Noni Belanda

Horror & Thriller Completed 1946

1 Juni adalah peringatan hari lahir Pancasila, dan beruntung sekali, kali ini kelasku tidak mendapat giliran untuk mengikuti upacara di luar sekolah.

kali ini setelah mengikuti pelajaran yang membuat otakku terbelenggu dengan angka, aku memutuskan untuk membebaskannya sejenak dengan segelas es teh dan roti panggang di kantin.
Baru saja aku bersandar di kursi kantin dua teman konyolku datang dengan suara menyambar gendang telingaku.

"Woho, dewean ae?(sendirian saja)," ujar Aldo.

"Naura lagi pesan makanan," ujarku dengan nada lemas.

"Lemes ae nggak pantes ambek wajah ayumu(lemas saja tidak pantas dengan wajah cantikmu)," goda Ricko.

Hanya sunggingan bibir yang aku lemparkan sebagai jawaban. Tiba-tiba Naura datang dengan sejuta ungkapan yang tertahan di bibirnya.

"Kalian tahu nggak, di sekolah lagi booming cerita tentan? ruang bawah tanah, katanya sih dulu tempat untuk para penjahah menahan tawanan pribumi," ujar Naura yang membuatku mengerutkan kening.

"Nah itu yang ingin aku sampaikan ke kalian, tapi ada yang bilang kalau dulu ruang bawah tanah itu tempat untuk menyusun strategi," sahut Ricky.

"Waah kalian penasaran nggak sih, aku jadi tertarik ingin tahu seperti apa tempatnya," timpal Aldo.

"Hiii, nggak deh seram, membayangkan saja sudah seram, apalagi lihat langsung," pekik Naura.

Aku hanya diam mencerna pembicaraan mereka, ini bagaikan sebuah puzzle, dan aku berusaha mencoba menggambungkannya dengan apa yang selama ini aku alami, aku rasa semua ada hubungannya.

Sepulang sekolah aku melihat kakek tua itu sedang menyapu halaman di sekitaran aula, aku bermaksud untuk datang menghampirinya dab menanyakan kebenaran tentang ruang bawah tanah itu, namun bukan jawaban yang ku dapatkan melainkan sentakan yang menggelegar.

"Gae opo takon-takon ruang bawah tanah, aku wes ngomong ojo macem-macem ojo nggali luweh adoh, tapi nggak kok rungokno? ancene edan arek-arek jaman saiki (Buat apa tanya-tanya tentang ruang bawah tanah, aku sudah bilang jangan macam-macam jangan menggali lebih dalam, tapi tidak kalian dengarkan, memang keterlaluan anak-anak jaman sekarang)," ujarnya dengan berjalan meninggalkanku dan memasuki aula.

Namun itu tak membuatku putus asa, aku berjalan mengendap mengikutinya dari kejauhan, entah kenapa aku merasa penasaran dengan kakek tua itu.
Tapi baru beberapa langkah ada sesosok yang menarik perhatianku, entah sejak kapan dia melipat tangan dan bersandar di depan pintu aula.

Wanita berambut pirang dengan baju berenda yang ku lihat di balai kota saat malam resepsi. Yah aku ingat betul, dia terus menatapiku. Hingga suara Naura membuyarkan segalanya.

"Keke, dari tadi kita cariin, kamu ngapain di sini?"

"Enggak kok Ra, cuma lewat," sahutku dengan senyum palsu.

"Jangan-jangan kamu penasaran ya sama Ruang bawah tanah itu," sambung Aldo.

"Ih, ya enggaklah aku nggak percaya, yaudah ayo pulang," timpalku dengan berjalan mendahului mereka bertiga.

Sesekali aku masih melirik kearah pintu aula, dimana aku tak lagi melihat gadis itu, benar-benar sebuah teka-teki yang harus segera ku selesaikan.

Keesokan hari
Kebetulan hari ini sekolahku mengadakan lomba puisi bertema Pancasila, dan setiap kelas harus ada satu perwakilan. dan beruntungnya itu bukan diriku, tapi takdir berubah ketika aku baru saja menginjakkan kaki memasuki ruang kelas.

"Ke, untung kamu cepat datang, aku mau minta tolong, perwakilan kelas kita buat lomba puisi nggak bisa hadir soalnya dia sakit, kira-kira kamu bisa gantiin nggak? kita cuma bisa berharap sama kamu Ke," ujar Hasan ketua kelasku.

Bagaikan petir di siang bolong, aku benar-benar tidak memikirkan hal ini akan terjadi, yang lebih menjengkelkan lagi ketika Naura ikut memohon kepadaku, aku hanya bisa berdiri mematung dan menelan ludah mencoba untuk menerima keadaan.

"Yaudah nggak apa-apa," Dengan bodohnya aku menyetujui itu, sedangkan aku saja belum memikirkan isi puisi yang akan kubuat, dan kubacakan di depan banyak siswa.

Kebetulan sekali lomba itu di adakan di aula, dari kejauhan aku memperhatikan detail aula itu, siapa tahu saja aku menemukan hal ganjal lainnya. Namun nihil, aku tak menemukan apapun bahkan sang kakek yang biasa ku lihat di sekitaran aula juga tak tampak.

Ketika aku mulai memasuki aula, semua terlihat kondusif tak ada sesuatu yang mengganjal. Aku memilih untuk duduk di bangku belakang tujuanku agar aku bisa konsentrasi memikirkan isi puisi yang akan aku buat. dan beruntung sekali aku berada di urutan 19 dari 22 peserta.

Saat ini adalah giliranku, dan keadaan segera berubah ketika aku akan membacakan puisiku, aku yang sudah menyiapkan mental harus down ketika melihat seorang Noni Belanda duduk diantara mereka dengan tatapan kosong, dia adalah perempuan yang ku lihat kemarin di depan pintu aula, tapi kini dia terlihat berbeda.

Tatapan kosong dengan mata yang hitam, bibir pucat dengan darah mengalir dari bagian kepala, rambut pirang tak beraturan. Baju yang berlumuran darah dan terlihat hanya ada satu tangan.

Sekelebat aku mendengar jeritan yang teramat lalu melihat dua tentara jepang menyeret bagian rambut seorang perempuan berbaju putih berenda dari pintu memasuki aula, perempuan itu mencoba meminta tolong dengan memegangi kaki salah satu tentara itu namun naas tentara lain menebas tangan kanannya.

Bahkan bisa kubilang kulit kepalanya terkelupas. Sekali lagi aku mendengar suara jeritan itu sangat melengking di telingaku, hingga berhasil membuatku jatuh terduduk. Beberapa panitia segera berlarian menghampiriku yang lemas, sekilas aku melihat kakek tua itu menggelengkan kepala kepadaku.
Dan akhirnya panitia dan juri memutuskan untuk membawaku ke UKS.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience