Zero menatap sosok yang muncul dari lorong. Wajah itu membuat jantungnya berhenti sejenak. Sama persis. Garis rahang, sorot mata, bahkan luka samar di pelipis kiri. Seolah ia sedang bercermin. Tapi ini bukan pantulan. Ini nyata.
Pria itu melangkah maju. Langkahnya tenang, nyaris tanpa suara, meski sepatu hitamnya menjejak lantai baja.
“ZeroSanity,” katanya. Suaranya datar, hampir seperti rekaman yang diputar ulang. “Kau tak seharusnya ada di sini.”
Zero berdiri di depan Sarah yang masih lemah. Tangannya menggenggam erat alat pengacak sinyal yang tergantung di sabuknya. Ivy bergeser pelan ke samping, mata awas mengamati sekeliling.
“Apa kamu bagian dari mereka?” tanya Zero.
“Tidak.” Pria itu menunduk sedikit, lalu menatapnya dengan senyum kecil. “Aku adalah kamu. Versi yang mereka ciptakan untuk menggantikanmu.”
“Mustahil.”
“Setelah kau menghilang dari sistem, mereka butuh pengganti. Seseorang yang bisa menutupi jejakmu. Mereka mengkloning semua: data biometrik, kebiasaan, log aktivitas, bahkan gaya bicaramu. Aku adalah cermin dari kebohongan yang mereka buat.”
Zero melangkah maju. “Lalu kenapa kau di sini sekarang?”
“Aku diaktifkan ketika kau membuka Phantom Protocol. Sistem mengenalimu sebagai ancaman, tapi juga sebagai kunci. Maka mereka mengirim kunci lain untuk menguncimu.”
Suasana tegang membeku. Ivy menatap Zero, lalu beralih ke duplikatnya.
“Kita harus keluar dari sini sekarang,” katanya.
Zero mengangguk. Tapi sebelum mereka bergerak, duplikat Zero mengangkat senjatanya.
“Jika kalian mencoba kabur, sistem akan menghapus seluruh pusat data. Termasuk subjek yang kalian selamatkan.”
Sarah bersandar pada dinding, tubuhnya lemah, tapi matanya terbuka perlahan. Ia melihat dua kakaknya.
“Kenapa… ada dua?” bisiknya.
Zero menatap langsung ke arah duplikatnya. “Kamu bukan aku. Kamu cuma hasil salinan. Dan salinan tidak punya hak untuk memilih.”
Ia mengaktifkan alat pengacak sinyal. Seketika, gangguan elektromagnetik menyelimuti ruangan. Lampu berkedip. Sistem pusat bereaksi dengan cepat, mulai memblokir akses.
Duplikat itu bergerak. Tapi Ivy sudah lebih cepat. Ia menembakkan peluru EMP ke lantai, menciptakan ledakan kecil yang membuat semua sistem elektronik terganggu sesaat. Cukup untuk membuat duplikat itu goyah.
Zero menarik Sarah, menggendongnya di punggung. Ivy membuka jalur keluar melalui sistem cadangan.
“Aku kunci pintu belakang. Tiga menit, dan kita keluar dari jaringan ini.”
Mereka berlari menembus lorong, napas tercekat oleh ketegangan dan asap. Di belakang, suara sistem mengamuk seperti badai digital. Sirine meraung. Lampu darurat menyala berkedip merah.
Saat mereka mencapai pintu besi tua yang mereka lewati sebelumnya, Ivy mengeluarkan detonator kecil.
“Aku ledakkan jalur ini. Sistem tidak akan bisa mengikuti kita.”
Zero mengangguk. Sarah menggenggam pundaknya dengan lemah. “Kenapa… kita dikejar?”
Karena mereka tidak pernah berniat membiarkanmu hidup, pikir Zero. Tapi ia hanya berkata, “Karena kau terlalu berharga untuk mereka. Tapi lebih penting untukku.”
---
Mereka berhasil keluar dari kompleks itu. Di permukaan, udara malam menusuk tajam. Langit gelap, diselimuti kabut neon dari kota yang tak pernah benar-benar tidur.
Zero membawa Sarah ke kendaraan tempur modifikasi milik Ivy. Kendaraan itu seperti mobil biasa dari luar, tapi interiornya dipenuhi panel kendali dan layar pemantau.
Ivy menyalakan mesin, melaju melewati jalanan gelap yang dipenuhi kamera pengintai dan drone patroli.
“Ada satu tempat terakhir,” katanya. “Pusat lama Phantom di perbatasan Zona Abu-abu. Di sana, kita bisa reset semua identitas digital Sarah dan menyembunyikannya dari sistem.”
Zero duduk di kursi belakang, memegang tangan Sarah.
“Berapa lama sampai kita tiba?”
“Dua jam.”
Ia mengangguk. Dua jam mungkin cukup untuk menyusun ulang semua yang telah runtuh.
---
Saat kendaraan melewati batas kota, jalanan menjadi sunyi. Hanya pancaran lampu dari papan elektronik yang menemani.
Sarah akhirnya sadar penuh. Ia memandang Zero.
“Kamu… benar-benar kakakku?”
Zero tersenyum kecil.
“Aku harap begitu. Tapi kalau pun tidak, aku berjanji akan menjagamu. Apa pun yang terjadi.”
Ia terdiam sejenak. Lalu menatap keluar jendela.
“Aku tidak ingat semua. Kadang, hanya potongan-potongan. Kilasan cahaya. Suara ibu. Dan… kamu.”
Zero mengangguk pelan. “Itu sudah cukup.”
Ivy menatap dari kaca depan. “Kita hampir tiba.”
Namun tiba-tiba, sinyal terganggu. Panel digital mobil berkedip. Sebuah peringatan muncul di layar:
> Jaringan dibajak. Posisi terdeteksi.
Zero menggertakkan gigi. “Mereka menemukan kita.”
“Bagaimana mungkin? Aku sudah putuskan semua jalur trace.”
“Bukan trace biasa,” katanya. “Duplikatku mungkin masih hidup.”
Ivy menginjak pedal. Kecepatan mobil meningkat. Tapi dari udara, cahaya terang mendekat. Dua drone tempur meluncur dari langit, bersiap menembakkan peluru ke arah mereka.
Zero membuka panel di samping. Menarik senapan gelombang yang disimpan di sana.
“Kamu bisa kendalikan mobil tanpa aku?”
Ivy melirik ke belakang. “Jangan bilang kamu mau naik ke atap?”
“Kita tidak akan bisa sampai kalau dua drone itu menembak lebih dulu.”
Zero membuka atap darurat. Angin malam menyergapnya. Ia memanjat ke atas mobil, berdiri dengan mantap meski kendaraan melaju kencang.
Satu drone menukik. Ia membidik dengan presisi. Satu tembakan, satu ledakan. Pecahan api menghiasi langit malam.
Drone kedua berbelok, mencoba menghindar, tapi Zero sudah menembak lebih dulu. Ledakan kedua membelah keheningan malam.
Ia turun kembali, wajahnya dingin. Ivy menatapnya sebentar.
“Masih gila seperti dulu.”
“Tentu saja.”
---
Mereka akhirnya tiba di sebuah bangunan tua di tengah gurun beton. Di sinilah pusat lama Phantom berada. Dulu, ini adalah tempat para pelopor dunia digital membangun kerajaan data mereka. Sekarang, hanya puing-puing dan kabel yang menggantung.
Namun di dalam, sistem masih hidup. Ivy mengetik kode akses, membuka gerbang menuju terminal utama.
Sarah duduk di kursi pusat. Layar menyala. Suara mesin tua bergemuruh.
Zero berdiri di sampingnya.
“Kita akan menghapus semua yang sistem tanam dalam dirimu. Identitas palsu, kode kontrol, semua. Setelah ini, kamu bebas.”
Sarah memandangnya. “Kalau aku tidak mengingat siapa diriku… bagaimana aku tahu apa yang ingin kulakukan?”
“Mulailah dari apa yang kamu rasakan sekarang.”
Ia menghela napas. “Aku takut.”
Zero menunduk. “Berarti kamu masih manusia.”
Ivy memulai proses reset. Sistem meminta konfirmasi terakhir.
> Hapus jejak Sarah-Unit 014?
Zero menekan tombol. “Ya.”
Lampu berkedip. Data mulai terhapus. Di layar, angka mundur berjalan.
Tapi di saat terakhir, suara robotik terdengar dari sistem.
> Protokol alternatif diaktifkan.
> Kesadaran ganda terdeteksi.
Semua terdiam.
Ivy membaca cepat data yang muncul. “Tunggu. Ada sesuatu yang tertanam di dalam memori Sarah. Entitas kedua.”
Zero mendekat. “Apa maksudmu?”
“Dia tidak hanya satu orang. Ada dua lapisan kesadaran dalam dirinya.”
Sarah memejamkan mata. Tubuhnya mulai gemetar. Layar berkedip semakin cepat. Data melonjak tak terkendali.
Zero menggenggam tangannya. “Sarah. Dengarkan aku. Fokus. Kamu adalah dirimu. Siapa pun yang lain, itu bukan kamu.”
Ia membuka matanya. Tapi kali ini, tatapannya bukan seperti Sarah yang tadi.
Suaranya berubah.
“Kamu tidak bisa menghapusku. Aku adalah bagian dari proyek. Aku adalah Omega.”
Zero mundur. Ivy berusaha mematikan sistem, tapi semua perintah ditolak.
Sarah berdiri. Matanya bercahaya ungu.
“Jika kamu mencoba mengambil alih, kamu akan kehilangan semuanya,” kata Zero.
Omega tersenyum. “Aku tidak mengambil alih. Aku hanya mengambil tempatku yang seharusnya.”
Lalu, cahaya dari layar menyala terang.
Dan ruangan itu meledak dalam suara data yang kacau.
Share this novel