BAB 4 : Phantom Protocol

Thriller Series 9

Kota tidak pernah benar-benar tidur. Terutama ketika gelap membawa lebih dari sekadar keheningan. Di atap sebuah gedung apartemen yang terlupakan, Zero duduk bersila dengan laptop di pangkuannya. Di sekelilingnya, hanya suara angin yang menyentuh antena dan kabel-kabel tua. Cahaya dari monitor laptopnya berkedip lembut seperti jantung buatan.

Ia sudah menelusuri semua metadata dari file Project_Origin.vault. Video Sarah bukan satu-satunya rekaman. Ada log akses, transkrip eksperimen, dan satu dokumen dengan judul misterius: Phantom Protocol.

“Protokol ini dikunci oleh dua lapis otorisasi,” gumamnya. “Dan hanya satu nama yang muncul sebagai pembuka utama.”

Ia mengetik cepat.

Nama itu: Dr. Elroy Kane.

Sebuah legenda urban di dunia bawah tanah teknologi. Dulu, Kane dikenal sebagai ilmuwan jenius yang mengembangkan teknologi neural-link sebelum menghilang. Banyak yang percaya dia mati dalam ledakan lab bawah tanah. Tapi beberapa percaya dia tidak pernah pergi. Ia hanya berpindah dari dunia nyata ke jaringan bayangan.

Zero menyimpan semua data dalam drive terpisah. Lalu, dengan gerakan halus, ia membuka jaringan phantom miliknya.

Phantom adalah jaringan dalam jaringan. Lapisan tersembunyi yang tidak bisa diakses oleh perangkat biasa. Hanya mereka yang memiliki fingerprint unik dan kode cryptex bisa masuk. Di sinilah para penyintas digital, sisa-sisa para genius yang menolak dunia nyata, bersembunyi.

Zero terhubung ke satu node: Oblivion Gate.

Tiba-tiba layar berubah menjadi visualisasi ruang 3D seperti katedral gelap. Di tengah ruangan maya, avatar berkepala burung hantu muncul.

Namanya: Archivist.

“ZeroSanity,” suara itu datar dan dingin, “kamu membawa jejak Kane bersamamu.”

“Aku butuh akses ke Phantom Protocol,” kata Zero.

“Kamu tidak siap.”

“Aku punya otorisasi primer. Kane menyisipkannya dalam file eksperimen.”

Archivist terdiam. Lalu ruangan itu mulai berubah. Katedral runtuh perlahan, berganti menjadi lorong-lorong dengan dinding kode-kode berjalan.

“Kalau kamu berhasil menembus pintu kedua, kamu akan tahu kenapa kami menyegel protokol itu.”

Zero tak menjawab. Ia hanya mengikuti jalan yang dibuka sistem. Dalam benaknya, pertanyaan-pertanyaan mulai menggunung. Kenapa adiknya masih hidup? Kenapa ingatannya dimanipulasi? Dan kenapa Kane memilih dirinya?

---

Di dunia nyata, jam menunjukkan pukul dua dini hari. Zero pindah ke lokasi yang lebih aman: bunker bawah tanah tersembunyi di pinggiran kota. Di dalamnya, sistem keamanan ditumpuk berlapis. Bahkan sinyal elektromagnetik tidak bisa keluar tanpa izin.

Ia duduk di depan rig utama. Empat layar besar menampilkan kode aktif. Zero menancapkan drive khusus. Seketika, program Phantom Protocol mulai membuka dirinya perlahan.

Isi file pertama mengejutkannya.

Subjek Alpha: Sarah.

Kode genetik telah dimodifikasi untuk menyambungkan otak manusia dengan sistem neural buatan. Proyek bertujuan menciptakan jembatan antara kesadaran manusia dan jaringan digital permanen.

Zero membaca ulang. Beberapa kalimat tercoret, tapi ia bisa mengisi celahnya. Proyek ini bukan hanya eksperimen. Ini adalah penciptaan bentuk hidup baru.

Bukan cyborg. Tapi kesadaran hybrid.

Gadis kecil itu... adiknya... diprogram untuk menjadi manusia pertama yang bisa hidup di dua dunia sekaligus.

Ia menatap nama satu file video: Awakening.mp4

Dibukanya. Kali ini, Sarah tampak lebih dewasa. Usianya mungkin 16. Matanya tampak lebih gelap. Di sekelilingnya, alat-alat medis dan kabel seperti gurita. Tapi ia tidak terlihat takut.

“Apakah aku masih manusia?” tanyanya pada seseorang yang tidak terlihat di layar.

Seseorang menjawab, suara pria, penuh tekanan.

“Kamu lebih dari manusia. Kamu adalah awal dari generasi baru. Dunia yang bisa memilih untuk tidak mati.”

Sarah menunduk. “Tapi aku tidak pernah meminta ini.”

Video berakhir.

Zero memejamkan mata. Rasa bersalah menyergapnya. Bukan karena dia membiarkan ini terjadi. Tapi karena dia bahkan tidak tahu.

“Aku janji, Sarah. Aku akan menemukanmu. Dan aku akan menghancurkan sistem yang memenjarakanmu.”

---

Pagi datang dengan lambat. Tapi kota tetap dingin dan kabur. Di sudut kafe kecil yang tidak pernah buka di siang hari, seorang wanita muda duduk menunggu. Rambutnya merah gelap. Jaket kulitnya retak oleh waktu. Di mejanya, dua ponsel dan satu kartu sim tak berlabel.

Namanya: Ivy.

Ia adalah penyusup sistem kelas atas. Tapi lebih dari itu, ia adalah satu-satunya orang yang tahu bagaimana menembus server GenCline tanpa membunyikan alarm.

Zero masuk diam-diam. Duduk di depannya. Tak ada sapaan. Tak ada formalitas.

“Aku butuh kamu pecahkan protokol ini,” katanya sambil meletakkan flash drive.

Ivy mengangkat alis.

“Sudah lima tahun kamu hilang dari peta. Sekarang kamu muncul, dan minta aku membobol salah satu sistem paling terkutuk di dunia digital?”

“Di dalamnya ada keluargaku.”

Ivy memandangnya lama. Lalu menghela napas.

“Kamu tahu kalau kita tembus, kita bukan hanya diburu. Kita dihapus. Sepenuhnya.”

“Aku tahu. Tapi kamu juga tahu, kita ini bukan bagian dari sistem.”

Ivy tersenyum miris. Ia masukkan drive ke tabletnya. Begitu file terbuka, ekspresinya berubah.

“Zero… ini…”

“Aku tahu.”

Ia menatap layar. Matanya tak lepas dari baris kode yang bergerak.

“Sarah hidup,” katanya lirih.

Ivy menatapnya, kali ini lebih serius.

“Kalau kita benar-benar bisa masuk ke pusat data Neurolab, kita bisa bawa dia keluar. Tapi itu artinya...”

“Kita harus masuk ke tempat yang bahkan hantu pun takut datang.”

---

Malam berikutnya, Zero dan Ivy berada di terowongan bawah tanah dekat fasilitas tua yang menjadi cangkang luar dari Neurolab Core Sector. Data menunjukkan, di bawah bangunan itu, ada server utama GenCline yang belum pernah tersentuh publik.

Ivy membuka peta digital.

“Kita turun lewat saluran limbah ini. Tiga menit ke ruang penghubung. Tapi setelah itu, aku tidak bisa jamin sinyal akan stabil.”

Zero mengenakan topengnya. Lampu ungu menyala redup. Di punggungnya, ia bawa alat pemecah enkripsi dan senjata elektromagnetik jarak dekat.

Mereka masuk diam-diam. Menyelinap di antara bayangan pipa-pipa berkarat dan dinding beton lembap. Tak ada kamera. Tak ada penjaga. Tapi itu justru lebih berbahaya.

Di ujung lorong, mereka menemukan satu pintu logam besar. Tidak ada tombol. Tidak ada panel. Tapi di sampingnya, ada lubang kecil berbentuk lingkaran.

Ivy mengeluarkan potongan logam dari saku. “Kunci ini bukan digital. Ini biometrik fusi. Dibuka lewat DNA.”

“Sarah punya akses?”

Ivy mengangguk.

“Dan kamu juga punya.”

Zero mengerutkan alis. Ivy menekankan jari ke alat itu. Seketika, pintu terbuka perlahan.

“Kamu dari awal tahu lebih banyak dari yang kamu bilang.”

Ivy menatapnya tenang.

“Aku bukan siapa-siapa kalau bukan karena proyek ini. Kita semua adalah bagian dari kebohongan besar. Tapi sekarang kita punya kesempatan membongkarnya.”

Zero mengangguk. Mereka masuk bersama.

---

Di dalamnya, ruangan putih penuh suara dengung halus. Deretan kapsul transparan berdiri berbaris. Di dalamnya, anak-anak, remaja, beberapa orang dewasa. Semua dalam kondisi hibernasi digital.

Ivy berjalan ke salah satu kapsul.

“Ini mereka. Subjek Delta, Omega, dan Theta.”

Zero berlari ke tengah ruangan. Dan di sanalah ia melihatnya.

Sarah.

Ia tampak seperti berusia tujuh belas tahun. Tubuhnya seolah tak tersentuh waktu. Wajahnya tenang. Tapi di matanya, masih ada sisa cahaya yang sama seperti di video.

“Sarah…” bisiknya. “Aku datang.”

Di belakangnya, layar raksasa menyala.

> Peringatan. Akses tidak sah terdeteksi.

> Protokol pembersihan sistem diaktifkan.

Ivy memandang ke layar. “Kita harus buka kapsulnya sekarang.”

Zero mengakses terminal. Tangannya gemetar, tapi presisi.

> Buka Akses Root?

Ia menekan enter.

> Mengaktifkan Phantom Protocol…

Lampu ruangan berubah menjadi merah. Suara sirine mulai berbunyi.

> Satu menit sebelum sistem reboot. Semua data akan dihapus. Termasuk kesadaran digital.

Zero memandang Ivy. “Buka kapsulnya!”

Ivy menarik tuas. Kapsul terbuka perlahan. Asap dingin menyembur keluar. Zero menangkap tubuh Sarah yang limbung.

Matanya terbuka perlahan.

“Kak…?”

Ia memeluknya.

“Aku di sini. Kamu aman.”

Tapi Ivy menatap ke arah lain.

“Zero…”

Dari lorong belakang, sosok berpakaian hitam muncul. Di tangannya, senjata berkilat. Tapi wajahnya… dikenal.

Wajah itu milik Zero.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience