Tinggalkan jejak sebagai pembaca ^-^
Author sangat mengharapkan apresiasi para pembaca.
Happy reading ^^
°°°-°°°-°°°
|Merasa diawasi|
Bel pulang sekolah yang ditunggu-tunggu golongan murid mageran dan murid rebahan tiba. Entah bagaimana ceritanya saat jam pelajaran berlangsung banyak yang menguap, bosan, bahkan tidur. Tapi, saat 5 menit sebelum istirahat dan pulang nyawa yang beterbangan kembali ke badan, bukan dongeng apalagi mitos itu adalah fakta.
"Hooaaamm..." suara Fajar yang menguap begitu keras.
Plok..
Bintang yang sebangku dengan Fajar menimpuk kepalanya dengan buku tulus. Fajar sendiri melotot tajam, kepalanya sedikit sakit akibat timpukan Bintang. Fajar mengelus-elus kepalanya sendiri.
"Ngapa sih?!" tanyanya kesal.
"Nguap lo kurang lebar, nambah-nambahin polusi udara aja lo njir. Mana bau jengkol lagi napas lo."
Fajar mengecek apakah napasnya beneran bau jengkol atau tidak. Dasar otak ampas kelapa.
Murid-murid kelas mereka sudah banyak yang keluar menyisakan mereka berlima -The Blues- dan beberapa anak yang masih dikelas serta petugas piket.
Ragil sendiri masih merapikan barang-barangnya yang tergelat di atas meja. Buku-buku, pulpen, pensil, dan lainnya disusun dengan apik didalam tas backpack hitamnya. Seolah tuli dengan perdebatan dua manusia ampas itu, Ragil malah keluar kelas setelah berpamitan pada teman-temannya yang masih waras. Dengan tas yang disampirkan di bahu kanan, ia mengecek handphonenya kalau-kalau ada panggilan tak terjawab atau pesan masuk.
Benar, ada beberapa pesan masuk dari aplikasi chat, ia membalas chat yang masuk satu per satu.
Tak sengaja Ragil menabrak seseorang di koridor. Ternyata yang ia tabrak membawa tumpukan kertas. Segera Ragil membantu orang itu yang ia yakini adalah seorang siswi dari siluet yang ditangkap ujing matanya.
"Sorry, gue gak sengaja." kata Ragil. Dia masih sibuk membantu si cewek membereskan kertas-kertas yang berserakan dilantai. "Gue juga minta maaf." katanya.
Entah mengapa Ragil merasakan kalau cewek ini menatapnya dengan lekat. Bagaimanapun Ragil adalah tipe orang yang masa bodoh bila ditatap dengan tatapan bagaimanapun itu.
Ragil memberi setumpuk kertas-kertas si cewek yang ia bantu kutip dari lantai. Tanpa melihat siapa yang ia tabrak, Ragil melongos begitu saja menuju ruang ganti yang dikhususkan dipakai saat jam olahraga atau ekskul olahraga. Dengan segera seragam yang dikenakan diganti dengan seragam latihan club basket.
Di lapangan basket outdoor sudah ada teman-teman seclubnya yang melakukan pemanasan mandiri dan ketua club basket yang sedang menyiapkan peralatan latihan hari ini. Sudah menjadi kebiasaan Ragil membantu ketuanya itu. Setelah keduanya pun pemanasan mandiri pula. Pelatih mereka belum datang hingga semua anggota club -kecuali Genta yg berhalangan- dan selesai pemanasan.
"Semuanya berkumpul!" intrupsi sang ketua club basket.
"Gue baru dapat SMS dari coach kalo dia bakalan telat datangnya. Jadi kira disuruh latihan sendiri sembari menunggu coach hadir." jelas ketua club. "Ayo mulai!"
Usai mendengar penjelasan ketua clubnya Ragil mengambil satu bola basket dan melatih kemampuannya. Teknik-teknik yang ia pelajari selama ini kembali direview sebagai pemantapan skillnya.
Sore itu matahari bercahaya dengan terangnya ,sedikit menyilaukan mata namun tak sampai menyengat kulit.
Ada banyak murid disekitar lapangan hari ini. Tak biasanya seramai ini. Ragil tau, kebanyakan dari mereka pasti hanya ingin melihat dirinya disini. Tak menutup kemungkinan kalau teman-teman seclubnya menjadi sorotan kaum hawa juga. Yup! Murid-murid yang duduk disekitar lapangan basket didominasi para siswi. Hanya beberapa pasang murid yang sedang berpacaran atau kasmaran.
Dari sekian banyak siswi yang melihat Ragil dengan tatapan memuja netranya malah menatap netra seorang siswi yang menatapnya aneh. Ragil tak mengerti arti tatapan itu. Apa maksudnya? Ia mengabaikan tatapan itu.
Sudah sejam lebih mereka berlatih mandiri, coach mereka akhirnya datang juga. Segera mereka berkumpul untuk mendengarkan materi latihan hari ini. "Hari ini coach mau kalian latihan berbentuk tim. Anggap ini seperti simulasi, karena sebentar lagi kalian akan ikut turnamen. Makanya kita harus latihan dengan giat pakai semangat. Paham?!" tegasnya. "Pahan coach!"
"Timnya seperti yang lalu-lalu saja. Ragil sebagai pimpinan tim 1, Mahesa sebagai pimpinan tim 2, Raka sebagai pimpinan tim 3, dan Arendra sebagai pimpinan tim 4. Kerjakan!" intrupsi coach dengan peluitnya. Semua anggota mengambil posisi masing-masing. Tim Ragil dan Tim Mahesa yang pertama kali bermain.
Saat bola dilambungkan kedua pimpinan tim itu berusaha merebut bola. Sayangnya, Mahesa yang memimpin bolanya.
Simulasi pun mulai menarik jejeritan histeris penonton kaum hawa. Bagaimana tidak? Anak ckub basket rata-rata cogan dengan tubuh atletis ditambah lagi sore ini cahaya matahari yang akan terbenam seakan menyorot mereka semua.
Ketika Ragil merebut bola dari Magesa jejeritan fansnya seakan melebihi supporter sepak bola Timnas Indonesia. Lebay bangetkan? Ragil mengambil ancang-ancang untuk melakukan jump shot. Dan.... Tembakannya berhasil! Bola ditembak dengan tepat membuat sorak-sorak supporter memekakkan telingan lagi padahal ini hanya simulasi.
Teriakan-teriakan yang memangil nama Ragil dari fansnya seolah menjadi magnet yang menarik matanya untuk melihat kearah keramaian. Lagi-lagi matanya menatap cewek yang tadi. Sesaat mereka kembali beradu pandang kala cahaya matahari meredup sebelum akhirnya kembali bercahaya dengan silau.
Tatapan matanya kian menajam pada semua penonton. Ia benar-benar merasa diawasi oleh cewek itu. Tiap gerakannya seperti subjek menarik untuk dipandang dan memang demikian. Namun hari ini terasa berbeda karna pandangan yang lekat itu.
Bunyi peluit yang nyaring milik coach club basket menandakan simulai berakhir. Kedua tim kembali berkumpul. Coach, Raka, Arendra, dan beberapa anak club basket memberi penilaian dan masukan pada tiap tim hari ini.
Coach mereka yang terbilang muda melihat jam tangan coklat yang melingkar dipergelangan kanannya, "Oke, kayanya sampe sini latihan kita. Pertemuan selanjutnya simulasi tim Raka melawan tim Arendra. Sampai jumpa dan hati-hati dijalan." selanjutnya coach itu pulang dan anak-anak basket mulai membubarkan diri. Beberapa ada yang bercengkrama menghilangkan penat sejenak.
Seorang siswi menghampiri Ragil. "Kak Ragil, aku ada air mineral nih. Kayanya kakak haus, nih ambil kak." ucap seorang adek kelas. Ia menyodorkan sebotol air mineral pada Ragil. "Sorry, tapi gua udah ada air nih." Raguk menunjuk botol minum yang ia bawa dari rumah.
Raut kecewa terpatri diwajah adik kelas itu. Tapi botol itu diambil seseorang dari tangannya, "Buat gue aja." ucap orang itu dan menegak airnya hingga tandas. "Pas banget gue lagi haus." lanjutnya.
"Eh? Kak Rendra.." ia menjadi kikuk. "O-ooh yaudah deh kak." katanya dan langsung pergi.
"Lo berhutang sama gue, Gil." katanya terkekeh kecil diikuti senyuman Ragil juga, "Thanks bro." Ragil menepuk pundak kanan Arendra. "Gue cabut duluanlah. Banyak urusan." pamit Ragil. "Sok yes lo, Gil." sambung Arendra.
"Semuanya gue duluan!"
"Oke, Gil! Hati-hati! Awas digondol keong racun lo!"
Ada-ada saja.
***
Ragil memarkirkan motornya di garasi. Dilepaskan helmnya dan meletakkan dengan rapi di rak kayu. Rambutnya kembali basah karna keringat, dikibaskan kepalanya kekanan-kiri membuat percikan keringatnya bertetesan dilantai. Ah, gue harus keramas.
Dengan tergesa Ragil masuk rumah tak lupa mengucap salam kemudian kekamar dan segera mandi. Selepas mandi Ragil membuka aplikasi chat dihandphonenya. Room chat Bintang berada paling atas dengan 1 pesan. Karna penasaran, Ragil pun membaca pesan dari Bintang.
Bintang Pradana
Gil, nongki di kafe dekat sekolah skuy! Ada Genta, Fajar, sama Rizky. 19:03
Ragil Pamungkas
Otw. 19:13
Secepat kilat Ragil mengambil setelan dari lemari pakaian dan memakainya. Semula ia hanya membalutkan handuk dari pinggang hingga lutut, membuat tubuh atletisnya terpampang jelas.
Celana lee panjang berwarna hitam berpadu dengan kaos berlengan pendek berwarna putih dan dilapisi jaket kulit berwarna biru muda. Simpel.
Ragil melihat jam yang ada di handphonenya. 19:13. Ia menyambar kunci motor dan menemui teman-temannya.
Didalam kafe, ia mengedarkan pandangan sekilas mencari temannya, itu mereka!, Ragil menghanpiri meja teman-temannya dan mengambil posisi yang nyaman.
"Mbak!" intrupsi Bintang pada pelayan. "Lo pesen apaan?" tanyanya. "Coffee latte ajalah." jawab Ragil.
Bintang mengulang pesanan Ragil pada pelayan. "Mohon ditunggu ya, Mas." ucapnya ramah. Kemudian mereka mengobrol dengan hangat ditambah keampasan dari pasangan Fajar dan Rizky yang sukses mengocok perut teman-temannya.
Yah, setidaknya begitu sampai Ragil merasa kalau mereka diawasi. Feeling Ragil terbilang cukup tajam. Pelan-pelan namun pasti netranya menyusuri isi kafe ini. Mengamati dengan lekat para pengunjung. Oh, ya ampun, pantas saja ia merasa diawasi ternyata musuh The Blues ada disini juga dan menatap mereka dengan nyalang.
The Blues takut? Itu sebuah keajaiban dunia bila terjadi.
"Woi, lawan ada dimeja sebrang arah jam 9. Jangan langsung diliatin, siaga aja kalo kelompok monyet itu ngajak war." peringat Ragil. Teman-temannya mengikuti perkataan Ragil. Keseriusan terpatri pada kelima cowok SMA ini.
"Udah pada cabut tuh." kata Rizky sambil menyesap hot chocolatenya. Ragil memperhatikan meja musuhnya dari kaca yang cukup lebar yang ditempel didinding. Benar! Mereka sudah pergi.
"Untung aja gak ngajak war disini tuh kecebong anyut." celutuk Fajar yang diangguki teman-temannya. Sepertinya mereka harus lebih waspada.
"Ml gan?" tawar Genta.
"Skuylah!" sahut mereka serempak.
Terkadang lo butuh teman dengan otak ampas karena canda tawa bersama mereka lebih bermakna dihidup lo daripada teman dengan keseriusan diatas rata-rata yang akan meninggalkan lo saat jatuh dan tak pernah melihat kebelakang sekali saja, apalagi menjulurkan tangan untuk membantu lo berdiri kembali. Itu yang kelima cowok ini rasakan
Share this novel