CEWEK PERMEN [6:KEKALAHAN THE DARK]

Romance Series 792

Sapuan halus dari secercah cahaya matahari menyusup masuk melalui celah gorden jendela. Tajamnya sinar pagi hari itu menusuk mata yang terpejam damai dengan helaan napas yang teratur.

Tubuhnya menggeliat sebentar dan bangun dari alam bawah sadar. Disibakkannya selimut yang menutupi sebagian tubuhnya kemudian kakinya melangkah ke kamar mandi.

Tiga menit kemudian Ragil keluar dengan muka yang lebih segar. Butiran-butiran air masih banyak di area rambut hitam legamnya. Wajahnya sesekali dibersihkan dari air sisa sehabis mandi dengan handuk yang disampirkan di leher putihnya.

Boxer hitam dengan kaos dalam berwarna putih membalut tubuh atletis Ragil yang kemudian dilapisi dengan seragam sekolahnya. Sengaja baju sekolahnya tidak dimasukkan ke dalam celana dengan rapi.

Sesaat setelahnya Ragil sudah bersiap diri untuk berangkat ke sekolah. Hufft.. untunglah seminggu ini mereka tidak belajar hanya saja tetap harus membawa buku pelajaran dan datang seperti biasanya.

Ragil langsung menunggani motor yang terparkir di teras rumahnya, dengan memakai helm dan menyalakan mesin Ragil melesat meninggalkan serambi rumah. Dengan kecepatan tinggi dia membelah banyaknya kendaraan di jalanan ibu kota pagi ini.

Motornya berbelok ke kiri untuk mengambil jalan pintas. Sampai pada akhirnya dia harus ngerem mendadak. Hampir saja ia menabrak seseorang yang nyelonong menyebrangi jalanan yang tak terlampau ramai itu.

"Woi! Nyante dong kalo bawa motor! Gak liat apa orang mau nyebrang!" Cewek itu membentak Ragil dan berkacak pinggang. Helm yang melindungi kepala dan menutupi wajahnya itu dilepasnya dengan kerutan yang mendalam di dahinya terpatri.

"Ha? Apa? Gak salah? Lo duluan yang nyebrang seenak jidat. Kaya jalanan punya lo sendiri." Ragil berbicara dengan nada setenang mungkin yang ia bisa, tapi tampaknya lawan bicaranya ini tak terima dengan sanggahan Ragil barusan.

Raut mukanya menatap Ragil dengan bengis bersiap untuk mencakar-cakar muka cowok menawan yang satu ini. "Anjir! Songong ya lo!" sunggut cewek itu membuat Ragil menggelengkan kepala sebentar.

Oh ayolah, Ragil tak ingin melawan cewek.

"Oke, gue minta maaf." Berikutnya kembali Ragil memakai helm dan hendak meninggalkan cewek itu tapi sebelum kemudian dia dihadang dengan orang yang sama yang merentangkan tangannya seolah tak mengijinkan Ragil pergi begitu saja.

"Lo boleh pergi setelah anter gue ke sekolah. Anggap aja ini sebagai bentuk konkret permintaan maaf lo ke gue." Ia terhenyak sesaat sebelum tersadarkan dengan seragam gadis itu. Itu seragam milik SMA Rajawali. Pandangannya menelisik gadis di hadapannya dari balik kaca helm.

Tanpa aba-aba dan tanpa persetujuan sekalipun cewek itu langsung naik di jok belakang dan memerintahkan dirinya tancap gas. Tak ingin berurusan lama-lama dengan cewek ini Ragil memilih mengantarkannya ke SMA Rajawali.

Walaupun ia yakin pasti akan ada konsekuensi di balik tindakannya.

Selama di perjalanan gadis iti terus mengomel bagi Ragil omelannya hanyalah suara radio rusak yang menghasilkan racauan tak jelas. Dia membiarkan gadis itu mengomel sendirian saat ini pikirannya berisi perkiraan konsekuensi apa yang akan dia dapatkan kedepannya.

"Woi!" Pundak Ragil di tepuk dengan kerasnya. Siapa lagi pelakunya jika bukan gadis itu. Seharusnya Ragil sudah sampai di sekolah sekarang, malah dia harus memperlambat kedatangannya ke sekolah dengan mengantarkan cewek gak jelas ini.

"Gue nanya nama lo siapa, anying. Ngartis banget lo diemin gue," cerocos gadis itu, Ragil menghela napas jengah dengan tingkah bar-bar cewek ini. Sayang sekali, cantik-cantik bar-bar.

"Ragil." Sedikit memiringkan kepalanya dia bersuara agak kencang, takut-takut kalau cewek bar-bar ini bercerocos tak jelas hanya karena namanya yang tak terdengar jelas.

Berikutnya motor Ragil berhenti tepat di depan gerbang SMA Rajawali, sekolah dari cewek bar-bar ini. Berbagai tatapan di layangkan pada Ragil dari beberapa murid yang melintas di sekitar mereka. Ragil tahu betul apa masalahnya.

Cewek bar-bar ini turun dan mendekat ke Ragil. "Gue Adila. Makasih lo udah nganterin gue ke sekolah. Sorry juga tadi bentak-bentak lo." Yang hanya dijawab deheman oleh Ragil membuat Adila terpelongo tak percaya. Tanpa basa-basi lebih banyak Ragil meninggalkan sekitaran sekolah Rajawali.

Anjir, manusia apaan tuh? Kloningan triplek kali ya, batin Adila.

Sekolah barunya sudah menanti seolah melambai-lambai, Adila melangkah masuk ke dalam dan mencari ruang kepala sekolahnya daripada pusing memikirkan kloningan triplek berwujud manusia itu.

***

"Lama bener lo datang." Bintang yang duduk dengan kaki bertumpu di atas mejanya berujar dengan tangan dan mata yang sibuk pada handphone. Pastilah dia bermain game online yang banyak digandrungi kalangan anak muda saat ini. Yup, mobile legend.

Acara pertandingan belum di mulai setibanya Ragil sampai di sekolah. Kelasnya sudah ramai dengan tas teman sekelasnya, beberapa penghuni kursi tak menampakkan batang hidungnya kemungkinan mereka di kantin atau mengambil posisi menonton di sekitar area pertandingan.

Kaki panjang itu berjalan santai menuju kursi miliknya yang terletak di barisan paling belakang. "Dari rumahlah mau ke sini," katanya setelah mendudukkan bokongnya.

Beberapa menit setelah mereka dalam keheningan, Fajar buka suara. "Turun kuy, semenit lagi acaranya mulai." Fajar melihat sebentar arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Matanya mengedar menatap Ragil, Genta, Rizky dan Bintang.

"Kuylah, untung udah menang gue." Kaki yang berselonjor di atas meja itu sudah menapak lantai keramik sembari menyimpan handphonenya di saku celana. Genta yang bangkit dari duduknya membenarkan sedikit bajunya yang terlihat berantakan. Sementara Rizky sibuk menghabiskan cemilan di tangannya.

"Tinggalin aja si Rizky." Ragil berkelakar sambil mendorong teman-temannya yang lain untuk keluar dengan cepat, Rizky buru-buru membuang sampah-sampah plastik itu dan menyusul sahabatnya yang menjauh.

"Yang tanding hari ini ganda putra sama voli putra kan?" tanya Ragil pada keempat orang itu. Mereka hanya manggut-manggut berikutnya mendapat geplakan satu per satu dari Ragil. "Punya mulut di pake." Mereka mengambil tempat biasa seperti sebelum-sebelumnya.

Kesialan entah mengapa menghampiri Genta pagi ini. Bintang menyerukan nama Dwi yang tak jauh dari mereka bersama dengan teman-temannya yang lain. "Sini!" Pekik Fajar sambil mengayunkan tangannya pada Dwi.

Ketiga orang itu menghampiri Fajar yang duduk di sebelah Ragil. Mereka di pandangi dengan senyum arti oleh Rizky, Fajar dan Bintang, sementara Ragil bersikap biasa saja. Genta duduk menegang kala tau apa maksud dan tujuan teman-temannya itu.

"Itu, duduk di sebelah Genta, masih ada ruang kosong tuh. Daripada kalian nyari-nyari tempat lagi mendingan dekat sama kita aja."

Demi apa, kini Ayunda dan Faza tengah menahan teriakan mereka. Akhirnya mereka bisa menatap cowok-cowok rupawan ini dari dekat, terlebih lagi disuruh duduk dekat dengan mereka. Rasanya Ayunda dan Faza ingin memberitahukan pada dunia saat ini juga.

Jika kedua cewek itu menahan pekikan senangnya lain lagi dengan Dwi yang bersikap biasa saja sebab dari awal dia tak begitu mengagumi kelima sosok rupawan ini. Dia duduk tepat di sebelah kiri Genta setelah mengucapkan terimakasih dan menyunggingkan senyuman pada Fajar. Di sebelah kirinya duduk Ayunda dan Faza yang masih kegirangan, tapi Dwi tetap tak acuh pada mereka.

Percayalah, Genta sekarang menegang seperti batu berulang kali dia merubah gestur duduknya hingga menarik intensitas cewek di sebelahnya. Sumpah serapah terus menggema di dalam hatinya. Untuk siapa lagi kalau bukan sahabat tercintanya, Fajar.

"Lo kenapa?" Satu pertanyaan dan dua kata mampu membuat Genta tersentak. Tampak cowok itu begitu gelagapan harus memberi reaksi seperti apa. Lain hal dengan empat cowok di sebelah kanannya yang cekikikan bersama.

"Ng-nggak, gue gak kenapa-kenapa." Genta kikuk menjawabnya dengan senyuman yang terpaksa dibuat agar tampak meyakinkan. Tengkuknya yang sekarang terasa gatal menambah kesan kalau dia aneh.

"Okay." Pandangan cewek berkuncir belakang itu kembali pada pertandingan di hadapannya yang memancing banyak sorakan penonton. Genta menghela napas berat dan mendelik pada empat orang lainnya.

Begitu berbalik dia tak mendapati cewek berkuncir itu di sebelahnya, matanya menyisiri area sekitar mencari keberadaan wujud itu. "Dia pergi tadi." Cewek yang berada di sebelahnya berujar seolah mampu membaca pikiran Genta.

Bahu cowok itu sedikit merosot dan raut wajahnya tampak melesu. Semangat dan rasa tegangnya mendadak menghilang entah kemana. Semenit kemudian sebotol minuman ada di hadapannya. Botol itu disodorkan oleh orang yang dicarinya.

Mata cewek itu menatap Genta lekat. "Ini buat lo. Gratis, tenang aja. Anggap bentuk terimakasih gue kemarin lo udah anter gue sampe rumah dan nolongin gue waktu di jalan," terang gadis itu.

Spontan tangan kanan itu tergerak mengambilnya tanpa sadar. "Ma-makasih Wi." Seulas senyum manis terbit di bibir Dwi dan membuat Genta malah tambah kikuk. Plis jangan tanya gimana empat orang di sebelah kanan Genta.

Mereka kembali fokus pada pertandingan bulu tangkis ganda putra hari ini. Harusnya begitu jika saja jantung milik cowok itu tak berdemontrasi dengan kencangnya. Tidak, pikirannya sudah tidak pada pertandingan tapi pada jantungnya yang takut-takut akan membuatnya terkena serangan jantung.

***

Kini gadis itu berjalan ke kantin bersama teman-teman barunya. Mereka berempat mengundang perhatian pasang mata. Dari depan, kantin tampak penuh dengan murid yang menabung begitu membludak.

Ricuhnya pun sudah seperti mengalahkan hajatan orang-orang. Jika ingin berbicara harus sedikit berteriak agar dapat dijangkau pendengaran. Baiklah, setidaknya ada tempat kosong untuk keempat orang itu duduki.

Di sudut kantin itu banyak sekali anak-anak nakal yang tertawa. Duduk di atas meja, atau menumpukan kakinya ke atas. Seperti di rumah sendiri. Tapi satu sosok begitu melekat di mata cewek baru itu, seperti ada magnet yang menguar dari tubuh sosok itu. Sehingga tanpa sadar tiga temannya memperhatikan arah pandang cewek itu.

"Woi!" Temannya yang berkacamata sedikit tomboy menggebrak meja hingga membuat botol-botol di atasnya terguncang. Jantung cewek baru itu siap mencelos kapan saja.

"Anjing! Ngagetin aja lo!" sunggutnya tak lupa pelototan matanya yang menatap garang.

"Ya siapa suruh ngelamun. Udah gak jamannya ngelamun-ngelamun." Gadis berkacamata itu tak terima dengan temannya dan memberi sanggahan balik.

"Tau nih bocah." Temannya yang lain ikut menimpali. "Liatin apaan sih lo?" Tiga temannya itu kembali memandang kearah gerombolan murid di pojokan kantin.

"Dia siapa?" Gadis itu menunjuk cowok yang dimaksudnya dengan dagu dan sorot matanya.

"Dia Devan." Temannya yang berkacamata itu menjawab sekenanya dan mengaduk-aduk jus mangga di hadapannya. "Gak usah dekat-dekat dia. Bad boy tuh."

"Seru dong kalo gitu." Ucapannya barusan mengundang tanda tanya di pikiran tiga temannya. Sepertinya mereka tahu apa maksud dari ucapan teman baru mereka ini.

"Jangan bilang lo mau deketin dia, Dil." Temannya yang bersurai panjang tergerai dengan kulit putih, berperangai lembut, buka suara setelah lama menyimak dengan seksama. Kini tiga pasang mata itu mendesaknya memberi jawaban.

"Iya." Sontak saja mata cewek berperangai lembut itu mencuat ingin keluar dan temannya yang berkaca mata tersedak oleh jus mangganya. Lain dengan temannya yang satu lagi, dia seolah-olah pingsan di bahu cewek bersurai panjang itu.

"Yang bener aja anjing!"

"Apa sih Naz?! Gue kawinin sama anjing mampus lo!" Adila memegang telinganya yang sedikit berdengung karena teriakan Nazla di sampingnya. Dari sini Adila menyimpulkan bahwa dia harus memakai earphone jika dekat dengan Nazla. Adila masih sayang dengan gendang telinganya.

Beberapa orang bahkan menatap mereka yang ribut dengan pandangan terusik. Hei, ini kantin bukan perpustakaan, tak ada larangan keep silent di kantin ini. Jika kau ke perpustakaan barulah harus diam layaknya patung. Jadi, sah-sah saja jika berteriak di tempat ini.

Jeda sejenak, seorang cewek menghampiri mereka dan mendudukkan bokongnya di hadapan Adila bersampingan dengan Anindira—gadis bersurai panjang. Melihat gelagat teman-temannya yang aneh cewek itu mengerutkan dahinya. "Ada apa sih?"

"Noh, teman lo suka sama Devan. Yang bener aja kali, mau nyari mati sama Devan? Nggi, kasih saran tuh bocah." Nabila, cewek yang duduk di sisi lain Anindira menjawab. Sepintas bola matanya berputar malas.

Anggi, gadis yang baru saja menginjakkan kakinya ke kantin ikut menatap dimana sosok Devan berada. Pandangannya mengunci Adila yang sama menatapnya. "Ya perjuanginlah goblok. Siapa tau luluh."

Nazla, Anindira, dan Nabila melengos tak percaya. Sepertinya mereka salah orang untuk menasihati gadis bernama Adila ini. Mereka lupa mengingat Anggi akan memperjuangkan apa yang sudah dia sukai. Oke, disini merekalah yang salah.

"Terserah deh, selama lo gak di sakitin sama mereka kami cuman bisa dukung aja." Finally, Nazla menyerah pada pendirian sebelumnya, dimana dia tak menyetujui Adila akan mengejar-ngejar Devan nantinya. Nabila dan Anindira menghela napas lemah dan bahu keduabya merosot begitu saja. Mereka pun manggut-manggut bersama.

"Kalo tuh cowok nyakitin lo, bilang ke kita biar si Nazla yang hajar dia sampai babak belur." Anggi berkata dengan serius bergantian menatap Nazla meminta persetujuan. Deheman singkat pertanda setuju diberikan Nazla yang tengah meminum jusnya itu.

"Betul!" Anindira menjentikkan kedua jarinya dan tersenyum manis. "Gue sependapat."

Sementara itu di tempat lain, telinga orang itu merasa panas sekali hingga memerah. Anjir, siapa yang nyeritain gue nih, batinnya.

***

Langit sudah menggelap, tanpa purnama yang menonjol terang di langit. Malam itu jalanan ramai dengan anak-anak muda. Beberapa motor terparkir acak dekat mereka.

"Gimana, Gil? Udah siap lo?" Genta, sepupunya, menepuk pundaknya memberi semangat. Ragil mengangguk dibalik helm hitam dan mengacungkan jempolnya. Fajar, Rizky dan Bintang mengelilinginya yang sudah bersiap di garis start

"Hati-hati." Fajar bersuara dengan khawatir. Semoga Ragil baik-baik saja menghadapi tantangan musuh mereka ini.

Jalanan dipenuhi dengan anggota gebg dari dua kubu ini. The Dark dan The Blues. Sudah ku bilangkan jika The Blues ini geng dari segala geng yang ada di sekolahnya, tapi sebenarnya koneksi mereka lebih luas daripada SMA Cendrawasih.

Beberapa meter di sebelah kiri Ragil lawannya sudah siap untuk mengalahkan dirinya. Bersama komplotannya mereka memandang remeh The Blues. Diantara mereka seperti ada sengatan listrik yang menjalar.

Seorang gadis berdiri di depan mereka. Tangannya memegang kain monocrome sekitar 30cm×30cm. Gadis itu mulai menghitung mundur sebelum kemudian kain itu di lempar ke atas berbarengan dengan melesatnya dua orang itu.

Sorakan anak buah mereka begitu kuat sesaat. Tapi, Fajar, Bintang, Rizky, dan Genta harap-harap cemas dengan Ragil. Mereka tahu bagaimana liciknya seorang Devri. Bagaimanapun itu mereka harus yakin dengan kemampuan Ragil yang lihai dengan balap liar seperti ini.

Meninggalkan keempat sahabat itu, baik Ragil maupun Devri bersaing di atas kendaraan beroda dua. Sesekali saling beradu pandang untuk membaca siasat satu sama lainnya. Pada akhirnya motor Ragil yang memimpin perlombaan liar kali ini. Tak ingin kalah, Devri pun menaikkan kecepatannya untuk menyaingi Ragil yang berada di depannya.

Riuhnya penonton malam itu semakin heboh tatkala motor Ragil dan Devri perlahan-lahan menampakkan wujudnya sedikit demi sedikit. Lamnat laun, kedua motor itu semakin mendekat dan pada akhirnya motor besar dengan pemilik bernama Ragil Pamungkas adalah pemenangnya.

Cowok berjaket itu turun dari motornya lalu melepaskan helm hitamnya, langkahnya tertuju pada lawan yang menatapnya tajam dari atas motornya. Devri menatap Ragil dengan begitu bengisnya.

"Udah kalah," kata Ragil dengan dinginnya.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience