Semilir angin pagi menyapaku yang tengah duduk dikantin kampus, hari ini aku ada kelas dan hanya satu kelas lagi yang harus ku ikuti sekitar satu jam lagi. Jadi aku lebih memilih untuk dikanting saja, namun sebenarnya sejak awal aku ingin menghabiskan waktu menunggu kelasku diperpustakaan lagi tapi perutku sudah berbunyi nyaring menandakan penghuninya minta jatah.
"Fi ... bengong aja," sapa Farah mengagetkanku.
"Eh Farah, ngagetin aja ... " ucapku agak terkejut.
"Gak ada kelas?," tanya Farah lagi seraya duduk dikursi depanku.
"Ada, tinggal satu matkul lagi," ucapku dan hanya dijawab Farah dengan berOH riya.
Beriringan dengan itu ibu kantin datang membawa pesananku, sepiring nasi goreng telur mata sapi dengan segelas teh manis. Akupun langsung menyantapnya sedangkan Farah asik bermain ponselnya.
.
.
Jam dipergelangan tanganku sudah menunjukkan pukul 12 siang sedangkan akupun baru saja keluar dari kelas terakhirku dihari ini. Akupun memutuskan untuk sholat dzuhur saja dulu dimasjid kampus.
Ketika perjalananku menuju masjid aku bertemu dengan Rafi, lelaki yang beberapa hari yang lalu mengkhitbahku dan satu hari yang lalu baru aku terima, sebenarnya hatiku masih takut untuk menerima laki-laki lain namun karena abi dan umi setuju dengan perasaan senang aku jadi tidak tega menolaknya.
"Eh ... Fi mau ke masjid ya?," tanya Rafi.
Iyalah, masa mau ke pasar.
"Iya Raf ... ," jawabku sambil menunduk.
"Ouh ... ya sudah, jaga diri ya Fi ... kan kita satu minggu lagi mau akad," ucapnya pede yang malah membuatku agak risih, ngapain coba diomongin lagi kalo udah tau.
"Ya," jawabku cuek dan segera memasuki masjid.
Sesampainya dimasjid aku segera menuju tempat wudhu wanita dan setelahnya aku bergegas untuk sholat dzuhur.
Setelah aku selesai sholat, aku segera memakai sepatu santaiku lagi dan bergegas menuju depan kampus karena barangkali mang Dayat sudah menjemputku, berhubung motorku sedang diservice jadi aku disuruh umi untuk diantar jemput mang Dayat, sopir pribadi dirumah.
Tak sampai menunggu lama mobil BMW hitampun telah sampai didepanku yang ku yakini itu pasti mang Dayat, jadi segera saja aku memasuki bangku penumpang dibekakang. Hingga aku tak menyadari kalau mang Dayat mukanya terlihat lebih mudah dan bersih dengan pandangan mata yang teduh dan itu semua aku lihat tak sengaja dikaca depan mobil yang hanya bisa melihat muka disekitar mata. Eh tunggu..tunggu, muka muda, bersih, pandangan mata teduh! oke itu bukan mang Dayat melainkan bang Abil, hah! bang Abil?!.
Setelah aku mengetahui bahwa yang menjadi sopir bukanlah mang Dayat melainkan bang Abil, kakak angkat kesayanganku tiba-tiba hatiku bahagia bak diberi kejutan eh tapi ini betulkan bang Abil?.
"Ini bang Abil ya?," tanyaku memastikan.
"Menurut kamu dek?," jawab bang Abil santai dan oke itu benar bang Abil aku sangat kenal suaranya.
"Wahhh bang Abil!, ih jahat mau pulang gak bilang-bilang!," ucapku sewot dengan bibir yang sudah ku manyunkan.
"Lha bukannya umi udah bilang ke kamu ya dek?," tanya bang Abil lagi seraya matanya melihatku yang berada ditempat duduk belakang.
"Udah sih, tapi kan adek gak tau jam berapa abang pulang ... tau gini adek gak usah berangkat ke kampus dan milih jemput abang," cerocosku dengan bibir yang masih ku manyunkan.
Terlihat bang Abil malah terkekeh, " ya gak boleh gitu adek, katanya mau jadi sastrawan jadi kamu harus lebih mentingin kuliah kamu dong dek daripada harus bolos buat jemput abang, abang juga pulangnya naik go car , umi sama abi kelihatan kaget karena abang gak kabarin tapi mereka gak kyak kamu nih ngambek ... ," jelas bang Abil dengan masih terkekeh geli.
Aku tak merespon ucapannya kembali, melainkan mencuekinya dan langsung mengarahkan pandanganku ke luar jendela mobil dari tatapan mata bang Abil yang tak sengaja menatapku dari kaca depan, namun tiba-tiba jantungku berdetak abnormal, detakan yang baru pertama kali aku rasakan. Entah ini apa namanya namun sangat membuatku ragu untuk memulai pembicaraan, mungkin akibat rindu dengan bang Abil, tapi entah ini rindu sebagai adik kepada kakaknya atau apalah aku tak tahu.
"Cieee ... yang mau nikah, kok manyun aja sih?," goda bang Abil memecahkan suasana canggung.
"Apaan sih bang," ucapku ketus.
"Haduhh jangan galak-galak dong dek ... ," kekeh bang Abil yang masih fokus menyetir, entah kenapa tiba-tiba dipertengahan jalan raya malah terjadi kemacetan.
"Bang, tapi kenapa ya adek masih ragu-ragu sama cowok yang ngekhitbah adek," ucapku tiba-tiba dan terlihat bang Abil mengeryitkan dahinya.
"Ya istikhoroh lah dek ... ," jawab bang Abil.
"Adek udah istikhoroh bang tapi adek gak dapet apa-apa tentang dia, ya misalkan mimpi atau apa kek ... ini malah adek mimpiin ba-," jawabku hampir saja kelepasan buru-buru ku tutup mulutku.
"Mimpiin siapa dek?," tanya bang Abil penasaran.
"Ah ... ng-ngak bang hehehe, pokoknya adek gak mimpiin dia bang," jawabku cepat.
"Ya kan gak pasti lewat mimpi juga kan dek?,"
"Iya sih, tapi adek masih ragu aja bang,"
"Udah coba mantapin hati adek lagi, terus jangan lupa selalu berdo'a,"
"Iya bang, oh iya ... kalo abang udah ada calon belum nih? dari tadi malah ledekin adek," ucapku penuh kemenangan melihat ekspresi bingung bang Abil.
"Hahaha ada lah dek, tapi masih belum pasti hehe" kekehnya kembali fokus menyetir.
"Dasar!," ucapku seraya memutar bola mataku malas.
***
Setelah sekitar lima belas menit terjebak kemacetan, akhirnya aku dan bang Abil sampai juga dirumah. Dan tampaknya abi sudah pulang karena mobilnya sudah terparkir manis dihalaman rumah.
"Assalamu'alaikum ... ," ucapku dan bang Abil berbarengan.
"Wa'alaikumussalam," jawab umi dan abi hampir bersamaan.
"Eh udah pulang anak-anak umi," ucap umi lagi dan kamipun menyalami punggung tangannya selanjutnya mencium punggung tangan abi.
"Umi kenapa gak bilang sih kalo bang Abil udah pulang?," ucapku kembali memanyunkan bibirku.
"Aduh anak umi, ngambek nih ... umi juga gak tau dek tiba-tiba aja abangmu udah sampai didepan rumah," jawab umi dengan penuh pengertian.
"Masih ngambek aja nih adekku," kekeh bang Abil membuatku semakin kesal.
"Ih apaan sih bang," jawabku jutek.
"Udah-udah jangan berantem, bang Abil minta maaf ke adeknya, dan buat adek jangan ngambekan ah ... udah mau nikah juga," seloroh abi dengan diiringi nada candaan diakhir ucapannya.
"Iya bi, dek abang minta maaf ya," tanya bang Abil penuh perhatian, tiba-tiba jantungku kumat lagi.
"I-iya bang, tapi ada syaratnya!," jawabku cepat.
"Apa dek syaratnya?," tanya bang Abil penasaran.
"Besok temenin adek beli buku ples yang bayar abang," ucapku dengan nada menuntut.
"Oke, siapa takut..," jawab bang Abil tak mau kalah dariku.
"Mi besok adek sama bang Abil pergi ke toko buku?," tanyaku pada umi yang terlihat tersenyum.
"Boleh, asal jaga batasan ya...kalian ini bukan mahrom lho," ucap umi mengingatkan kami.
"Siap mi, kalo abi setuju gak?," giliran aku tanya pada abi yang juga ikut tersenyum, mungkin melihat kehangatan diruang keluarga ini.
"Abi ngikut umimu aja deh,," ucapnya terkekeh.
"Yes...makasih abi umi,"
###
Krisannya jangan lupa.
(Belum direvisi)
Share this novel