Bagas terlahir dari keluarga yang tidak miskin dan juga bukan yang sangat kaya. Meskipun lebih dari standar menengah. Masa remajanya tergolong bandel. Dan tidak seorang pun bisa menegurnya sampai saat ayahnya meninggal dunia di usianya menginjak dewasa. Sedangkan ibunya entah berada dimana. Setidaknya itu cerita Paman. Nasib kurang baik juga menimpa Bagas. Hanya dirinya dari tiga bersaudara yang tidak mulus dalam karier. Mungkin karena kuliahnya sempat berpindah pindah jurusan meski akhirnya lulus dengan nilai memuaskan. Namun ada satu kemampuan yang sangat menonjol dalam dirinya. Bagas mampu berbahasa asing dengan sangat baik. Bahkan empat bahasa sekaligus. Itu yang membuat Paman Nugroho sayang padanya.
Tetapi sayang jalan jodohnya pun tidak cukup hanya satu kali. Seolah hidupnya di masa muda memang rumit. Namun di satu sisi dia adalah sosok paling good looking dalam keluarganya yang memiliki tiga bersaudara. Dan juga yang paling jarang sakit.
Ayahnya sudah meninggal saat ia berusia sepuluh tahun. Atau sekitar SD kelas empat. Oleh karena kakek Bagas adalah pemilik perusahaan spare part, ia pun membagi saham PT nya untuk lima orang penerima hak perusahaan termasuk bagian ayahnya yang diberikan untuk Bagas dan kedua saudaranya, namun karena saat itu Bagas masih sangat muda, maka Pamannyalah yang beroperasi mewakili pemilik dari bagian ayahnya. Sulit sekali mengajak Bagas untuk terlibat dalam kegiatan usaha papanya.
Pamannya harus mengancam dulu baru anak itu mau turun tangan.
POV Bagas
"Paman, aku gak mau pimpin pabrik. Barusan juga lulus, kan aku mau kerja di luar negeri. Malas kali kalau harus kerja di Indonesia setelah lulus kuliah. Gak seru Paman. Gengsi juga kaann.... " jawab Bagas dengan wajah ditekuk tatkala Pamannya meminta untuk langsung ke Sukabumi. Maklum Pamannya sudah sering sakit sakitan dan butuh waktu untuk berobat. Padahal pengobatan terbaik khusus penyakitnya memang mestinya keluar negeri. Sementara akan bermasalah manakala perusahaan tidak ada pengawasan. 700 karyawan tidak sedikit. Harus sungguh sungguh dipantau.
"Intinya Paman minta kamu Bagas, atau kakakmu, bantu Paman dulu untuk mewakili disana. Karena ada saham ayah kalian juga. "
Paman Nugroho nampak sedih.
"Itu perusahaan sudah punya nilai Gas. Kalau kamu gak bersedia bekerja keras, untuk apa dipelihara juga. Itu Paman pertahankan buat kalian, Bagas!!! Untuk kehidupan kalian dan anak anak kalian di masa depan. Lagipula Paman juga sudah ada jaga jaga untuk pensiun. Yakin kamu gak butuh buat anak cucumu? " Bagas terlihat berpikir. Sebetulnya ia bukan karena gak mau. Tapi selesai kuliah yang terlambat, alias disayang dosen, sejujurnya ia ingin cari pengalaman dulu dan gak langsung kerja secara professional. Lagipula dia sudah ingin menikah dengan Sofia, pacarnya.
Bagas pun berembug dengan kakaknya. Sebetulnya Eko, sebagai kakak tertua Bagas, keberatan karena ia juga punya mertua yang perusahaannya juga diminta Eko yang memimpin. Tapi setelah diajak bicara lebih serius dan dari hati ke hati, akhirnya kakaknya bersedia untuk hadir dalam internal manajemen mewakili keluarga lebih dulu. Tepat di saat itu Bagas baru saja diterima di sebuah perusahaan minyak di luar negeri. Meskipun nampaknya tidak mungkin tetapi karena kemampuan bahasa yang dimiliki oleh Bagas, perusahaan punya pertimbangan lain. Namun melihat potensi persaingan bekerja disana, ditunjukkan adanya test secara langsung, Bagas ingin berangkat sebelumnya dan lagipula sistem seleksi yang tidak mudah, ia pun mencari cara, berjuang supaya bisa mendahulukan kerja di perusahaan tersebut. Bagas akan melakukan apa saja agar ia bisa memulai karirnya dengan start awal yang baik, serta cemerlang di kemudian hari. Dan itu yang ia bicarakan dengan Pamannya.
"Paman, bisakah Eko diberikan tugas selama lima tahun pertama? Please Paman aku tidak mau melewatkan kesempatan bekerja di perusahaan bonafide di luar negeri."
Paman Nugroho tampak mengangguk angguk mencermati kata kata Bagas. "Bagas, jujur Paman sangat bangga padamu karena bisa diterima di salah satu perusahaan besar dunia. Bahkan masuk lima besar dunia. Nanti coba Paman akan bujuk kakakmu, ya"
Paman menepuk pundakku saat aku selesai makan siang bersama sekaligus membicarakan soal karirku. Sekaligus aku memberitahu Paman karena memang ia adalah wakil dari orang tuaku, bahwa sebelum berangkat, aku sudah rencanakan untuk melamar Sofia. Agar kelak saat ia bekerja aku sudah punya rumah tangga yang menjadi tujuan hidup bersama keluarga tercinta.
Paman yang memberikan update informasi, dengan melalui diskusi panjang lebar, akhirnya Eko bersedia menggantikan aku selama lima tahun, namun harus dibantu managing director, otomatis akan mengurangi budget pembagian kami. Buatku itu gak ada masalah, hal ini sebetulnya karena Eko juga keberatan karena ia sudah harus memimpin perusahaan mertuanya. Tapi dia bersedia membantu aku, adiknya untuk terjun langsung asalkan aku pada tahun kelima betul bisa memegang sendiri pabrik tersebut. Aku pun menyanggupi karena aku pikir suatu ketika nanti pikiran Eko bisa berubah. Apalagi karena tahu bahwa keuntungan pabrik spare part kami sebetulnya sangat luar biasa.
Seperti yang aku sampaikan pada Paman, acara lamaran berlanjut nikahan akan dipastikan terlaksana setelah aku diterima bekerja di Dubai. Dan aku harap semua rencana berjalan lancar.
Hari itu aku sudah siap menikahi Sofia. Tabunganku selama sepuluh tahun bekerja serabutan sambil kuliah menyelamatkan aku hari ini. Tentu saja termasuk belajar membeli saham terbaik perusahaan go public. Tanpa itu aku tak punya biaya nikah sebesar itu. Paman Nugroho aja takjub karena pernikahan aku termasuk mewah. Padahal tak ada seorangpun membiayai hidupku. Ayah yang sudah berpulang membuat aku sadar bahwa tidak ada lagi yang bisa menolongku kecuali diriku sendiri. Tak apa aku lulus molor dari waktu seharusnya, tapi semua rencana setelah itu jadi lancar. Alhamdulillah. Doa syukurku pada Yang Kuasa.
Aku bahagia bersanding dengan Sofia. Wanita selembut Sofia memang nampak biasa saja namun ia sangat memahami aku. Tak pernah protes dengan apa yang kulakukan. Aku berharap tak pernah mengecewakannya.
Kami berdua berada di depan bapak penghulu yang berdampingan dengan Om Hatman, Papinya Sofia. Sementara Tante Niken, calon mama mertuaku dan adik perempuanku, Mulia berada di tempat duduk para ibu namun mereka berada paling depan. Sedangkan kakak ku, Eko Pratomo Dirgantara, berada di samping kananku siku menyiku denganku karena ia sebagai saksi.
"Saya terima nikah dan kawinnya Siti Sofia binti Hatman Wiranata dengan mas kawin tersebut tunai. " aku mengucap kata kata itu dengan tegas dan tanpa ragu.
"Saaahhhhh" semua orang serentak menyambut peresmian pernikahanku.
Sofia menyambut tanganku dan mencium punggungnya. Aku merapatkan jarak meski tidak sampai berpelukan untuk mencium keningnya. Setelah itu aku memasang cincin emas putih 20 karat bertahtakan berlian 2 karat yang aku pesan sebulan yang lalu, di jari manis istriku. Sofia nampak cantik karena aura kebahagiaan yang terpancar dari wajahnya. Kemudian sebaliknya, Sofia memasangkan cincinnya untukku.
Kami pun berfoto bersama sambil membawa surat nikah masing masing.
Ceklek..... Ceklek...... Ceklek..... Dan sampai beberapa jam ke depan suara kamera terusss saja mengabadikan momen bahagia kami saat itu.
Malam pertama kami terlewati dengan tidur bersebelahan di hotel bintang lima yang aku sewa saat itu. Bener bener tidur semua. Karena kita terlalu lelah. Lagipula senakal nakalnya aku, aku belum pernah sampai membuat Sofia lepas segel. Kami sama sama masih gress. Belum ternoda sedikit pun kalau soal itu. Karena aku tahu dan sangat menjaga agar tidak berdosa besar juga.
Baru hari ketiga semua lebih tenang ketika tubuh juga sudah mulai bisa ditolerir, aku mencumbu gadis itu yang juga nampak tidak sabar. Kami bersatu menyongsong masa depan yang indah. Aku pikir cintaku hanya untuk Sofia. Karena aku tak pernah berpaling. Berpikir ke yang lain pun tidak. Bekerja di Dubai pun rasanya sedemikian happy karena aku ditemani Sofia. Kebetulan perusahaan memberikan fasilitas luar biasa bagi posisi aku disana. Memang sih mungkin secara ilmu penguasaan teknis aku tidak terlalu baik, namun aku mampu menguasai bahasa Inggris, bahas Arab, bahasa Perancis, bahasa Jerman serta bahasa Mandarin dengan baik dan cukup komunikatif. Mungkin itu sebabnya aku diterima bekerja.
Mess yang diberikan perusahaan pada kami adalah sebuah apartment kelas menengah yang memiliki view laut, pemandangan ke selat Dubai yang begitu indah saat malam tiba.
Berada di sisi Sofia saat malam hari sepulang bekerja dan duduk di teras apartemen kami di lantai 22 buatku adalah sebuah kebahagiaan maksimum. Rasa syukurku atas semua yang diberikan Allah karena aku mampu melewati semua ujian hidupku.
Di suatu sore aku berbincang dengan Sofia, "Hon, terimakasih ya kamu bersedia aku ajak kesini menemaniku, "
"Kan diajak jalan jalan," jawab Sofia genit. Langsung aku cubit tangannya. Dan kami berdua terkikik bersama.
"Tapi kamu nyaman kan tinggal disini ?" tanyaku lagi.
"Kamu mau aku jujur atau basa basi? " tanya Sofia lagi sambil terkekeh.
"Jujur dong..... Kalau kamu gak jujur sama suami sendiri nanti jujur sama orang lain kan syulit jadinya.... " aku pura pura cemberut.
Sofia makin terkekeh melihatku manyun. "Suamiku sayang, aku sih kemana aja asal ada kamu, sama kamu, buatku gak ada masalah. Nyaman nyaman aja. Tapi kalau kamu tanya ya.... Ini dari hati kecil aku," Sofia berhenti sesaat memandang arah laut dengan batas pulau di ujung cakrawala, "aku ingin suatu saat bisa membeli rumah yang luas di tengah kota Jakarta dan di halaman belakang ada taman serta kolam ikan. " Berkata demikian Sofia berbinar binar matanya menatapku sambil menyunggingkan senyum manisnya.
Aku pun tersenyum melihatnya. "Inshallah mimpi kita bisa terwujud, Hon" sejurus kita saling berpandangan dan melempar senyum, kemudian kita sama sama melempar arah mata ke laut lagi yang sore itu sedemikian indahnya dihiasi semburat cahaya jingga menutup hari mengiringi mentari menuju peraduannya.
Aku memang bucin kalau sudah disamping Sofia. Apapun akan aku lakukan untuknya. Ada banyak hal yang ingin kuwujudkan demi kebahagiaannya. Dari Dubai ini aku bisa menabung untuk membeli rumah nanti di Jakarta sekaligus untuk mengatasi pengeluaran sehari hari. Bukankah kalau kita mampu mengatur financial secara baik akhirnya kita bisa meraih yang kita inginkan.
Prinsipku yang juga diikuti prinsip Sofia itu menjadikan kami pasangan yang cukup irit, hemat dan hati hati meskipun tidak harus dengan frugal living. Namun kami tetap mampu menikmati hidup dengan baik. Namun sayangnya harapan tidak selalu sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya.
Halooo support aku ya, bantu up ceritanya. Sementara belum dikontrak oleh pihak manapun. Original tulisanku sendiri.
Share this novel