Angin malam masih menggantungkan embun di jendela rumah sakit yang menghadap perbukitan. Seorang pemuda terbaring lemah dengan perban membalut hampir seluruh tubuhnya. Ia baru saja sadar dari koma setelah kecelakaan motor yang nyaris merenggut nyawanya.
Pemuda itu bernama Arga.
Begitu kelopak matanya terbuka, pandangannya masih kabur. Suara-suara samar dari alat medis dan langkah kaki perawat membuat kepalanya berdenyut. Saat itulah, suara lembut menyapa dari sisi ranjang.
“Kamu sudah sadar? Syukurlah…”
Arga menoleh pelan. Di sana berdiri seorang wanita berseragam suster. Wajahnya ayu, kulitnya pucat bersih, rambut hitam panjang dikepang rapi. Senyumnya sejuk, matanya teduh. Ada sesuatu yang memikat dari sosoknya, entah apa.
“Aku... di mana?” gumam Arga.
“Kau di RS Margasari. Namaku Ratri. Aku perawat yang merawatmu,” jawab wanita itu.
Hari-hari berlalu. Arga melewati proses penyembuhan yang menyakitkan. Tangannya yang patah mulai bisa digerakkan sedikit, luka-luka di tubuhnya mengering, dan wajahnya mulai pulih. Selama itu pula, Suster Ratri selalu hadir. Menyuapinya, mengganti perban, mengajak bicara, bahkan membacakan buku puisi jika malam terlalu senyap.
Arga merasa nyaman. Ratri berbeda dengan perawat lain. Ia seperti tahu apa yang Arga pikirkan. Ia bisa datang tepat saat Arga butuh bantuan. Ada kalanya, Arga merasa suster itu tak pernah benar-benar pergi dari kamar.
“Kenapa kamu sebaik ini padaku?” tanya Arga suatu malam, di bawah temaram lampu.
Ratri hanya tersenyum samar. “Karena kamu berbeda.”
“Berbeda gimana?”
“Kamu... tidak takut padaku.”
Arga tertawa kecil. “Kenapa aku harus takut? Kamu malaikat penyelamatku.”
Ratri menatapnya dalam. “Kamu yakin... aku bukan sebaliknya?”
Arga terdiam. Ia tak mengerti. Tapi waktu itu, ia hanya mengira Ratri sedang menggoda. Sejak malam itu, Arga semakin sering memimpikan Ratri. Dalam mimpinya, mereka berjalan di taman bunga, duduk di bangku tua menghadap danau, atau menari dalam kabut.
Mimpi-mimpi yang terasa terlalu nyata.
Hingga akhirnya hari itu tiba.
Dokter menyatakan bahwa Arga boleh pulang. Luka-lukanya sembuh total, hanya perlu kontrol seminggu sekali. Ratri tak ada saat kabar itu datang. Aneh. Biasanya dia yang pertama datang pagi-pagi.
Arga menunggu seharian, tapi Ratri tak muncul.
“Pak, suster yang biasa merawat saya ke mana?” tanya Arga pada perawat jaga.
“Siapa, Mas?”
“Suster Ratri.”
Perawat itu menatapnya aneh. “Kami tidak punya suster bernama Ratri.”
“Tidak mungkin. Dia yang merawat saya sejak awal!”
Perawat itu tampak gelisah, lalu memanggil rekan lain. Mereka berdiskusi pelan. Salah satu dari mereka, seorang kepala ruang, kemudian menghampiri Arga dengan wajah serius.
“Mas Arga... sejak pertama dirawat, tidak ada satu pun suster yang masuk ke kamar Mas di luar jadwal. Kami bahkan mencatat bahwa Mas lebih sering tidur atau mengigau. Mungkin itu hanya mimpi?”
“Tapi dia nyata! Dia bicara padaku! Aku bahkan... jatuh cinta padanya,” suara Arga mulai meninggi.
Kepala ruang menarik napas. “Kalau Mas tidak keberatan... ikut saya sebentar.”
Mereka membawanya ke ruang arsip. Di sana, kepala ruang memperlihatkan sebuah foto hitam putih di pigura tua yang berdebu. Dalam foto itu, berdiri beberapa perawat zaman dulu. Di tengah, berdiri seorang wanita dengan senyum yang sangat Arga kenali.
“Itu dia... itu Ratri!” seru Arga.
Kepala ruang mengangguk pelan. “Namanya Suster Ratri. Ia perawat tahun 1965. Rumah sakit ini dulunya sanatorium untuk korban trauma dan kecelakaan. Dia dikenal sangat peduli pada pasien. Tapi suatu malam, ada pasien laki-laki yang jatuh cinta padanya... dan diketahui berdua pergi dari rumah sakit.”
Arga menahan napas. “Lalu?”
“Esoknya, warga menemukan tubuh si laki-laki remuk di tebing belakang rumah sakit. Suster Ratri tak pernah ditemukan.”
Arga mundur satu langkah.
“Semenjak itu, ada kisah... katanya, arwahnya masih merawat pasien yang hampir mati. Terutama yang sekarat tapi tidak kehilangan semangat hidup. Tidak semua bisa melihatnya. Hanya mereka yang... 'terpilih'.”
“Tidak mungkin. Aku bicara dengannya. Dia hidup... dia... menyentuhku!”
Kepala ruang menatapnya prihatin. “Banyak yang pernah mengaku sama. Tapi kalau begitu... mungkin Mas harus lihat ini.”
Ia menyerahkan Arga sebuah catatan laporan medis. Ada beberapa halaman rekam perawatan Arga. Semuanya hanya ditandatangani oleh perawat berbeda, tak ada nama Ratri di sana.
Yang lebih mengejutkan, CCTV dari kamar Arga hanya menampilkan dirinya sendiri. Ia tertidur, mengigau, berbicara sendiri… tersenyum… menangis…
Sendiri.
Setelah keluar dari rumah sakit, Arga hidup dalam kebingungan. Ia tak bisa menghilangkan bayangan Ratri dari pikirannya. Ia bahkan kembali ke rumah sakit di malam hari, berharap bertemu dengannya. Tapi pintu selalu terkunci.
Sampai suatu malam Jumat Kliwon, ia memberanikan diri kembali. Ia menyelinap melewati pagar, berjalan menyusuri lorong kosong menuju kamar tempat ia dulu dirawat. Lorong terasa lebih dingin. Cahaya remang dan suara detak jam membuat jantung Arga berdegup keras.
Dan di sana… di balik tirai putih… berdiri Ratri.
Wajahnya masih sama. Senyumnya tetap lembut. Tapi kali ini… matanya memancarkan cahaya merah samar. Rambutnya lebih panjang, tergerai menutupi separuh tubuh.
“Aku tahu kamu akan kembali,” ucapnya lirih.
“Ratri… benarkah semua yang mereka katakan?” tanya Arga dengan suara bergetar.
“Apakah aku pernah menyakitimu?”
Arga menggeleng.
“Apakah kau pernah merasa ditinggalkan saat butuh?”
Arga kembali menggeleng.
“Lalu… apa bedanya apakah aku manusia atau bukan?”
Ratri berjalan perlahan ke arahnya. Lantai berderit… dan langkahnya tidak bersuara. Saat jarak mereka hanya satu jengkal, angin dingin menyapu tubuh Arga.
Tiba-tiba terdengar suara seperti kaki binatang menghentak lantai. Arga menunduk… dan terkejut.
Ratri… berdiri di atas dua kaki kuda berwarna hitam pekat. Kuku-kukunya berkilat, menggores ubin setiap bergerak. Dari punggungnya tumbuh bayangan samar seperti kabut bercahaya.
“Aku bukan manusia, Arga,” bisik Ratri. “Aku siluman penunggu rumah sakit ini. Dulu aku memikat laki-laki agar tinggal bersamaku di batas dunia. Tapi… kamu berbeda. Kamu satu-satunya yang tak lari.”
Arga gemetar. “Lalu... kenapa menunjukkan ini padaku sekarang?”
“Karena aku jatuh cinta juga. Tapi cintaku tak seperti cinta manusia. Jika kamu menerima… kamu akan hidup bersamaku. Tapi bukan di dunia ini.”
“Dan kalau aku menolak?”
Ratri menunduk. Suaranya meredup. “Aku akan pergi. Dan kamu takkan pernah mengingatku lagi. Aku akan menghapus semua tentangku dari kepalamu.”
Arga menatap wajahnya. Mata itu… yang selama ini menemaninya saat tubuhnya sekarat… tangan itu yang merawatnya… dan suara itu yang menguatkannya saat semua terasa gelap.
“Kalau aku ikut… apa yang akan terjadi?”
“Tubuhmu akan mati. Jiwamu akan menyatu denganku di alam antara. Kita tak bisa kembali ke dunia manusia. Tapi… kita tak akan pernah terpisah.”
Sunyi mengalir panjang.
Lalu Arga berkata, “Kalau begitu... ajak aku.”
Ratri menatapnya lama. Senyumnya merekah, indah dan pilu. Ia mendekat, memeluk Arga, dan berbisik:
“Terima kasih… telah memilihku.”
Keesokan paginya, rumah sakit Margasari gempar. Seorang pemuda ditemukan tak bernyawa di bangsal kosong yang seharusnya terkunci. Tak ada tanda kekerasan. Tak ada luka. Hanya wajahnya yang tampak… tersenyum tenang.
TAMAT
Bagaimana, masih berani lanjut membaca?
Share this novel