Hari ini Fia tidak ada kelas dikampusnya dan seperti janji Fia kemarin yang menyuruhku untuk menemaninya membeli buku sekaligus akupun yang harus membayarnya, ini semua aku lakukan demi untuk mendapatkan maafnya. Entahlah, kenapa sejak kemarin aku menjemputnya dari kampus hatiku jadi merasa deg-degan, apalagi dengan tatapan kami yang bertemu tak sengaja. Tapi aku tetap akan berfikir positif bahwa ini hanyalah sebuah rasa rindu layaknya seorang kakak yang merindukan adiknya.
Namun tak bisa kupungkiri pula, ketika mendengar jawaban bahwa Fia bertemu denganku dalam mimpinya yang sewaktu ia hampir saja keceplosan ingin mengatakan bahwa dia memimpikanku, namun segara ia tutup mulutnya menggunakan tangannya. Tapi apa dia tahu bahwa aku juga bisa membaca pikirannya, jadi aku tau apa yang akan dia katakan waktu itu. Sama halnya denganku, ketika melakukan sholat istikhoroh untuk memantapkan hatiku dengan keputusan apakah aku akan menerima lamaran Riska atau tidak, malah semakin sering aku bertemu Fia didalam mimpiku, dan dalam mimpiku itu Fia pasti berada dibelakangku menjadi makmumku dan selalu mencium punggung tanganku seraya berkata, "ana ukhibbuka fillah".
Tok...tok...tok...
"Bang Abil...ooo bang Abil bangunlah udah siang nih, inget lho bang sama janjinya waktu itu!," ucap Fia dengan suara cemprengnya yang sungguh ku rindukan selama dipesantren dan disertai ketukan pintu berkali-kali.
Aku yang baru saja selesai melaksanakan sholat dhuha dengan buru-buru melipat sajadahku sambil menaruh peci hitam yang tadi ku kenakan. Dan membiarkan baju koko putih yang bercoretkan warna merah dibagian dadaku menjadi pakaian yang akan ku kenakan hari ini dengan celana jins hitamku yang tidak terlalu ketat.
"Iya dek, bentar...," jawabku dari dalam kamar seraya membuka pintu kamarku. Dan nampaklah sosok bidadari dihadapanku, dia adalah Fia yang sekarang menggunakan hijab putih panjangnya dan gamis yang senada dengan warna bajuku pula yang dibagian pergelangan tangan gamis itu nampak bercoretkan warna merah, segera ku alihkan pandanganku dari Fia seraya hatiku beristighfar.
"Abang lama banget, lagi dandan ya?," ledeknya membuatku langsung menatapnya tajam namun bukan pada matanya.
"Enak aja!, dikira abang ini anak SMA yang lagi make-upan buat diajak kencan pacarnya," cerocosku tak terima dengan ucapan Fia, sedangkan Fia malah terkekeh geli.
"Ketawa lagi..," ucapku lagi seraya berjalan meninggalkannya yang masih asik menertawakanku.
"Bang Abill tungguin Fia ih!," jawabnya kembali dan ku dengar langkahnya seperti berlari ke arahku, segera ku pelankan langkah kakiku yang lebar.
"Udah pamit umi belum?," tanyaku setelah badan Fia sejajar agak dibelakangku.
"Udah bang, oh iya tadi umi juga pesen...pengen dibeliin sarung tangan," ucap Fia yang hanya kujawab dengan anggukan.
***
Sesampainya digramedia yang berada dimall, Fia langsung berlarian menuju beberapa rak buku novel yang bernafaskan islami. Sedangkan aku hanya pasrah mengikuti arah langkah kakinya, sekarang kami benar-benar seperti pasangan suami istri karena dengan baju kita yang tak sengaja couple atau samaan.
"Fi..udah belum sih, abang capek nih. Dari tadi cuman liat-liat doang sama sekali belum beli," ucapku frustasi menahan lelah yang kian menyerang tubuhku, namun dengan lincahnya Fia biasa-biasa saja berlari dari rak ke rak lainnya.
"Ih abang, niat nemenin Fia beli buku gak sih!," jawabnya dengan pandangan yang masih mencari-cari buku di rak.
"Ya niatlah Fi, tapi capek tau abang...," ucapku lagi namun tak Fia gubris.
"Bang ambilin dong itu bukunya," ucap Fia kembali, setelah ku lihat dia sedang kesusahan berjinjit mengambil novel ke tiga yang ia pilih.
"Makanya, punya badan tuh yang tinggian dikit napa!," celetukku bercanda seraya mengambil buku yang ia pilih.
"Abang ngatain Fia pendek gitu?!," jawabnya dengan menatapku tajam, sedangkan aku hanya santai-santai saja.
"Siapa yang bilang pendek, abang kan cuman bilang punya badan itu yang tinggian dikit," ucapku santai dengan mengulang perkataanku tadi.
"Bodo amat!," dengusnya kesal dan segera berjalan cepat menuju kasir.
"Dek itu mau bayar sendiri?," ucapku dengan terkekeh kecil, kemudian dia memelankan langkah kakinya.
***
Sudah hampir dua jam kami berkeliling di mall, pesanan umipun sudah kami beli dan sekarang waktunya makan siang. Kini aku dan Fia baru saja sampai direstauran mall, segera saja aku dan Fia menuju meja yang berada ditengah-tengah kerumunan orang yang juga sedang menikmati makan siang disini.
Namun baru saja aku mendudukan diri aku merasa heran dengan Fia yang masih berdiri mematung seraya arah matanya melihat lurus kearah belakangku. Setelah ku ikuti arah pandangan Fia betapa terkejutnya aku ketika melihat Raffi, calon suami Fia tengah asik tertawa dengan seorang wanita yang bisa ku katakan pakaiannya tidaklah sopan.
Dengan tiba-tiba pula Fia berjalan menuju kearah Raffa dan wanita itu, segera ku susul Fia dibelakangnya. Bisa berabe nih kalo gak disusul.
"Lebih baik kita batalin aja rencana pernikahan kita!," ucap Fia lantang membuat para penghuni restauran menatap kami.
"Fi..Fia, ini gak seperti yang kamu lihat aku bisa jelasin," ucap Raffi dengan tangan yang ingin meraih tangan Fia, dan tentu saja aku tepis tangannya sedangkan dia hanya mentapku tajam.
"Mau jelasin apa hah?!, udah jelas Raf!," ucap Fia kembali.
"Sayang, dia siapa?," ucap wanita yang tengah duduk berhadapan dengan Raffi.
Nah lho, skakmat loe Raf!.
"Ouh mungkin kamu yang kurang jelas dengan ucapan aku tadi ya, oke tunggu sebentar...bang Abil, tadi sarung tangan pesanan umi mana ya? adek pinjem dong sebentar," ucapnya kepadaku, sesuai dengan intrupsi Fiapun aku langsung mengambil sarung tangan pesanan umi dan segera ku serahkan kepada Fia dan dia langsung memakainya.
Bughh...
Oke sudah bisa ku tebak, ternyata keahlian silat Fia masih ada. Satu tinjuan mentah mendarat dipipi Raffi dengan keras membuat Raffi memegangi pipinya yang memerah. Sedangkan aku hanya menontonnya dari belakang tubuh Fia, bukan berarti aku tidak peduli dengan Fia melainkan aku ingin lihat bagaimana Fia menegur si playboy kambing ini, karena sudah berkali-kali dia bercerita denganku bahwa Fia sudah sering melihat Raffi berjalan berdua bersama cewek yang berbeda-beda namun dia masih mau berpositif thinking.
"Udah jelaskan?, jadi sekarang aku batalin rencana pernikahan kita!," ucap Fia kembali dengan senyuman sinisnya.
"Dan buat loe!, hati-hati aja sama si playboy kyak dia," ucap Fia menunjuk ke arah wanita tersebut yang nampak ketakutan dan kembali menatap tajam ke arah Raffi. Setelahnya Fia berjalan meninggalkan Raffi dan wanita tersebut, aku hanya mendekat ke arah Raffi dan tersenyum meledek.
"Makanya jangan main-main sama adek gue!, bisa mati loe kalo adek gue udah gak punya sabar!," ucapku menatapnya tajam, dia hanya menunduk.
Segera ku susul Fia yang mungkin sudah sampai dimobil, oke berarti acara makan siang kali ini gagal padahal perutku sudah demo.
"Fi, mau langsung pulang atau gimana?," tanyaku kepada Fia yang berada dikursi penumpang belakang dengan pandangan mata sendu yang ku yakini pasti dia habis menangis.
"Mau ke taman kota," jawabnya singkat dengan isak tangia yang masih samar-samar ku dengar.
Kemudian, segera ku tancapkan pedal gas mobil menuju taman kota.
Sesampainya disana kami segera duduk dibangku panjang dengan pemandangan berbagai bunga-bunga memanjakan siapapun yang melihatnya, dan yang lebih mendominasi adalah bunga dandelion, si "bunga bandel". Pantas saja Fia lebih memilih ke sini.
Sementara Fia menatap kosong pemandangan didepannya aku lebih memilih berjalan menjauh dari Fia untuk menelfon seseorang.
"Assalamu'alaikum, Alan ya?," tanya seseorang disebrang sana.
"Wa'alaikumussalam iya Riz...," jawabku dengan terkekeh.
"Ya Allah, gimana kabar anta?,"
"Alhamdulillah baik Riz, kalo anta sendiri?,"
"Alhamdulillah baik juga Lan, eh ada apa nih tumben nelfon,"
"Syukurlah, iya nih bukan tumben Riz...kan ana tau jadwal santri disana boleh pegang hpnya hari apa aja heheh,"
"Hahaha iya juga ya,"
"Eh tapi ada yang mau ana omongin sana anta,"
"Apaan tuh Lan?,"
"Bisa gak anta tolong sampaikan ke ukh Riska kalo ana gak bisa nerima lamarannya?,"
"Lah kok bisa sih Lan?, anta udah punya calon ya disitu?,"
"Gak Riz, bukan gitu cuman takutnya ana malah nyakitin perasaan ukh Riska soalnya ana selama ini gak beri dia kepastian..."
"Ouh, oke lah...in syaa Allah nanti ana sampaiin,"
Setelah agak lama bertelfonan dengan sahabatnya yang berada dipesantren, tiba terdengar suara Fia yang memanggilnya.
"Bang pulang yuk, Fia ngantuk...," ucap Fia lesu.
"Hah,... eh iya dek, yuk buruan".
Setelahnya kami segera berjalan menuju mobil untuk kembali pulang, ku lihat Fia tengah menyenderkan kepalanya dkursi belakang dengan mata yang terpejam.
Semoga kau mau menerimanya Fia. Batinku seraya tersenyum ke arahnya yang masih memejamkan matanya.
###
TBC.
[Belum direvisi]
Share this novel