Aula

Horror & Thriller Completed 1946

Tekanan mentalku masih terganggu setelah kejadian beberapa hari yang lalu, tapi berkat dukungan dari orang-orang terdekat sedikit demi sedikit aku bisa membuang semuanya. Namun siapa sangka jika apa yang aku lupakan mengundang hal baru yang lebih menekan jiwaku.

Sore ini sepulang sekolah seluruh anggota paskibra diharuskan untuk berkumpul di aula, bisa dikatakan sebagai gedung bersama antara ketiga sekolah ini. Dan semenjak aku bersekolah di Sma 3 ini sudah beberapa kali aku menginjakkan kaki di tempat yang tidak asing bagiku yaitu aula, tapi entah kenapa kali ini begitu berbeda.

"Aulanya pengap banget sih, bau amis, anyir-anyir gimana gitu!" Celetukku.

"Akh, masa sih? Pengap sih iya, tapi aku nggak bau apa-apa kok," sahut Naura.

"Astaga!" Pekikan itu membuat beberapa pasang bola mata tertuju padaku.

"Ada apa sih, kaget deh," seru Naura dengan wajah cemas.

"I...i...itu da...darah apa? Banyak banget?" Ucapku terkesiap.

"Darah? Mana darah? Nggak ada kok, kayaknya kamu masih shock dengan kejadian beberapa hari yang lalu deh, nggak ada apa-apa kok beneran," ujar Naura meyakinkan.

"Kalian kenapa masih ada di sini, mari bergabung dengan yang lain!" Ujar pembinaku.
Entah kenapa tiba-tiba saja aku merasa mual.

"Huuueeek, huueeekk!"
Kini mereka memandangku dengan tatapan ganjil.
Aku tidak peduli dengan apa yang ada dalam pikiran mereka, aku hanya ingin segera keluar dari aula ini.

"Kamu baik-baik saja?" Ucap pembinaku.

Hanya anggukan kepala sebagai jawabanku. Kali ini aku mendengar teriakan yang samar-samar, aku semakin memusatkan pendengaranku dan benar saja entah itu apa dengan keadaan sadar aku bisa melihat bayangan seorang wanita Netherland dengan darah mengucur dari mulut dan kepalanya yang terseret dari depan pintu memasuki aula.

Dulunya aula ini menggunakan ubin lama yang berwarna kuning, dengan bekas ceceran darah dimana-mana, sudah beberapa kali ubin itu berusaha di ganti, dua bulan yang lalu ubin ini sempat di ganti oleh para tukang dan satu guru yang alhasil satu persatu mereka jatuh sakit bahkan guru itu sempat kesurupan saat tengah mengajar di kelas. Namun beberapa hari kemudian noda darah itu tetap saja ada, dan akhirnya beberapa minggu yang lalu kepala sekolah memutuskan untuk mengganti ubin itu menjadi ubin kayu yang didasari dengan pasir, untuk menghindari kejadian serupa.

Meskipun saat ini ubin itu sudah di ganti dengan kayu dan didasari pasir, aku masih bisa melihatnya dengan jelas.

"Aaakkkhh!" Jeritku.

"Ke, kamu kenapa sih? Kamu nggak sehat? Kamu lagi sakit?" Ujar Naura.

"I...itu ada perempuan-," pembicaraanku segera di potong oleh si pembina.

"Kalau kamu nggak sanggup mengikuti paskibra ini, kamu masih bisa mundur," ucapan itu membuatku lebih bergidik.
Apa boleh buat aku harus menguatkan diriku, dari pada aku harus di tendang hanya karena sesuatu yang absurd.

20 menit kemudian

Aku mulai bernapas lega mendengar pembina membubarkan kami.
Tapi belum jauh aku meninggalkan aula,
Brek-brek-brek-brek
Aku mendengar suara hentakan kaki yang sama seperti yang ku dengar saat malam hari. Aku menghentikan langkah kakiku, saat suara itu terdengar semakin dekat.

Karena penasaran, perlahan aku mengintip dari celah-celah pintu yang sedikit terbuka, pemandangan yang mustahil dan di luar akal sehat manusia. Pemandangan barisan tentara tanpa kepala, dan sekejap semua menjadi gelap.

Setelah aku sadar, dan bernapas dengan normal, aku melihat pembinaku, Naura, dan 3 temanku yaitu, Ricky, Richard dan Ameera. Tanpa menggubris pertanyaan-pertanyaan yang mereka lontarkan, pandanganku terpusat kepada seorang kakek-kakek yang menghampiri kami.

Beliau memang kerap terlihat di sekitaran sekolah ini, mungkin bisa dibilang penjaga sekolah.
"Lek ten mriki mboten usah mikir aneh-aneh, pikiran ojo kosong, ngkok mereka iku luweh gampang ngelabuhi kene, seng wes jarno liwat, nggak usah di gali luweh jero, sing penting tujuanmu neng kene arep nuntun ilmu."
(Kalau di sini tidak usah berpikiran yang aneh-aneh, pikiran jangan kosong, nanti mereka itu lebih muda mengelabui kita, yang sudah biar berlalu, tidak perlu di gali lebih dalam, yang penting tujuan kalian ke sini untuk menuntut ilmu).

Ungkapan itu benar-benar memecahkan kepala kami, terlebih diriku yang semakin terbawa, seakan-akan ada hal menarik di balik ucapan kakek itu.

"Baik kek kami akan sangat hati-hati," ujar pembinaku.
"Ya sudah sekarang kita bisa meninggalkan tempat ini, jangan lupa jaga kesehatanmu, mari kek," sambungnya.

Kakek itu terus menatapku seakan ada sesuatu yang ingin beliau sampaikan. Namun aku memilih untuk angkat kaki dan meninggalkannya. "Permisi kek," pamitku.

"Tunggu!"

Aku dan ke-5 temanku segera menghentikan langkah kami, dan berbalik arah menghadapnya.

"Kalian ojo sampek nyeluk-nyeluk bangsane, ojo duwe roso penasaran, (kalian, jangan sampai memanggil bangsa mereka, jangan ada rasa penasaran)," ujarnya dengan meninggalkan kami.

Ke-5 temanku hanya mengangkat bahu dan memilih untuk mengacuhkan ucapannya, tapi berbeda denganku yang berusaha mencerna ucapannya.

"Ngomong-omong kakek tadi itu bicara soal apa sih? Kalian paham?" Ujar Ricky.

"Aku sih nggak percaya gitu-gituan, masa bodoh deh," sahut Aldo.

Aku memilih diam berusaha mencerna ucapan kakek itu.

"Heh, kamu kenapa lagi? Jangan diem gitu akh!" Celetuk Naura.

"Nggak kok."

******

17-08-2017,

Akhirnya hari ini pun tiba, dimana kami anggota paskibra akan bertugas untuk acara yang sangat sakral bagi negara kita. Lantunan-lantunan lagu kebangsaan terdengar indah dan menggebu-gebu, acara demi acara berjalan dengan khidmat.
Kami benar-benar lega setelah menyelesaikan tugas suci kami.

Malam ini adalah malam resepsi, acara diselenggarakan di balai kota yang tidak jauh dari sekolahku. Konon gedung balai kota ini sudah ada sejak tahun 1929 dimana bangunan ini berfungsi sebagai pusat pemerintahan.

Namun pada tanggal 29 Juli 1947 Belanda menyerbu Malang yang dikenal sebagai Agresi Militer Belanda I. Pada tanggal 31 Juli 1947 pukul 9.30 pagi tentara Belanda menduduki Kota Malang. Sebelum tentara Belanda memasuki kota, gedung balaikota sudah dibumihanguskan oleh para pejuang.

Bukan gedung balaikota saja yang dihancurkan, gedung-gedung penting lainnya meliputi seribu bangunan turut dibakar. Baru setelah perang, gedung Balaikota kembali dibangun. Dan beralih fungsi saat Jepang datang.

Aku rasa malam ini begitu ramai dan sesak, bukan hanya para tamu undangan yang datang, tapi begitu juga dengan "Mereka" yang hadir di antara kita. Entah sejak kapan aku lebih sensitif terhadap "Mereka".

Aku dan kedua orangtuaku duduk di deretan nomor 2 dari belakang. Beberapa kali aku membuang perhatianku ke bangku kosong yang hanya terhalang oleh 5 bangku saja dariku.

Dari kejauhan aku melihat seorang wanita berparas cantik dengan gaun khas yang berenda. Aku pikir dia salah satu tamu undangan karena dia duduk di salah satu bangku kosong itu, sesekali aku melirik ke arahnya yang sejak tadi memandangiku, seakan dia tahu bahwa aku memperhatikannya.

Namun pada lirikanku yang terakhir dia menghilang entah kemana. Aku rasa semenjak kejadian malam itu hingga saat ini aku masih merasakan teror mereka, kapan semua akan berakhir, aku sudah cukup hidup layaknya orang gila, yang aku inginkan kembali menjadi diriku yang normal.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience