Desa Kalibuntu terletak jauh dari hiruk-pikuk kota, tersembunyi di balik rimbunnya hutan bakau dan jalanan tanah berbatu yang berliku. Tidak banyak orang tahu keberadaannya, seolah desa ini memang sengaja disembunyikan dari dunia luar. Ia seperti mimpi yang tak pernah selesai, di mana siang hanya sesaat dan malam terlalu panjang.
Matahari terbenam dengan cepat di Kalibuntu, menyisakan semburat jingga yang segera terganti pekat. Kabut laut menyusup perlahan ke celah rumah-rumah kayu yang berdiri dengan tulang lapuk, dinding lumutan, dan atap daun kelapa kering. Angin berhembus lembab, membawa aroma asin bercampur bau anyir lumpur dan kayu basah. Di tempat seperti inilah, cerita-cerita lama menjadi nyawa.
Sekar Ayu tiba menjelang malam, diantar oleh seorang kusir tua yang hanya dikenal dengan nama Pak Giman. Mereka berhenti di tepi desa, tepat di depan gerbang kayu yang dipenuhi ukiran tua berbentuk ular melingkar dan matahari terbelah.
"Nduk, sampean yakin ingin menginap di sini?" tanya Pak Giman sambil mengusap peluh. Suaranya parau, matanya menyapu ke arah hutan bakau yang kini tampak seperti dinding gelap tak tertembus cahaya.
Sekar Ayu mengangguk perlahan. "Aku harus ke sini, Pak. Ada sesuatu yang... memanggil."
Pak Giman menatapnya lama, seolah hendak berkata sesuatu, namun urung. Ia hanya mengangguk pelan, menurunkan buntalan barang, lalu melesat pergi seolah takut tertahan malam.
Tak lama, seorang lelaki tua muncul dari balik kabut. Ia mengenakan baju lurik lusuh dan ikat kepala dari kain batik hitam.
"Panjenengan pasti Sekar Ayu," katanya, suaranya berat namun ramah. "Saya Darto, Kepala Dusun. Sudah kami siapkan kamar untuk panjenengan di rumah tengah."
Sekar Ayu mengangguk sopan. "Terima kasih, Pak Darto."
Mereka berjalan melewati jalan setapak dari tanah becek. Di kanan-kiri, rumah-rumah berdiri rapat, jendelanya ditutup rapat, seakan enggan melihat malam. Tak seorang pun tampak di luar. Hanya suara jangkrik dan desir angin yang menyapa.
"Orang-orang di sini jarang keluar setelah matahari tenggelam," kata Pak Darto seolah membaca pikirannya. "Bukan karena takut, tapi karena tahu diri."
"Tahu diri dari apa?" Sekar Ayu bertanya pelan.
Pak Darto tersenyum tipis. "Dari yang tidak kasat mata."
---
Rumah tengah adalah bangunan paling besar di desa. Dindingnya dari kayu jati tua, halamannya penuh dengan tanaman perdu dan bunga-bunga kenanga yang baunya menyengat menusuk hidung.
Malam itu, Sekar Ayu tidak bisa tidur. Langit mendung, dan angin pantai membawa suara gamelan lirih dari arah barat desa. Suara itu tidak nyaring, tapi cukup jelas. Seperti berasal dari tempat jauh yang enggan dilupakan waktu.
Ia berdiri di jendela, menatap gelap di luar sana. Bau kemenyan menyeruak, diiringi suara rintik hujan. Tiba-tiba, suara langkah terdengar di lorong depan kamarnya.
Tok... tok... tok...
Ia membuka pintu perlahan. Lorong itu kosong. Namun lantai kayu masih bergetar, seolah baru saja diinjak oleh seseorang. Sekar Ayu memutuskan turun ke bawah, menyusuri lorong menuju bagian belakang rumah.
Samar, ia melihat sosok perempuan berdiri di dekat sumur tua. Mengenakan kebaya putih, rambut panjangnya tergerai hingga menyentuh tanah. Sosok itu tidak bergerak.
Sekar Ayu melangkah maju. "Maaf... apakah Anda mencari seseorang?"
Sosok itu menoleh—perlahan.
Tapi yang dilihat Sekar Ayu bukanlah wajah, melainkan kehampaan. Bagian wajah perempuan itu seperti kabur, seolah tidak pernah ada. Sekar Ayu terkejut dan terjatuh ke belakang. Saat ia mengangkat kepalanya kembali, sosok itu telah lenyap.
---
Keesokan paginya, Pak Darto membawakan bubur jagung dan air kelapa muda.
"Panjenengan mimpi buruk, ya? Wajahnya pucat betul."
"Bukan mimpi, Pak Darto. Saya melihat seorang perempuan di dekat sumur tadi malam. Wajahnya... tidak ada."
Pak Darto diam. Ia menarik napas panjang, lalu duduk di bangku bambu.
"Desa ini punya banyak cerita, Nduk. Salah satunya tentang Nyai Ranti. Dulu, ia adalah dukun desa yang termasyhur. Tapi karena satu kesalahan, ia dibakar hidup-hidup di dekat sumur itu oleh warga."
"Kesalahan apa?"
"Ia dituduh mengutuk anak-anak desa. Konon, wajahnya terbakar hingga tak bisa dikenali. Sejak saat itu, tiap malam Jumat Kliwon, arwahnya bergentayangan."
"Semalam bukan malam Jumat Kliwon."
"Betul. Tapi Nyai Ranti... tidak selalu menunggu hari untuk datang. Ia menunggu niat. Dan saya rasa, panjenengan datang membawa niat."
Sekar Ayu tercekat. Apakah benar, niatnya mencari jawaban telah memanggil sesuatu yang selama ini tertidur?
---
Hari-hari berikutnya, Sekar Ayu menjelajahi sudut desa. Ia mengunjungi rumah-rumah kosong, mendengarkan bisik-bisik dari para tetua, dan membaca catatan lama di balai desa. Semakin dalam ia menyelidiki, semakin banyak keanehan muncul.
Anak-anak kecil yang tidak mau menyebut namanya. Ibu-ibu yang menutup mulut saat ditanya tentang malam. Lelaki-lelaki tua yang berkata bahwa wajah Sekar Ayu mirip seseorang yang pernah hidup di Kalibuntu—bertahun-tahun lalu—dan telah mati dibakar.
Dan malam itu, Sekar Ayu bermimpi. Ia berjalan di tengah hutan bakau, diiringi suara tangis dan gamelan. Di ujung jalan, ia melihat sebuah rumah panggung. Di dalamnya, Nyai Ranti duduk bersila, menatapnya dengan wajah kosong. Tapi kali ini, suara perempuan itu terdengar jelas.
"Kau telah kembali... untuk menggenapi yang dulu belum tuntas."
Sekar Ayu terbangun dengan keringat dingin. Di ujung tempat tidurnya, setangkai bunga kenanga tergeletak basah oleh embun.
TAMAT
Share this novel