part 10

Short Story Completed 1915

Berbagi Suami Part 10
Author : Ersu Ruang Sunyi

Langit berkabut hitam, awan gelap kian menyelimuti seluruh netranya. Termangu menatap gelombang pasang yang menerjang. Badai kian membabi buta menghallo apapun yang ada di dekatnya.

"Yank, ini tidak seperti yang kamu lihat," ucapku, menjelaskan yang sebenarnya terjadi.

"Kamu mau mengelak! jelas-jelas aku melihatnya dengan mata kepala ku sendiri!" seru Mas Ilham penuh amarah.

"Tapi yank ... sungguh, tadi gamis aku nyangkut di ranting pohon ini."

"Tidak usah mengelak; siapa lelaki ini?" tanya Mas Ilham sambil menunjuk ke Alex.

"Alex! sahabat kecilnya Davira," jawab Alex sambil menyodorkan tangannya.

Mas Ilham tidak menerima uluran tangan Alex, ia tetap mencurigai kedekatan kami.
Sakila yang keluar dari rumah pun memperkeruh suasana, bagaimana bisa dia menghasut suamiku?.

"Ada apa sayang?" tanya Sakila ke Mas Ilham.

"Kamu lihat, Davira pulang dari Bandung sama laki-laki ini bukan sama Umi dan Abi nya!" seru Mas Ilham.

"Oh, pantes aja dia tidak keberatan kita tinggal ke Malang, orang dianya punya simpanan," cela Sakila.

"Astagfirullah, Dinda kenapa kamu bicara seperti itu?" tanyaku.

"Ya, kan Yunda ternyata jalan sama laki-laki yang bukan muhrimnya Yunda," jawab Sakila.

"Ini tidak seperti apa yang kalian lihat, tadi itu tidak sengaja! Tadi Davira hendak jatuh, dan saya ini mengantarkan Davira pun atas permintaan Om Ahmad!" seru Alex, menjelaskan kesalah pahaman ini.

"Kenapa sih ribut-ribut?" tanya Risa yang keluar dari dalam mobil.

"Risa! Ada kamu di sini?" tanya Mas Ilham terkejut.

"Em ... Iya. Why? kok mukanya pada tegang semua?" tanya Risa penuh selidik.

"Em ... sekongkol kakak sama Ade ternyata! Diam-diam adiknya pun tahu kakaknya berselingkuh!" fitnah Sakila.

"Eh ...! Ngomong apa sekali lagi? Punya mulut tuh pakai saringan dasar pelakor!" hardik Risa kepada Sakila.

Suasana kian memanas kala Risa dan Sakila adu mulut, aku yang berusaha menjelaskan pun selalu di sela oleh Sakila. Sebegitu tidak sukanya Sakila sama aku?. Untuk kali ini Alex sedikit berbesar hati, dengan bijaknya ia memperjelas kesalah pahaman ini. Sehingga Mas Ilham pun tidak lagi salah paham.

Mas Ilham mengusap wajahnya dengan telapak tangannya sambil mengucap "Astagfirullah ya ALLAH" iya pun meminta maaf atas kesalah pahaman yang ada, karena mengira aku sama Alex hanya berdua di mobil dan ketika melihat kejadian barusan membuat nya salah paham.

Kesalahpahaman berakhir. Lega. Kemelut ini berakhir seijin ALLAH.

***

Ada kecemburuan menjalar di hati, merambat ke sela-sela nadi hingga berujung di seluruh sendi. Ketika Mas Ilham memutuskan untuk tidur di kamar atas, tetapi Sakila dengan lantang mencegah Mas Ilham tidur di kamarku.

"Tidak Mas! Pokoknya kamu malam ini tidur di kamar bawah!" seru Sakila dengan wajah merah padam.

"Tapi Dinda, selama seminggu kita selalu bersama-sama, kenapa kamu selalu seperti ini? waktu Mas sama Davira pun selalu kamu cegah, Mas selalu menuruti kata kamu. Tapi maaf kali ini Mas tidur di kamar atas!" papar Mas Ilham yang membuat jengah Sakila.

Untuk kali ini aku tidak membela Sakila. Tidak juga membujuk Mas Ilham untuk tidur di kamar bawah. Biarkan kuhabiskan waktuku bersama orang yang kurindukan selama seminggu ini, tepat sudah beberapa bulan aku merindukan kebersamaan yang terampas oleh Sakila.

Temaram lampu kamar, samar. Kutatap wajah itu, lekat. Kututup kedua bola mataku, hanya untuk sekedar mengenang masa indah dulu, masa ketika awal menikah.

"Sayang, kamu sudah tidur," bisik lembut Mas Ilham.

Kubuka kedua bola mataku, di depan mataku langsung kutatap mata yang selalu memberiku keteduhan.

"Yank ... bukannya kamu yang sudah tidur?" tanyaku, sedikit terkejut karena ia menatapku, lekat.

"Maafkan Mas, karena sudah salah paham padamu," ucap Mas Ilham.

Aku tersenyum simpul, menatap bibir yang meminta maaf itu, seberapa besarpun rasa kesal yang pernah ada, lebur dengan satu kata maaf. Selalu berharap jika suamiku selalu ada waktu seperti ini, walau sekedar bercengkrama hal kecil. Aku pun selalu ingin jika aku dan Sakila selalu rukun, kehangatan yang kurindukan, teman ngobrol, sahabat curhat yang sebelumnya kuidamkan, tak kudapatkan walau Sakila telah menikah dengan Mas Ilham, hanya ada benteng yang memisahkan aku dan Mas Ilham, bahkan setelah sekian lama menikah baru kali ini, aku mendapatkan perhatian dari Mas Ilham.

***

"Sayang, pokoknya aku mau berlian yang waktu itu aku kasih lihat ke kamu!" pekik Sakila, memecahkan kesunyian pagi.

"Tapi Minggu kemarin sudah beli yang lain!" seru Mas Ilham, nampak kesal.

Aku hanya menatap dari dapur, kegaduhan mulai lagi tercipta di sepanjang waktu ... Huuuh ... Kutarik napas panjang, sesak rasanya dada ini, selalu di suguhkan pemandangan yang tak ku impikan.

"Mas! Nanti kalau aku tidak beli, aku bisa di ledek sama teman-teman arisanku, masa katanya, istri seorang CEO, berlian seharga 450jt aja tidak kebeli!" lontar Sakila.

"Minggu kemarin kamu beli cincin seharga 70jt! Mas tanpa membelikan Davira. Dan Sekarang kamu minta berlian lagi seharga 450jt, berarti Mas harus punya 900jt!" hardik Mas Ilham.

"Kok, 900jt sih?" tanya Sakila mengerutkan dahinya.

"Ya! 900jt. Karena Davira pun harus di belikan plus cincin yang persis yang kamu beli Minggu lalu juga," terang Mas Ilham.

Perdebatan pun semakin menjadi, kala Sakila keberatan, ketika Mas Ilham pun berniat membelikan apa yang di beli oleh Sakila.

Kuhampiri keduanya yang tengah berdebat.
Aku tak ingin masalah ini semakin runyam.

"Yank, sudah kamu belikan saja berlian yang Sakila mau, aku tidak usah kamu belikan, aku juga kan tidak suka memakai perhiasan seperti itu," ucapku.

"Tuh kan Mas! Yunda Davira juga tidak mau berlian itu, lagian dia memakai perhiasan semahal apapun gak bakal ada yang melihatnya, orang berpakaian hitam-hitam begitu cuma keliatan mata!" seru Sakila.

"Sakila! Cukup ya! kamu jangan pernah lagi berkata seperti itu!" bentak Mas Ilham.

"Uo ..." tiba-tiba Sakila nampak bingin muntah. Sakila lari ke wastafel, ia nampak mual-mual.

Aku bergegas menghampiri Sakila dengan membawa kayu putih.

"Kamu kenapa Dinda?" tanyaku.

"Tidak tahu, masuk angin kayanya," jawab Sakila, sambil tak henti mual-mual.

Mas Ilham hanya mematung melihat Sakila mual-mual seperti itu. Aku segera ke dapur untuk membuatkannya wedang jahe.

Seharian itu Sakila terus mual-mual, bahkan makanan yang ia makan pun di muntahkan lagi, aku berkata ke Mas Ilham, mungkin jika Sakila tengah hamil. Aku pun bertanya kepada Sakila kapan ia terakhir datang bulan, dan ia sudah telat 3 minggu, aku mengajak Sakila untuk cek ke Dokter besok pagi.

***

"Selamat anda positif hamil," ucap Dokter, membuat aku dan Sakila terkejut bahagia. Aku pun pulang ke rumah dengan membawa kabar bahagia kepada Mas Ilham.

Sakila dengan wajah pucat pasi, kugandeng dia turun dari mobil. Mas Ilham belum pulang dari kantor, aku pun mempersiapkan masakan untuk makan Sakila, terlebih hari ini ia belum makan, karena semua makanan yang ia makan di muntahkan lagi.

Kupaksa Sakila makan walaupun sedikit.
Mas Ilham pulang dari kantornya. Sakila dan aku sudah merencanakan ketika mas Ilham pulang kita berdua akan memberi kejutan, dari kabar kehamilan Sakila. Dan itupun berhasil membuat Mas Ilham teriak gembira

***

Kehamilan Sakila kini berjalan 3 bulan, dan semua kebutuhan Sakila aku yang menyiapkan, bahkan ketika ia ngidam ingin makan sesuatu, akulah yang mencarinya, karena mas Ilham sibuk kerja, dan jika Mas Ilham tidak ngantor pun Sakila tidak mau di tinggal oleh Mas Ilham. Jadi otomatis aku yang kesana kemari. Kulakukan penuh keikhlasan, mengingat sekian bulan lagi akan memomong bayi yang telah lama di dambakan.

Siang ini Sakila ingin buah Dukuh, padahal kutahu saat ini tidak lagi musim dukuh, tapi ia bersikeras aku harus mencarinya hingga dapat. Sudah berapa belas pasar ku singgahi. Toko buah ku jajaki, masih saja. Aku belum menemukan Dukuh yang di ingin oleh Sakila. Kucoba menelpon Sakila, siapa tahu keinginannya berubah di ganti oleh buah lainnya, namun percuma saja, ia tetap ingin buah dukuh.

Aku termangu di parkiran, harus kemana lagi mencari yang menjual dukuh. Tak lama kemudian ada dua orang yang menjambret tasku, aku pun berteriak meminta pertolongan dari orang-orang sekitar. Namun mereka hanya melihat tak peduli. Kukejar jambret tersebut. Dan ia malah mendorongku hingga tersungkur.

Plak ... terdengar suara dari arah depanku. Seseorang berkemeja hitam menghajar kedua jambret tersebut hingga babak belur dan kabur.

"Hati-hati Ukhty ...," ucapnya sambil menyodorkan tas milikku. "Davira! Kamu Davira kan?" tanyanya.

Aku mengerutkan kedua alisku.

"Alex! kamu, kenapa kamu di sini? bagaimana bisa kamu mengenaliku?" tanyaku heran.

"Bola mata dan parfum kamu, aku mengenalinya," jawab Alex.

"Em ... kok kamu di sini? Bukannya di Bandung?" tanyaku pelan.

" Aku, habis dari rumah ibuku di sekitaran daerah sini dan sekalian mau beli durian, terus melihat ada yang teriak jambret," jawabnya sambil mengulurkan tangannya, untuk membantuku bangun.

" Oh, tidak usah aku bisa bangun sendiri," tolakku, sambil berdiri, dan ternyata kakiku terkilir saat terjatuh barusan.

"Davira, kamu ini kenapa selalu saja menolak bantuanku? Sudah jelas kaki kamu itu sakit!" Alex refleks meraih bahuku. Segera kutepis tangannya.

Seberapa sakit pun kaki aku yang terkilir, aku tidak akan mau di tolong hingga sebegitu nya oleh Alex, tapi keadaan ini tak bisa menolak ku. Menerima bantuannya, karena aku berusaha berdiri pun kakiku sudah terlanjur sakit yang luar biasa.

"Aku bisa berdiri sendiri!" seruku, seraya berdiri. "Aw ...!" teriakku, yang hampir jatuh kembali.

Alex spontan menahan tubuhku. Desir angin berbisik lembut, menciptakan kegaduhan, empat mata saling bertatap, ada yang tercipta tanpa kata, ada yang terukir tanpa tetesan hujan.

"Lentik bulu matamu selalu menjadi hal yang terindah," bisik Alex.

Segera ku dorong tubuhnya yang mendekapku tanpa sekat. Kenapa jantung ini begitu gaduh? Kuatur ritme jantung ini. Aku terduduk di bahu parkiran. Sambil menahan sakit kaki yang terkilir. Alex mendekat dan jongkok, ia meraih pergelangan kakiku. Segera kutepis dengan menarik kaki kiri ku yang terkilir.

"Diamlah, aku akan mengurut kakimu yang sakit," pekik Alex.

Aku menatap wajahnya yang serius.

"Kita bukan muhrim bagaimana boleh kamu menyentuh kakiku?" seruku.

"Anggap aja aku Dokter yang tengah ngobatin pasien nya, apa seorang Dokter harus menjadikan semua pasien nya muhrim dulu? Baru ia bisa mengobatinya ...?" Protes Alex.

Kakiku di tarik oleh Alex, dan perlahan ia mengurut urat-urat pergelangan kakiku, tak henti aku meringis sambil menggigit jempol tanganku. Dan ia menarik pergelangan kakiku dengan tanpa aba-aba hingga bunyi dan itu sungguh luar biasa sakitnya. Hingga aku menjerit.

"Jangan gerak dulu, besok juga akan enakan. Ayo aku antar pulang," kata Alex sambil menatap mataku.

Kenapa tatapan matanya kini menciptakan debaran? Entah debaran apa, aku tak memahaminya.

"Tidak usah, aku bawa mobil sendiri, dan aku pun belum dapat buah dukuhnya'" ucapku.

"Dukuh? buat apa?" tanya Alex.

"Buat Sakila, dia lagi ngidam," jawabku singkat.

"Dukuh bukannya belum musim? Ada juga mungkin cuma di daerah tertentu," ucap Alex sambil memegang kepalanya.

Alex membeli air mineral dan aku duduk di samping minimarket, di abang-abang baso. Kuperhatikan beberapa orang lalu lalang membeli baso, kutarik napas panjang, karena bingung kemana lagi mencari buah dukuhnya.

"Dav, ini minum dulu ...," ucapnya sambil memberikan sebotol air mineral, "Mau baso?" lanjutnya menawari baso.

"Tidak, aku tidak lapar, aku harus mencari lagi buah dukuhnya, karena kalau belum dapat, aku tidak boleh pulang oleh Sakila," jawabku.

"Davira, dia itu ngidam atau mau nyiksa kamu sih!" hardik Alex, membuat pedagang baso melirik dan beberapa pembeli pun melihat ke arah kami.

"Maaf, barusan saya dengar lagi cari buah dukuh ya?" tanya seorang pembeli baso.

"Ia," jawabku.

"Di rumah saya ada, kebetulan kemarin mertua saya dari Lampung mengirim untuk istri saya yang lagi hamil," kata orang tersebut.

Kebetulan kah? Atau mungkin ini rencana ALLAH, yang memudahkan segala pencarianku dari pagi.

"Benarkah? jika boleh saya beli," ucapku penuh harap.

"Tidak usah beli, mari ke rumah saya, tapi rumah saya agak jauh dari sini," terangnya.

Aku pun di antar oleh Alex ke rumah orang tersebut. Mobil Alex tidak bisa masuk, karena memasuki gang kecil. Kamipun parkir di jalan. Kaki ku yang sakit tak kupedulikan yang penting buah dukuhnya aku dapatkan.
Kali ini aku tak menolak di papah oleh Alex.

Aku masuk ke dalam rumah yang sangat sederhana, teras tak berubin. Aku di persilahkan duduk di tikar lusuh berdebu.

"Yank, kemari ... ada tamu," panggil lelaki yang belum tahu siapa namanya.

Kulihat Alex, ragu-ragu akan duduk, namun kuberikan ia kode agar duduk. Alex paham dari bahasa mataku, ia pun duduk.

"Siapa yank?" tanya perempuan muda berdaster dari dalam kamar.

"Ini, ada yang mau buah dukuh, kita bagi ya sebagian, lagian kan buah dukuh yang ibu kirim dari Lampung banyak," bujuk lelaki itu kepada istrinya.

"Och iya boleh yank, sebentar aku ambil kan," ucap perempuan muda itu setelah salaman denganku juga Alex.

Ia keluar dari arah dapur dengan
sekeresek besar buah dukuh, lalu menyodorkan nya di hadapanku.

"Berapa?" tanyaku.

"Apanya?"

"Ini harga buah dukuhnya."

"Tidak usah, kami tidak menjualnya."

"Tapi."

"Sungguh, tidak usah kami tidak menjualnya, terlebih buat orang ngidam, karena saya pun tahu bagaimana susahnya mencari sesuatu buat orang ngidam itu, apa lagi jika menginginkan sesuatu dan tidak mampu membelinya, atau tidak ada barangnya" kata lelaki muda itu sambil berkaca-kaca.

Aku tanpa bicara mengeluarkan beberapa lembar uang pecahan merah dan mengepalkannya ke perempuan muda tersebut.

"Tidak usah ...," tolaknya. "Masya ALLAH ini kan orang yang beberapa bulan lalu membelikan buah di kios buah itu," lanjutnya sambil memelukku.

"Maksudnya?" tanyaku bingung.

"Kakak ingat tidak, sekian bulan lalu, pernah membelikan buah untuk saya waktu di kios buah, saya masih ingat dengan cincin yang kakak pakai, waktu itu saya mencari kakak untuk mengucapkan terimakasih, tapi kakak sudah tidak ada di kios tersebut. Saya masih ingat kata penjual buahnya jika buah itu diberikan oleh perempuan bercadar, saya sempat melirik ke arah cincin tersebut di saat kakak memilih mangga," terangnya panjang lebar.

Subhanallah, aku tak pernah menyangka jika ALLAH selalu punya skenario yang indah.

"Ya ALLAH, jadi ini yang waktu itu membelikan istri saya buah, saya sangat berterimakasih, karena waktu itu saya benar-benar lagi tidak punya uang, sehingga saya tidak mampu membelikan istri saya buah pir, tapi Ukhty ini membelikan tanpa kami sempat mengucapkan terimakasih," lanjut suaminya.

"Oh jadi tanpa di sengaja kalian pernah saling bertemu sebelumnya," sela Alex yang sibuk dengan kameranya.

Aku pulang dengan membawa sekeresek buah dukuh. Dari Rani dan Rian, ya nama pasangan muda itu Rani dan Rian. Keduanya menolak ketika kuberikan beberapa lembar uang. Namun tanpa mereka tahu aku menyelipkan uang di bawah tikar, yang kutambahi untuk membeli beberapa perlengkapan bayi. Semoga mereka nanti menemukan uangnya. Tak pernah terpikir jika jalan cerita hari ini sebegitu indah, di saat keliling kesana kemari mencari Dukuh, ternyata kudapatkan dari seseorang yang dulu pernah kubelikan buah-buahan.

***

"Assalamualaikum," ucapku sambil menenteng buah dukuh, masuk ke rumah dengan kaki yang sangat ngilu.

"Sayang! Kamu darimana saja baru pulang? Terus kaki kamu kenapa?" Mas Ilham mencecar dengan beberapa
pertanyaan.

"Yunda dapat tidak buahnya?" tanya Sakila.

"Yank ... aku habis mencari dukuh ...," jawabku. "Iya dapat Dinda," lanjut ku sambil memberikan keresek isi dukuh tersebut.

Sakila langsung memakan Dukuh tersebut dengan sangat nikmat, sementara mas Ilham mengompres kakiku yang terkilir. Mas Ilham bertanya kenapa dengan kakiku, aku bilang terpeleset, dan aku tidak menceritakan nya jika tadi aku kejambret dan di tolong oleh Alex. Aku tak ingin ada kesalahpahaman.

***

Sakila anteng nonton infotainment. Sedangkan aku mempersiapkan buat sarapan.

"Yunda, coba lihat ada yang viral di tv!" seru Sakila.

"Apanya yang viral?" tanyaku.

"Ada yang sekian bulan lalu pernah membelikan buah, dan sekian bulan kemudian orang itu memberikan buah tanpa di sengaja, hidup ini kadang penuh kejutan ya Yunda," ucap Sakila.

Aku mengerutkan kedua alisku. Bukannya itu ...? Akh sudahlah.

"Bukannya itu gambar kamu?" tanya Mas Ilham mengagetkanku.

"Apanya yank?" tanyaku.

"Itu, video yang di tv itu! Itu kamu kan!" Seru Mas Ilham.

Masalah datang kembali, kenapa bisa ada video itu masuk tv? Kenapa bisa viral? Otakku mulai cenat cenut kembali. Bagaimana aku menjelaskan nya ke Mas Ilham?

Bersambung

Ruang Sunyi, 14-02-20
#Fiksi #Ersu #ErsuRuangSunyi #BerbagiSuamiPart10

Jangan di tuntut next kilat ya, author masih belum fit.
Silahkan like, komen & share. Ikuti juga fanspagnya @Cerpen & Cerbung Ruang Sunyi. Untuk mengikuti part-part berikutnya begitupun, untuk cerpen dan cerbung lainnya ????.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience