Rumah besar di ujung Jalan Cempaka itu selalu tampak sepi. Jendela-jendelanya penuh debu, cat dinding mulai mengelupas, dan pekarangannya dikuasai rerumputan liar. Padahal, rumah itu sering berpindah tangan. Tapi tak ada satu pun pemilik yang mampu bertahan lebih dari enam bulan.
"Setiap malam, ada suara anak kecil berlari-lari," ujar Bu Ratmi, tetangga depan rumah itu. "Kadang terdengar juga suara cekikikan. Tapi waktu dilihat, nggak ada siapa-siapa."
Sudah lebih dari sepuluh keluarga pindah sejak rumah itu mulai dijual dua puluh tahun lalu. Setiap orang yang pernah tinggal di sana selalu keluar dengan cerita sama: suara bocah bermain, kursi berpindah tempat, bola menggelinding sendiri.
Hingga suatu hari, datanglah seorang pembeli baru. Namanya Arga. Laki-laki muda berusia awal tiga puluhan, penulis novel misteri yang sedang mencari suasana baru untuk menulis buku barunya.
"Saya dengar rumah ini punya... reputasi," katanya sambil tersenyum pada agen properti yang mengantarnya.
"Ah, sekadar cerita warga saja. Lagipula, rumah tua pasti berderit," jawab si agen sambil tertawa canggung.
Tapi Arga justru tertarik. Ia membeli rumah itu tanpa banyak tanya. Malam pertamanya pun dimulai dengan sunyi yang aneh. Seolah rumah itu menahan napas, menunggu.
---
Pukul dua dini hari, suara tawa kecil membangunkan Arga. Awalnya ia mengira itu suara dari luar. Tapi saat berjalan ke dapur, ia melihat bayangan kecil berlari melintasi lorong.
"Hei!" panggilnya spontan.
Tidak ada jawaban. Hanya suara lari kecil... seperti anak-anak bermain petak umpet.
Penasaran, Arga mulai menelusuri setiap sudut rumah. Tapi tidak ada apa-apa.
Besoknya, ia bertanya pada Bu Ratmi.
"Memangnya siapa dulu yang tinggal di rumah itu pertama kali?"
Bu Ratmi menatapnya dengan ekspresi ragu. "Keluarga Pak Suryono. Punya satu anak laki-laki. Namanya Rio."
"Apa yang terjadi?"
"Waktu Rio umur enam tahun, dia hilang. Dicari ke mana-mana nggak ketemu. Keluarganya akhirnya pindah. Rumah itu kosong lama, lalu mulai dijual. Tapi... setiap orang yang tinggal di sana selalu dengar suara anak kecil."
---
Arga memasang perekam suara di beberapa sudut rumah. Hasilnya mencengangkan.
Ada suara:
"... ayo cari aku..."
"... sembunyi di sini... jangan kasih tahu..."
Dan suara tangis lirih.
Arga merinding. Tapi bukan takut. Ia merasa... iba.
Ia mulai mencari denah asli rumah. Di denah lama, ditemukan satu ruangan tambahan di bawah tanah. Ruangan yang kini tidak terlihat lagi.
Dengan sekop dan alat sederhana, Arga mulai menggali lantai di gudang belakang. Dan benar, di bawah lantai kayu lapuk, tersembunyi pintu besi kecil. Terkunci.
Butuh waktu dua hari untuk membukanya. Saat pintu itu terbuka, aroma tanah lembap dan kayu lapuk menyeruak.
---
Ruangannya sempit, gelap. Arga membawa senter. Di sudut, ia menemukan peti kayu besar. Terkunci rapat.
Dengan hati-hati ia membukanya. Kayunya sudah rapuh. Dan saat terbuka—
Ada tulang-belulang kecil di dalamnya. Masih mengenakan pakaian anak-anak. Di sebelahnya, sebuah bola karet kecil, sudah kempes.
Arga menutup mulutnya. Nafasnya tercekat.
"Rio..."
---
Setelah melapor ke pihak berwenang, identitas tulang-belulang itu dipastikan. Rio, anak Pak Suryono. Hilang saat bermain petak umpet. Rupanya ia bersembunyi dalam peti di ruang bawah tanah yang waktu itu belum diketahui siapapun. Terkunci dari luar. Tanpa ada yang tahu.
Sejak hari itu, Arga merasa suasana rumah berubah. Tak ada lagi suara lari-lari. Tak ada lagi tawa kecil di malam hari.
Tapi malam itu, sebelum tidur, Arga sempat mendengar suara kecil berbisik dari dekat jendela:
"Terima kasih, Om... Aku sudah nggak sembunyi lagi."
Dan setelah itu, hanya sunyi. Sunyi yang damai.
TAMAT
Share this novel