Angin malam menggesek daun-daun jati, menimbulkan suara bisikan yang menggema di seantero rumah kayu tua di pinggir desa. Cahayanya hanya berasal dari lampu minyak, redup, bergoyang pelan.
Rina duduk di lantai bilik, memeluk lututnya. Matanya terpaku ke sudut ruangan, tempat cermin kayu tua bersandar, ditutupi kain hitam.
"Ibu…" bisiknya.
Dari dapur, suara langkah kaki mendekat. Sosok perempuan tua muncul, tubuhnya bungkuk, kulit keriput dan kusam seperti batang pohon yang telah lama mati.
"Apa lagi?" tanya sang ibu, tanpa menatap anaknya.
"Aku melihatnya lagi. Dia bicara padaku. Dia bilang... dia Mirah."
Ibu mendesis pelan, lalu menatap ke arah cermin. Ia berjalan menghampirinya dan menempelkan telapak tangan pada kain penutupnya.
"Cermin ini… seharusnya sudah dikubur."
"Dia bilang dia… aku," lanjut Rina lirih.
Ibu terdiam. Jemarinya gemetar. Setelah lama hening, ia berkata, "Kau bukan Mirah. Kau Rina. Mirah sudah lama mati. Jangan pernah tanggapi lagi suara dari cermin itu."
***
Hari berganti. Tapi suara dari balik cermin tak pernah absen.
Rina duduk di depan cermin yang kini terbuka. Wajahnya terlihat pucat, tetapi matanya berbinar.
"Kenapa mereka bilang aku tidak nyata?" tanya suara dari balik cermin. Suara itu sama seperti Rina, tapi dengan nada lebih rendah dan tenang.
"Aku juga tak tahu," jawab Rina pelan. "Aku… bingung. Ibu selalu memanggilku Rina. Tapi… aku ingat nama Mirah."
Suara itu tertawa pelan. "Tentu saja. Karena kaulah aku. Dan akulah kau."
***
Malam itu, Rina tak bisa tidur. Ia bangun, menyalakan lampu minyak, dan kembali duduk di depan cermin.
"Apa kau ingat hutan di barat?" tanya suara dari cermin.
Rina mengangguk. "Itu tempat ibu melarang aku pergi."
"Itulah tempat kau dilahirkan kembali," jawab suara itu. "Kau ingin tahu kebenaran?"
Rina ragu, tapi akhirnya berkata, "Ya."
Suara itu membisikkan sesuatu. Kata-kata yang aneh. Sebuah mantra. Rina mengulanginya perlahan.
Dan saat itu, cermin bergetar.
Bayangan di balik cermin bergerak. Lalu… sosok itu muncul. Wujudnya sama persis seperti Rina, tapi rambutnya lebih panjang, matanya lebih gelap.
Rina terkejut. Ia mundur, terpeleset, jatuh. Sosok itu melangkah keluar dari cermin dan memandangnya.
"Aku sudah lama menunggu tubuhku kembali," kata sosok itu. "Terima kasih, Rina."
***
Pagi harinya, ibu Rina mendapati anaknya duduk tenang di depan rumah, menyisir rambutnya.
"Rina?" panggilnya.
Anak itu menoleh. Senyumnya lebar, tapi tak sampai ke mata.
"Aku Mirah, Bu," jawabnya.
Wajah ibu memucat.
"Kau… tidak mungkin. Aku mengubur Mirah. Dengan tanganku sendiri. Aku melihat jasadmu tak bernyawa. Aku—"
"Aku dibawa kembali," kata 'Rina'. "Cermin itu pintunya. Dan Rina... sudah kuberi tempat istirahat."
***
Hari-hari berikutnya, penduduk desa mulai merasa aneh. Rina menjadi pendiam. Tatapannya tajam. Ia sering menghilang ke hutan barat saat malam hari. Anak-anak takut menatap matanya. Hewan-hewan peliharaan enggan mendekatinya.
Ibu Rina hanya menangis diam-diam.
"Aku terlalu sayang pada Mirah…" gumamnya di pelataran rumah. "Terlalu sayang… hingga kutolak menerima kematiannya. Kucari cermin dari pertapa di Gunung Rawit. Katanya, ia bisa membantuku menghidupkan kenangan. Tapi kutukan itu lebih kuat dari cinta seorang ibu."
***
Pada malam purnama, warga desa mendengar suara nyanyian dari hutan barat. Suara perempuan. Lirih, panjang, dan… dingin.
Beberapa pemuda penasaran dan mengikuti suara itu. Mereka melihat sosok perempuan menari di tengah lingkaran api, di antara batang-batang pohon.
Dia adalah Rina. Atau Mirah. Atau keduanya.
Tapi yang paling membuat mereka ketakutan adalah saat mereka menyadari… tak ada bayangan di bawah kakinya.
Dia bukan manusia.
***
Keesokan harinya, ibu Rina datang ke rumah dukun tua di ujung desa. Dukun itu menatap matanya dan berkata, "Kau tak ingin mengusirnya, kan?"
"Aku tak bisa… Dia Mirah. Anak kandungku."
"Tapi tubuh itu kini milik makhluk lain."
Ibu Rina menangis. "Kalau begitu… ajari aku cara membawanya kembali."
***
Tiga malam kemudian, upacara dilakukan diam-diam. Di dalam rumah, ibu Rina duduk berhadapan dengan Mirah yang menyisir rambut panjangnya di depan cermin.
"Mirah… mari kita bicara," katanya lembut.
"Sudah lama kita tidak seperti ini ya, Bu," jawab Mirah, senyum di bibirnya aneh, lekat dan dingin.
"Aku ingin minta maaf."
Mirah memandang ibunya. "Kenapa?"
"Karena aku tak bisa menerima kematianmu. Karena aku membuka pintu itu."
Mirah diam.
"Aku menyayangimu, Mirah. Tapi cinta seorang ibu tidak boleh mengubah dunia menjadi kelam. Sekarang aku harus menutup pintunya kembali."
***
Ibu Rina mengeluarkan cermin kecil dari saku bajunya. Bukan cermin biasa—cermin ritual dari dukun tua. Ia membisikkan mantra yang diajarkan semalaman.
Tiba-tiba, angin kencang berhembus. Api lampu minyak padam. Cermin besar di dinding bergetar hebat.
Mirah berdiri. Wajahnya berubah. Sorot matanya memerah.
"TIDAK!" teriaknya. "Kau mau mengusirku lagi? Setelah aku menunggu puluhan tahun dalam bayang-bayangmu?"
"Aku tak ingin… kehilanganmu lagi. Tapi ini bukan caranya," kata sang ibu, menahan air mata.
Cermin besar di dinding terbelah. Asap hitam membubung. Dari dalamnya, sesosok bayangan Rina yang asli muncul—kusut, pucat, dan lemah.
"Aku… aku kedinginan…" bisik Rina.
Mirah berbalik.
"Ini tubuhku!" teriaknya. "Kau sudah mati!"
"Tidak," jawab sang ibu. "Rina yang hidup. Kau hanya kenangan. Aku harus melepaskanmu."
Dengan suara tangis dan mantra yang patah-patah, ibu Rina mengangkat cermin kecil dan memantulkan bayangan Mirah ke dalamnya.
Jeritan panjang terdengar, menyayat.
Mirah ditarik kembali ke dalam cermin. Tubuhnya menyatu dengan kabut, lalu lenyap dalam dentuman.
***
Beberapa hari kemudian…
Rina duduk di ambang pintu, rambutnya dikuncir sederhana. Ia tampak tenang, tapi matanya menyimpan kehampaan.
"Ibu…" bisiknya. "Apa aku benar-benar Rina?"
Ibu menatap anak itu, lalu memeluknya erat.
"Kau anakku. Tak peduli siapa pun dirimu."
***
Beberapa minggu berlalu. Desa kembali tenang. Tapi pada malam menjelang hari kematian Mirah, ibu Rina menemukan sesuatu yang membuat darahnya membeku.
Di bawah tempat tidur Rina, ia menemukan sehelai rambut panjang berwarna perak… bukan hitam seperti rambut Rina.
Dan di balik cermin, tampak sebuah goresan samar:
"Aku masih di sini, Bu."
"Mirah."
---
Tamat
Share this novel