Pagi itu saya sedang bingung mau merapihkan tanaman di halaman depan rumah, kanjeng ibu marah-marah karena rumputnya belum di potong. Lalu kanjeng ibu menyuruhku untuk membentuk rumput yang ada di halaman depan rumah.
"Haduh ini rumputnya sudah pajang-panjang lagi." keluh Paijo.
"Eh Joya.." Teriak kanjeng ibu.
"Tuh kan benar pasti si nenek-nenek bawel deh.., iya kanjeng ibu."
"Kamu ini gimana sih bisa gak ngerawat tanaman, rumput udah panjang juga di bentuk dong."
"Di bentuk apa kanjeng ibu?" tanya Paijo.
"Ya di bentuk teddy bear kek, kelinci kek, atau apa kek gitu.." jawab kanjeng ibu.
"Susah kanjeng ibu, kalo yang lain sih bisa kanjeng ibu."
"Oh ya, bentuk apa itu jo?" tanya kanjeng ibu.
"Sanggul ningrat kanjeng ibu." jawab Paijo.
"Sanggul ningrat kaya gimana itu jo?" tanya kanjeng ibu lagi.
"Sebentar.." jawab Paijo yang mengambil sanggul kanjeng ibu yang sedang dipakai oleh kanjeng ibu.
"Eeh.. Joya.." kanjeng ibu marah pada Paijo karena sanggul nya akan di lepas oleh Paijo yang akan menggunakan sanggul nya sebagai contoh untuk memotong rumput di halaman depan rumah.
"Kenapa kanjeng ibu?"
"Kenapa kamu bilang, kenapa?"
"Iya.."
"Kamu ngapain ngambil sanggul saya, yang lagi saya pake?"
"Lah kanjeng ibu gimana sih katanya mau ngelihat sanggul ningrat ya ini."
"Hmm Joya.." keluh kanjeng ibu.
"Hus, stop.." keluh Paijo juga.
"Hmm Joya."
"Iya ampun kanjeng ibu, oh ya gimana kalau giwang ningrat kanjeng ibu?"
"Kaya gimana tuh jo?"
"Kaya gini kanjeng ibu." kata Paijo yang memberikan contoh pada kanjeng ibu.
"Eeh.. Joya.." kanjeng ibu marah lagi pada Paijo karena giwang nya ingin di lepas oleh Paijo.
"Ya kan namanya giwang ningrat ya kaya gini."
"Sudah, sudah terserah kamu saja deh mau bentuknya kaya apa asalkan jangan kaya gini lagi."
"86 kanjeng ibu.." seru Paijo.
Tak beberapa lama kemudian datanglah Arif membawa mobil milik kanjeng ibu dengan ngebut. Dia juga masuk ke rumah dengan terburu-buru seperti orang ketakutan.
Dan Arif pun kami marahi di dapur karena dia yang membuat ulah kali ini.
"Hey awas.." kata Arif yang terburu-buru membawa mobil milik kanjeng ibu.
"Hmm Arif.." keluh kanjeng ibu dan Paijo bersamaan.
"Ampun kanjeng ibu, ampun Jo." kata Arif yang ketakutan.
"Tuh lihat teman kamu. Hmm.. Paijo.."
"Arif, kanjeng ibu." keluh Paijo saat di salahkan oleh kanjeng ibu.
"Oh iya ya.." seru kanjeng ibu.
"Ya sudah kanjeng ibu, saya mau bawa mobilnya dulu ke garasi mobil dulu kalau begitu."
"Iya, memangnya kamu bisa?" tanya kanjeng ibu.
"Enggak, permisi kanjeng ibu." jawab Paijo.
"Iya, wah hebat banget si Joya."
----
"Duh mana sih kertasnya." kata Daffa yang mencari kertas di ruang TV.
"Pak Daffa awas.." kata Arif yang tidak sengaja menabrak Daffa.
"Haduh, haduh.. Arif.... Hmm.." Daffa melemparkan spidol ke Arif lalu spidol itu kembali lagi pada Daffa dan masuk ke dalam mulutnya.
Kemudian Arif lari ke arah dapur dan tidak sengaja menabrak Darmi yang membuat Darmi kesal.
"Haduh.., hmm Arif.." keluh Darmi.
"Maaf mbak Darmi aku gak sengaja."
"Tempe yang aku bawa loh.."
"Tapi kan mbak Darmi tempenya gak jatuh."
"Oh iya syukur alhamdulillah. Yah.. Kok hmm Arif." kata Darmi dan menumpahkan semua tempe yang dia bawa.
"Kenapa mbak?" tanya Arif.
"Itu lihat tempe ku." jawab Darmi.
"Ya Allah, mbak Darmi bagaimana tempenya gak jatuh orang kamu tumplekin gitu."
"Gak mau tau ganti tempe ku." kata Darmi lagi yang minta Arif mengganti tempe nya yang jatuh.
"Waduh.. Nanti ya mbak kalau ingat." kata Arif melarikan diri dari Darmi karena di kejar oleh Daffa, Paijo dan kanjeng ibu.
"Eeh... Arif." kata Darmi yang ikut mengejar Arif.
----
"Eh Arif.." keluh semua yang mengejar Arif.
"Iya.." jawab Arif dengan ketakutan.
"Kamu mabuk akar genjer ya?" tanya Paijo.
"Tau nih gara-gara kamu tabrak tempe ku jadi mentah lagi." keluh Darmi.
"Kamu fikir saya ini pagar sekolahan apa? Kamu langkah-langkahin seperti itu." tanya Daff yang kesal atas ulah Arif.
"Tuan papi, tuan papi mah nggak pantes pagar sekolahan. Kalau tinggi kaya tuan papi gini sih pantesnya pagar kabupaten." kata Paijo menjelaskan pada Daffa.
"Kamu hampir saja nabrak saya untungnya ada Joya alias si Paijo payah ini coba kalau enggak." kata kanjeng ibu dengan kesal karena hampir di tabrak oleh Arif.
"Why you empret?" tanya Paijo.
"Loh apa itu mas jo?" tanya Arif juga.
"Kenapa kamu lari-larian kaya gitu?" tanya Daffa juga.
"Ya sudah sekarang kamu jawab Rif." pinta kanjeng ibu.
"Tadi kan saya nganterin kanjeng romo." Arif mulai menceritakannya pada keluarga Daffa dan abdi dalem lainnya.
"Emm terus?" tanya kanjeng ibu.
"Terus pulangnya kan saya ngebut tuh, gak sengaja saya nabrak orang sampe nyungsep ke selokan, terus saya kabur." jawab Arif menjelaskan pada keluarga Daffa dan para abdi dalem lainnya.
"Kenapa kamu kabur?"
"Ya karena orang itu panggil massa pak Daffa."
"Tau darimana kamu dia panggil massa rif?"
"Ya itu dia kan teriak mas, mas, mas.. Artinya kan dia panggil massa kan?"
"Yeh dasar oon.. Itu bukan panggil massa tapi manggil kamu.." keluh Paijo dengan kesal yang mendengarkan cerita Arif.
"Tau huuuu......" semua kesal dan melempari Arif menggunakan sandal.
Setelah masalah Arif selesai aku dan abdi lainnya mengerjakan pekerjaan kami seperti biasa. Lalu aku melihat kanjeng ibu sedang menangis di halaman samping rumah dekat kolam renang.
Sedangkan tuan papi memergoki Arif sedang main teropong di balkon dan Arif pun berbohong pada tuan papi bahwa dia sedang mengintip orang mandi, lalu Arif pun kabur dan tuan papi mengejarnya.
"Duh rumah gede banget sih setelah di jadikan satu, mana bingung lagi dan akhirnya balik lagi ke sini. Haduh.. Pusing.. Tuan papi rumahnya gede banggg.. Etttt.. Itu kan kanjeng ibu." keluh Paijo.
"Hemm emm emm emm.. Hiks.... Hiks.." kanjeng ibu menangis.
"Kanjeng ibu kenapa, masalah mobil ya? Tenang saja kanjeng ibu. Saya sudah tambal bempernya kok pake ember, jadi kanjeng ibu gak usah sedih ataupun nangis lagi ya." tanya Paijo menjelaskannya pada kanjeng ibu.
"Bukan itu Joya masalahnya." jawab kanjeng ibu.
"Bukan itu? Emm terus masalah apa dong kanjeng ibu?"
"Masalah teman saya meninggal dunia.."
"Oh gitu. Oh ya kanjeng ibu menurut buku catatan eyang kakung saya di bab empat belas orang meninggal itu karena memang sudah waktunya, jadi kanjeng ibu harus mengikhlaskan nya." kata Paijo.
"Tapi Joya.." sambung kanjeng ibu yang masih menangisi kepergian dari temannya.
"Tapi apa lagi sih kanjeng ibu?"
"Saya takut meninggal juga."
"Loh kanjeng ibu ini bagaimana sih kanjeng ibu kan kuat seperti Power Rangers."
"Kamu ini bagaimana sih jo kan saya bukan Power Rangers."
"Oh ya terus apa dong?"
"Saya ini kan kungfu panda."
"Oh iya ya kanjeng ibu kan kungfu panda ya bukan Power Rangers."
"Iya.." seru kanjeng ibu.
"Menurut buku catatan eyang kakung saya bab empat belas." kata Paijo lagi yang akan menjelaskan sesuatu pada kanjeng ibu.
"Kok empat belas lagi jo?"
"Ini catatannya banyak kanjeng ibu."
"Oh.. Apa itu jo?"
"Kalau mau awet muda dan tidak cepat meninggal kurangin marah-marahnya dan juga ngomel-ngomelnya. banyakin juga smile, senyum begitu kanjeng ibu."
"Oh gitu ya Jo."
"Iya dan yang di bab lima belas.. Nah ini sudah beda kan?"
"Iya, apa itu jo?"
"Kalau ada yang menyinggung kanjeng ibu cuekin saja anggap kalau dia iri pada kanjeng ibu."
"Iya ya.."
Darah Biru 2 sudah terbit ya kak
Share this novel