Museum Brawijaya

Horror & Thriller Completed 1946

Ke esokan harinya
   Hari ini Aldo dan Andika akan melakukan perjalanan wisata mereka ke ruang bawah tanah yang berada di aula, benar saja mereka menemukan sebuah papan kayu yang ternyata bisa di buka sekali lagi mereka bertanya pada kami, dan tetap dengan jawaban yang sama kami bertiga tak mau ambil resiko, setelah mereka berdua melompat kami masih mendengar suara mereka dari luar, namun hanya beberapa detik kami mendengar suara teriakan yang luar biasa dari dalam sana, Ricko meneriaki mereka memastikan keadaan mereka namun tak lagi ada jawaban dari mereka. Karena cemas Ricko berusaha untuk ikut turun ke sana namun Naura mencegahnya.

"Kamu gila ya? kalau nanti kaku kenapa-napa siapa yang mau nolong? Sudah sekarang kita pikirkan cara gimana nolong mereka."

"Kon iki budek opo ga duwe ati, koncomu kenopo-nopo ndek isor lek mati yok opo (kamu ini tuli atau tidak punya hati, temanmu kenapa-napa di bawah sana kalau mati bagaimana?)" Teriak Ricko.

"Saiki sopo sing ngongkon arek-arek iku mudun? he eleng kene wes ngelarang (sekarang siapa yang menyuruh mereka itu turun? he ingat kita sudah melarangnya)" timpal Naura.

"Sudah berhenti hukan waktunya buat berdebat, Ricko jangan mempersukit keadaan, kalau kalian cuma beradu mulut
mereka bisa mati beneran!" Sentakku.

   Aku segera berlari ke arah kakek tua yang sedang menyapu halaman, belum sepatah katapun keluar dari bibirku kakek itu segera menahanku dengan ucapannya.

"Oalah nduk-nduk aku wes ngomong, ojo di gali nemen-nemen. Lek wes ngene iki sopo iso nulung? mek gusti Allah (Oalah nduk-nduk aku sidah bilang, jangan di mencari tahu lebih dalam, kalau sudah begini siapa mau bantu? cuma gusti Allah)" ujarnya.

"Apa tidak ada cara lain kek?" sahutku.

"Percuma nduk, yah semoga saja mereka selamat," Ujarnya.

   Kami bertiga terjatuh lemas, entah apa yang bisa kami lakukan saat ini. Dua minggu setelah kami melapor kepada pihak sekolah dan kantor polisi, akhirnya kami mendapat kabar bahwa mereka telah di temukan dengan kondisi yang tak wajar Aldo di temukn tewas dengan luka di badannya, dan kami dengar dari keluarga Andika dia di temukan di Mojokerto dengan keadaan linglung.

   Dan setelah kejadian itu pihak sekolah menutup, lubang itu agar tak ada korban lainnya, dan pihak sekolah juga melarang keras untuk bermain-main di aula jika tidak ada urusan  yang benar-benar penting.

Satu bulan kemudian

   Pulang sekolah aku dan Naura berencana untuk menyelesaikan observasi di museum Brawijaya yang tidak jauh dari komplek rumahku.

Sesampainya di museum

   Di halaman depan terdapat Tank buatan Jepang hasil rampasan arek-arek Suroboyo pada bulan Oktober 1945. Selanjutnya oleh rakyat Surabaya tank ini dipakai untuk melawan sekutu dalam perang 10 November 1945.
Yang mensriknya lagi aku melihat yang belum tentu di lihat orang lain pada roda tank terlihat bercak darah, karena penasaran aku bertanya kepada gaet tentang asal muasal tank itu yang ternyata itu adalah salah satu yang di gunakan sekutu untuk menggilas para pejuang termasuk arek-arek suroboyo yang melawan saat itu.

   Entah kenapa tiba-tiba aku melihat seperti ada banyak orang yang memperhatikanku, jantungku mulai berdegup tak karuan ketika aku mulai melangkahkan kaki masuk ke dalam.

   Udara yang khas dan suasana yang khas, aku seakan kembali ke masa itu. Saat di lobby aku di sambut dengan sosok hitam yang entah itu apa, aku tak ingin melihatnya karena tujuanku ke sini menyelesaikan observasi-ku.
Pada ruang pertama aku melihat banyak sekali makhluk yang tak bisa aku jelaskan satu persatu, yah aku memang tak merasa nyaman berada di sudut mana pun, aku tertarik dengan sebuah mobil yang di pajang pada ruangan pertama.

   Seorang perempuan berada di dalamnya, benar-benar membuatku muak. Mata pada lukisan-lukisan itu seakan bergerak memperhatikanku kemana pun aku pergi. Bahkan entah sejak kapan hidungku begitu sensitif dan peka terhadap bau-bau yang mungkin orang lain tak menciumnya, tidak jauh dari tempatku berdiri aku mencium bau amis yang sangat menggangguku, aku berjalan menuju pusat bau yang berada dalam lemari kaca.

   Aku melihat lipatan bendera merah putih dengan penuh darah yang tertata rapi di dalamnya, dan yang menarik perhatianku adalah baju yang lubang dengan bekas tembakan dan darah yang masih menempel di sana.

   Sesekali aku mendengar jeritan minta tolong dari luar ruangan, aku benar-benar tidak bisa konsentrasi mendengarkan gaet itu berbicara, karena merasa terganggu aku aku berjalan menghampiri pusat suara.

"Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa."

   Suara jeritan itu membuat beberapa orang berlarian kepadaku, aku melihat ada banyak sekali orang yan melihat kearahku dengan pakaian kemeja khas jaman dulu.

"Ke, kenapa?" ujar Naura.

"Itu, semua orang-orang itu," ujarku menunjuk ke arah sebuah gerbong kereta.

   Tidak lama kemudian, sang gaet menjelaskan kejadian yang menurutku sangat mengharukan. Berawal pada saat Belanda masih berada di Indonesia sekitar tahun 1947 silam tepatnya 23 November. Kala itu, meski Indonesia sudah merdeka, Belanda tetap belum hengkang dari Nusantara.
Sebelum kejadian, Belanda melakukan penangkapan besar-besaran terhadap Tentara Republik Indonesia (TRI), laskar, gerakan bawah tanah, dan orang-orang tanpa menghiraukan mereka berperan atau tidak dalam kegiatan perjuangan.

   Hal itu mengakibatkan Penjara Bondowoso penuh dan tak mampu lagi menampung para tahanan. Belanda pun memindahkan sekitar 100 orang tahanan yang dianggapnya memiliki pelanggaran berat, dari penjara Bondowoso ke penjara Surabaya.

   Pemindahan tahanan dilakukan dengan menggunakan kereta api. Setiap 1 gerbong diisi sekitar 30 orang. Gerbong pertama GR5769 dan gerbong kedua GR4416 masih memiliki lubang ventilasi udara meskipun sangat kecil, namun gerbong ketiga GR10152 tidak sama sekali meski baru dibuat.

   Belanda sangat menutup rapat gerbong-gerbong kereta. Hal itu dikarenakan sedang marak gerilyawan RI, apabila ada orang-orang yang ketahuan membawa para pejuang RI, pasti akan langsung dihabisi.

   Selama perjalanan ke Bondowoso dari Surabaya yang memakan waktu belasan jam, ketiga gerbong kereta hanya dibuka sesekali. Itu pun hanya sebentar.

   Para tahanan juga tak diberi makanan dan minuman selama perjalanan. Oleh karenanya, para tahanan mati lemas satu per satu.

   Sesampainya di Bondowoso, sebanyak 46 pejuang tewas karena mati lemas tak mendapatkan makanan dan minuman, kepanasan, serta udara yang tak cukup. Sedangkan sisanya selamat, meski dalam keadaan lemas dan lunglai.

   Para tahanan yang selamat pun disuruh paksa untuk mengangkut mereka yang tewas. Mereka harus berhati-hati karena bisa saja kulit tahanan yang tewas terkelupas, akibat kepanasan dan terpanggang dalam gerbong baja kereta api.

Dan sekarang aku tahu bahwa apa yang aku alami selama ini benar-benar ada sangkut pautnya dengan perjuangan para pejuang membela tanah air, semua demi kemerdekaan Indonesia, tanpa mereka mungkin aku tak akan menjadi diriku yang saat ini, tanpa perjuangan mereka Indonesia tak akan pernah ada.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience