat derasnya. Tak sepatah kata pun terucap dari bibirku yang terasa kelu. Tanganku tiba-tiba meneteskan darah ... mengalir semakin banyak.
Sakila dan ibunya tak mempedulikan ku, ia hanya mencaci sampai pada pergi.
"Ribet sih, cuma terlihat mata aja. Jadi mengerjakan apapun juga kan ribet!" caci ibunda Sakila lagi-lagi mendarat dari bibir tipisnya itu. Tepat di hatiku.
***
Aku tak berdaya, terpaku di depan serpihan gelas. Setelah sekian puluh menit Sakila pergi.
"Assalamualaikum ...," terdengar suara Risa.
Bibirku kelu tak mampu berkata.
"Kak ... kok pintunya terbuka? ...," ucap Risa. "Ya ampun kak Davira! kenapa sampai begini?" teriak Risa memecah kesunyian. "Kak Alex tolongin kak Davira!" panggil Risa.
Kenapa Risa datang dengan Alex? dalam keadaanku seperti ini. Bisik hatiku.
Risa mengambilkan air minum, dengan wajah yang berkaca-kaca. Sebenarnya Risa itu anak yang sangat takut dengan darah, dulu sewaktu kecil jika ia melihat darah pasti pingsan. Dan ketika dia akil balig pun, pertama kalinya menstruasi ia pingsan. Kulit wajah Risa yang memucat, sangat pucat.
"Davira kamu kenapa?" tanya Alex sambil menyingkirkan serpihan gelas, dan melepaskan pecahan gelas yang kugenggam.
"Risa, tidak usah mendekat," ucapku lirih.
"Kamu kenapa seperti ini? jawab Davina!" teriak Alex yang tak kurespon.
Risa yang mematung semakin pucat pasi, karena darah dari tanganku tak hentinya mengalir.
"Ris, Carikan kotak obat, ada kasa sama Betadine atau pun alkohol tidak, cepat cari," perintah Alex.
Risa segera mencari kotak obat kesana kemari kesemua ruangan. Ia menenteng kotak obat.
"Ini kak Alex," kata Risa menyodorkan kotak obat dengan menutupi matanya.
Alex meraih dan membuka kotak obat tersebut.
"Ris, coba kamu cari kasa dan betadine di warung terdekat, sekalian alkohol kalau ada," kata Alex, karena ia tak menemukan kasa dan
Betadine. Risa bergegas ke warung mencari kasa dan Betadine.
Airmata terus mengalir tidak tahu akan bermuara di tepian mana. Alex menatapku, lekat.
"Kenapa kamu menyiksa dirimu sendiri?" tanya Alex lirih.
Aku masih tak mampu berkata. Alex mengeluarkan sapu tangannya dan menahan darah yang mengalir dari lukaku. Perlahan ia mendekapku, dan menyandarkan kepalaku di dadanya. Desir angin perlahan terasa membelai lembut. Jemari lembut Alex mengusap airmataku.
"Aku akan selalu menjagamu, jangan menangis," bisiknya.
Kenapa ketika ia berucap begitu, airmataku semakin deras, isak tangisku tak tertahan. Tertumpah di dadanya Alex. Ia membelai kepalaku, dan berkali-kali menguatkan ku. Seolah ia paham dengan apa yang kurasakan. Seharusnya Mas Ilham yang saat ini di sampingku, bukan Alex, namun aku pun tak bisa lepas dari sosok Alex yang selalu ada di saat aku dalam posisi sulit.
"Kakak," panggil Risa mematung depan pintu, saat menyaksikan kakaknya dalam pelukan laki-laki yang bukan muhrimnya. Risa menutupi kedua matanya dengan jari kedua tangannya.
"Ris, dapat kasa sama alkohol dan betadinenya?" tanya Alex.
"Em ... dapat kak ...," sahut Risa, sambil perlahan melangkah masuk, lalu menyodorkan belanjaannya. "Kak aku ke warung tadi dulu ya, tadi lupa bawa uang belum bayar," lanjut Risa sambil meraih dompet di tasnya.
Alex membuka alkohol, dan meneteskannya ke kasa. Aku menyembunyikan tanganku, karena tak ingin di kasih alkohol, terbayang betapa perihnya bukan jika luka di beri alkohol? aku tak mau membayangkan betapa perihnya itu.
"Ulurkan tanganmu ...," pinta Alex lembut.
Masih kusembunyikan di antara Khimar.
"Dav, sini tangannya. Biar di bersihkan dan supaya darahnya berhenti mengalir," ucap Alex, sambil menatap lembut. Ya sebegitu lembutnya hingga aku pun mengulurkan tangan kananku yang luka.
"Aw!" teriakku kesakitan, di saat Alex mulai membersihkan lukanya dengan alkohol.
Ia meniupi tanganku penuh perasaan dan kehati-hatian, setiap kali aku menjerit maka ia pun semakin kencang meniupi dengan penuh kelembutan, tak sadar jika mata ini menatap wajah yang bercahaya itu lebih dari lima menit. Alex yang meniupi tanganku, ia seketika melirik dan menatapku. Pandangan saling bertaut menciptakan debar yang lagi-lagi membuat isi jantungku gaduh tak karuan.
***
Di mobil aku menahan sakit dan pedih, aku tertidur sampai tak sadar jika sudah sampai rumah orang tuaku. Ada yang menatapku lekat, ia bagai malaikat, yang selalu rela mengorbankan dirinya demi melindungi orang lain, sampai aku terjaga dari tidurku matanya tak berkedip memandangiku yang tertutup cadar. "Apa dia iblis yang menjelma malaikat?" bisik hatiku di saat melihatnya menatapku.
"Sudah sampai ya?" tanyaku
"Sudah," jawab Alex.
"Kenapa tidak bangunin?" tanyaku.
"Em ... tidurmu lelap," jawabnya.
Aku turun tanpa melirik lagi ke arah Alex, langsung masuk ke rumah, yang di sambut oleh semua orang yang ada di dalam rumah termasuk keluarga Alex.
"Davira kamu ini kenapa tangannya sampai luka begitu?" tanya ibu dan ayah sambil menatapku.
"Tidak apa-apa Umi, Abi, tadi gelas jatuh dan ketika mau membereskan kena tangan," jawabku, menjelaskan.
"Umi kok gak ngasih kabar jika di rumah mau ada acara?" protesku.
"Umi juga tidak tahu mau ada acara, ini acara Abi sama Om Afan," jawab Umi sambil tersenyum.
Ada yang janggal dari acara yang di adakan di rumah orang tuaku, instingku berkata begitu, acara makan-makan teman Ayahku, tapi seformal ini? Ah sudahlah aku menepis semua yang terlintas di benakku.
Tak lama ada mobil yang berhenti di garasi mobil. Dan turun dari mobil itu, laki-laki seumuran Ayahku dan di ikuti wanita yang bertubuh semampai dengan penampilan yang modis, dan perempuan sepantar ibuku juga di sampingnya.
Sambutan hangat terlihat dari Ayahku dan Om Afan.
"Siapa mereka?" hatiku bertanya, karena sebelumnya tidak pernah melihat mereka.
"Candra, wah sudah lama ya kita tidak jumpa," sambut Om Afan.
Terlihat Alex, ekspresinya berubah drastis di saat Om Afan menyambut orang tersebut. Tapi mungkin itu hanya perasaanku saja.
"Afan, kamu tetap gagah seperti dulu, wahh .. Ahmad, kamu tetap bugar ya," ucap orang tersebut, terlihat sudah saling kenal dengan Ayahku pun.
"Oh ini Nesya ya?" tanya Om Afan kepada wanita cantik itu. Tepatnya kepada gadis cantik itu.
"Iya Om, Nesya," jawabnya sambil mengulurkan tangannya ke semua orang dan salaman termasuk ke aku, namun ketika ke Alex, Alex terlihat enggan menerima jabatan tangannya, hingga cukup lama gadis itu mengulurkan tangannya dan menariknya kembali.
Om Afan yang melihat itu terlihat sangat kesal. Namun ibuku mampu mencairkan suasana dengan ia menghidangkan kue buatannya. Om Afan memanggil Alex ke ruang tengah rumahku, di pinggir kolam ikan, kulihat keduanya mengobrol dengan sangat serius, entah apa yang mereka obrolkan. Dan kembali dengan wajah Alex yang terlihat lebih ramah, namun terlihat di paksakan.
Obrolan ngaler ngidul. Aku hanya duduk mendengar obrolan beberapa keluarga itu. Handphone ku berdering. Aku beranjak dari dudukku, karena kulihat kontak Mas Ilham memanggil.
'Assalamualaikum yank,' sapaku.
'Sayang, kata Sakila kamu tadi tangannya terluka ya ..,' tanyanya. "Kok rame banget kamu lagi di mana?' lanjutnya.
"Iya yank, tapi sudah tidak apa-apa kok, oh iya aku lupa ijin ke kamu, aku lagi di rumah Umi yank, lagi ada acara mendadak," terangku.
Telpon dari Mas Ilham pun di tutup setelah cukup lama mengobrol. Aku pun kembali keruang tamu yang memang cukup luas.
"Maaf Pah, aku tidak mau di jodohkan seperti ini, lagian jika tahu ini adalah acara perjodohan aku tidak akan datang!" seru Alex.
"Alex! Papah kan sudah bilang, kamu harus menerima lamarannya!" seru Om Afan.
"Percuma Pah aku tidak mau di jodohkan."
"Sudah, tidak apa-apa, tidak perlu di paksa, jalani aja dulu, lagian kan memang belum saling mengenal. Nanti juga perasaan akan mengalir dengan sendirinya," sela Om yang bernama Candra tersebut.
"Tapi anak ini benar-benar, bikin malu, dia seperti orang yang tidak normal, yang lain sudah pada menikah dan punya anak, ini masih sendiri berteman kamera!" Seru Om Afan.
"Pah! aku normal. Yang aku sukai hanya Davira!"
Guprak ... Gelas yang Om Afan pegang jatuh dari tangannya.
***
Akhirnya aku bisa tidur dengan lelap setelah kejadian kemarin di rumah orang tuaku. Kulihat jam menunjukan pukul 04:06 kuhela nafas panjang, sambil menarik selimut. Kupejamkan kembali mataku. Namun ada yang selalu terdengar di telingaku, di saat Alex bilang tidak akan pernah menikah dengan siapapun kecuali sama aku. Hoamz ... Kasian gadis cantik yang bernama Nesya tersebut. Terlihat wajah orang tuaku yang terkejut juga atas perkataan Alex. Yang bilang menyukai dan mencintaiku, wanita bersuami.
Ting. Notif WhatsApp masuk.
[Davira maafkan aku, atas kejadian kemarin]
Wa dari Alex, kubuka. Tiba-tiba ponselku di sambar oleh Mas Ilham yang tiba-tiba masuk kamarku.
"Davira! Kamu chattingan dengan Alex?" Teriak Mas Ilham.
Bersambung
Ruang Sunyi, 17-02-20
#Fiksi #BerbagiSuamiPart13 #ErsuRuangSunyi
Slow respon komennya ya, sibuk nguli dulu ??????.
Silahkan berikan kritik dan sarannya ????
Share this novel