Malam menggantung gelap di atas Desa Kalibuntu. Embun belum turun, tapi kabut tipis sudah menguar dari sela-sela pohon beringin tua. Membuat rembulan malam yang biasa berhias indah, hilang bersembunyi di balik pohon Beringin besar.
Di tengah sunyi itu, ada satu nama yang membuat jantung para lelaki berdetak lebih cepat: Sekar Ayu.
Konon katanya, Sekar Ayu adalah anugerah sekaligus kutukan bagi desanya. Gadis belia, belum genap dua puluh tahun, namun wajahnya bagai bidadari turun dari kayangan. Kulitnya cerah, rambutnya panjang hitam seperti malam tak berbulan, dan matanya... Tuhan, matanya seperti mengikat siapa pun yang memandangnya.
Semua laki-laki tergila-gila padanya. Tidak memandang status dan usia. Dari Pak Lurah yang sudah beristri empat, sampai bocah laki-laki baru sunat. Namun tak satu pun dari mereka mencintainya dengan tulus. Mencintai karena ada niatan di baliknya. Hanya karena rupa, bukan rasa.
Sekar tahu. Ia bukan gadis bodoh.
"Aku seperti daging segar di hadapan serigala lapar," keluhnya suatu malam pada ibunya, yang hanya bisa menangis diam-diam. Apa pasal karena gadis seumuran seperti Sekar Ayu, layaknya sudah menikah dan beranak dua. Rasa cemas sang ibu, karena takut sang anak dicap sebagai perawan tua dan tidak laku.
Meskipun bisik-bisik seperti itu sangat menyakitkan hati Sekar Ayu, sejauh itu ia masih bisa bertahan. Ia beranggapan, mungkin kecantikannya adalah sebuah cobaan baginya.
Tapi cobaan sebenarnya baru datang ketika Darsa, anak mantri kaya raya, mencoba memaksa memilikinya.
**
Malam itu Sekar baru pulang dari pengajian. Angin dingin menusuk kulit. Bulan sabit sembunyi di balik awan. Ketika melewati jalan setapak di dekat pemakaman tua, sebuah tangan kasar menyergap dari belakang.
"Diam, Sekar. Jangan teriak. Aku cuma ingin kau... milikku malam ini."
Darsa si pemilik tangan kasar dan suara berat diganduli nafsu. Pemuda beraroma anggur dan parfum mahal, dengan mata haus dan tangan tak tahu batas.
Sekar Ayu meronta, menangis, tapi malam terlalu bisu. Tak ada yang datang. Sampai...
"Lepaskan dia, pergi! Jangan ganggu dia!"
Suara berat, namun teduh. Seperti batu mengalir air suci.
Darsa terhempas ke tanah seperti boneka dilempar. Sosok tinggi besar berdiri di depan Sekar. Wajahnya tertutup bayangan. Matanya merah menyala, tapi... Sekar tak merasa takut.
"A-apa kau ini?!" pekik Darsa, merangkak mundur.
"Aku hanya lelaki biasa. Tapi aku cinta padanya. Cinta, bukan nafsu."
Satu langkah, dua langkah, dan Darsa menjerit sebelum tubuhnya lenyap dalam kabut malam.
**
Namanya Soma. Begitu ia bilang saat Sekar bertanya siapa penolongnya. Tubuhnya tinggi besar, kulitnya sawo matang, rambutnya ikal berantakan. Ia tak banyak bicara, hanya mengangguk atau tersenyum. Tapi dalam diamnya, Sekar merasa aman. Dilindungi.
Hari demi hari mereka bertemu. Di pinggir sungai, di bawah pohon asem tua, di dekat ladang kosong yang Sekar suka duduki saat sore. Soma tak pernah menyentuh Sekar tanpa izin. Matanya penuh kekaguman, bukan kelaparan.
"Kau tak seperti laki-laki lain," bisik Sekar suatu senja.
"Aku bukan laki-laki seperti mereka," jawab Soma pelan.
"Karena... kau mencintaiku?"
Soma hanya tersenyum. Dan sejak saat itu, cinta tumbuh bagai ilalang liar di ladang hati mereka.
**
Namun, dunia tidak suka keindahan yang jujur.
Desa Kalibuntu mulai berbisik. Orang-orang berkata Sekar berubah. Terlalu sering menyendiri, berbicara sendiri. Ada yang mengaku melihatnya tertawa seorang diri di pinggir kuburan. Laki-laki yang dulu tergila-gila padanya, kini mulai menyebutnya "perempuan gila".
"Aku tak peduli," kata Sekar. "Selama Soma mencintaiku, aku tak butuh dunia."
Tapi dunia tak mau kalah.
Malam Jumat Kliwon, desa digegerkan oleh kematian Darsa. Tubuhnya ditemukan di tepi sungai, tercabik seperti diserang hewan buas. Tak ada darah, hanya bau kemenyan menguar dari luka-lukanya.
Warga menuduh Sekar.
"Dia santet Darsa karena ditolak," ujar mereka. "Atau dia pelihara sesuatu."
Desa ingin mengusirnya. Bahkan ibunya sendiri mulai takut. Tapi Sekar tetap tegar.
"Jika harus kubuktikan cintaku... maka aku akan bersamanya selamanya," katanya sambil menggenggam tangan Soma di bawah cahaya bulan.
Dan malam itu, mereka menghilang. Tak ada yang tahu ke mana.
**
Tiga bulan berlalu.
Warga mulai melupakan Sekar Ayu. Kehidupan kembali berjalan, walau beberapa orang mengaku mendengar suara gamelan lembut di dekat kuburan saat malam Jumat. Tak ada yang berani memeriksa.
Hingga suatu hari, seorang pemuda pengembara datang ke desa. Ia tampan, ramah, dan berilmu tinggi. Namanya: Soma.
Iya, Soma.
Tapi wajahnya berbeda. Tak seperti lelaki besar yang dulu bersama Sekar. Tapi matanya... Matanya sama. Penuh kasih. Ia mengatakan bahwa ia adalah tunangan Sekar yang pergi merantau, dan kini kembali untuk mencari kekasihnya.
Penduduk bingung. "Tapi... Sekar sudah menghilang. Bahkan ia dituduh pelihara makhluk gaib!"
Soma hanya tersenyum. "Dia tidak gila. Dia hanya tahu mana cinta sejati."
Satu per satu warga yang dulu mengutuk Sekar, kini merasa bersalah. Tapi tak satu pun tahu di mana mereka bersembunyi.
**
Malam purnama berikutnya, seorang nenek tua yang suka menyapu makam mendatangi balai desa. Napasnya tersengal.
"Aku lihat dia!" katanya. "Sekar... dan Soma. Mereka duduk di atas batu nisan, tertawa bersama. Tapi... tapi kakinya tak menyentuh tanah. Dan bayangannya... Soma bukan manusia!"
Warga geger. Mereka datang ke kuburan tua malam itu. Tak ada siapa pun. Hanya kabut dan bau kemenyan.
Tapi di nisan paling tua, nisan yang tak pernah dibersihkan, ada dua bunga melati segar. Dan ukiran samar yang baru terbentuk.
"Sekar Ayu & Soma - Cinta tak harus hidup untuk abadi."
**
Beberapa minggu kemudian, seorang dukun sepuh dari desa sebelah datang dan mengungkap cerita sesungguhnya.
Soma yang asli... adalah genderuwo penjaga makam. Ia makhluk halus, tapi tidak jahat. Ia ditugaskan menjaga makam sejak ratusan tahun lalu, hidup dalam kesunyian dan kesetiaan.
Saat melihat Sekar Ayu menangis di pinggir kubur, hatinya tersentuh. Ia jatuh cinta. Tapi ia tahu, ia bukan manusia.
Namun cinta Sekar padanya, tulus dan menerima. Bahkan ketika Soma menunjukkan wujud aslinya-bertubuh hitam legam, bertanduk, bermata merah-Sekar Ayu tak lari. Ia memeluknya.
"Aku mencintaimu bukan karena rupa, tapi karena hatimu, Soma."
Lalu, demi bisa bersatu, Sekar Ayu memilih meninggalkan dunia manusia. Ia mengikat janji dengan kemenyan dan mantra kuno. Tubuhnya lenyap, tapi jiwanya abadi bersama Soma.
Kini, mereka tinggal di antara dua alam. Kadang terlihat, kadang tak. Tapi cintanya hidup.
Dan setiap malam Jumat Kliwon, jika kau berani datang ke makam tua dan menaruh bunga melati di sana, kau bisa melihat mereka duduk berdampingan. Tertawa. Bahagia.
Karena cinta sejati... kadang lebih menyeramkan dari kematian.
TAMAT
Share this novel