BAB 1 : Reboot

Thriller Series 9

Lampu-lampu kota memantul di jendela apartemen lantai empat yang usang. Bangunan itu sepi. Dindingnya berjamur, lift-nya rusak, dan lorongnya bau debu terbakar. Tapi itulah yang dia butuhkan. Tempat tanpa nama. Tanpa perhatian.

Layar komputer menyala dalam kegelapan. Warna ungu dari LED dalam casing transparan memantul ke dinding. Kabel menjulur ke mana-mana; sebagian digulung rapi, sebagian lagi menggantung seperti akar. Suara kipas pendingin berdengung pelan. Di tengah semua cahaya itu, duduk seseorang dengan hoodie gelap dan topeng aneh.

Topengnya tidak berbentuk wajah manusia. Polanya geometris, seperti topeng suku kuno yang digabungkan dengan estetika neon. Di bagian mata, dua garis ungu menyala. Tidak ada mulut. Tidak ada ekspresi. Tapi seluruh tubuhnya berbicara satu hal: jangan dekati aku.

Tangannya menari di atas keyboard mekanikal. Suara ketikannya cepat dan presisi. Layar utama menampilkan baris kode yang terus bergerak. Di pojok kiri bawah, ada teks kecil berkedip.

> Sanity.exe: initializing...

Dia berhenti mengetik. Menatap teks itu tanpa berkata apa pun. Cahaya dari monitor menyinari topengnya, memantulkan bayangan aneh di dinding. Tangannya bergerak lagi, kali ini pelan.

Dia membuka direktori utama sistem. Program itu tidak ada sebelumnya. Bukan buatan dia. Tidak ada jejak penginstalan. Tidak ada file pendukung. Hanya muncul begitu saja.

Dia membuka terminal. Mengetik perintah untuk membaca isi kode.

> Access Denied.

Dia mengetik ulang.

> Access Denied.

Lagi.

> TRACE INITIATED.

Dia menarik napas. Perlahan. Dalam.

Lalu mematikan koneksi. Semua jaringan dia potong dalam waktu lima detik. Firewall naik seperti dinding baja. Tapi di sudut layar, kata-kata itu terus berkedip.

> TRACE COMPLETE.

Dia berdiri. Kursinya bergeser ke belakang. Di dalam topeng itu, matanya tidak berkedip. Dia tahu protokolnya. Siapapun yang bisa menanam program tanpa izin, dan memicu trace balik secepat itu, bukan orang biasa.

Dia membuka lemari besi kecil di bawah meja. Mengambil hard drive eksternal yang sudah terenkripsi berlapis. Memasangnya ke sistem dan menyalin seluruh struktur kode dari Sanity.exe.

Tangannya gemetar sedikit.

Tidak karena takut.

Karena rasa penasaran.

"Siapa kamu," gumamnya. Suaranya terdistorsi oleh modul suara dalam topeng. "Kenapa pakai nama itu."

Dia ingat betul. Tujuh tahun lalu, sebelum semua ini dimulai, kata itu punya arti. Sanity. Kewarasan. Sesuatu yang pernah dia miliki sebelum semuanya terbakar.

Ia mematikan semua perangkat. Cabut satu per satu kabel utama. Tarik laptop dari bawah meja dan beralih ke mode offline sepenuhnya. Tapi bahkan di layar laptop itu, Sanity.exe tetap muncul.

> I see you.

Dia memejamkan mata.

Terlambat. Program ini bukan hanya file. Ia adalah sesuatu yang jauh lebih dalam. Mungkin sudah jadi bagian dari sistem operasi. Mungkin lebih parah lagi: sudah masuk ke dalam pikirannya.

Suara ketukan dari jendela membuatnya berpaling. Ia cepat berdiri, menarik hoodie-nya lebih rapat. Tapi tak ada siapa pun di luar. Hanya bayangan refleksi dirinya sendiri. Bayangan dari seorang pria tanpa wajah.

Telepon burner-nya berdering. Ia ragu sejenak, lalu mengangkatnya.

"Zero."

Suara itu perempuan. Datar. Tidak dikenali. Tidak ada jeda nafas.

"Aku tahu kamu masih hidup."

Dia tidak menjawab.

"Aku tahu kamu nyari siapa yang nyuntik kode itu."

Dia menarik napas pelan.

"Aku juga nyari dia."

"Apa maumu," tanyanya pendek.

"Aku ingin kamu bantu buka file itu. Sanity.exe."

"Kenapa aku."

"Karena kamu satu-satunya yang bisa."

Sambungan mati.

Dia menatap layar. Sanity.exe tidak berkedip lagi. Hanya diam. Seolah menunggu sesuatu.

Dia membuka kembali drive eksternal. Menjalankan program itu dalam ruang virtual aman.

Programnya tidak mengandung virus. Tidak ada malware. Tapi saat dijalankan, ia membuka satu gambar.

Foto lama.

Rumah dengan cat biru pudar. Taman kecil. Dan seekor anjing hitam di teras.

Dia tidak bergerak selama beberapa detik.

Itu rumah masa kecilnya.

Tempat terakhir ia melihat adiknya sebelum semuanya terbakar.

Dia memukul meja. Sekeras mungkin. Suara keyboard terlempar menghantam dinding. Napasnya memburu. Tapi tidak ada yang keluar dari mulutnya.

Program itu tahu dia.

Tidak hanya tahu IP atau lokasi.

Tahu sejarah.

Tahu luka.

Tahu dia.

Telepon kembali berdering. Nomor berbeda. Dia tidak mengangkat.

Dia menutup semua sistem. Kembali duduk. Menyalakan satu monitor. Kali ini, dia membuka kamera pengawas di luar gedung. Tidak ada siapa-siapa.

Tapi dalam salah satu feed kamera, ia melihatnya.

Seseorang berdiri di atap gedung seberang. Pakai hoodie. Menghadap ke apartemennya. Dan memakai topeng yang sama.

Garis ungu di matanya menyala.

Dia berdiri perlahan. Satu tangan meraih tas hitam di bawah meja. Tas itu berisi satu hal: drive dengan semua rekaman hidupnya yang pernah ia enkripsi dan sembunyikan selama bertahun-tahun.

Dia tahu waktunya habis.

ZeroSanity telah bangkit.

Dan dia, entah masih manusia atau hanya bagian dari program yang gagal, harus tahu satu hal.

Siapa yang menulis ulang hidupnya.

Dan kenapa.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience