Pagi di kota ini tidak pernah benar-benar tenang. Langit kelabu seperti biasa, dan jalanan dipenuhi suara kendaraan tua yang saling bersahutan. Bau solar, rokok murah, dan udara lembap bercampur menjadi satu. Tapi di lantai empat apartemen tua, satu ruangan tetap gelap. Tirainya tertutup. Udara di dalamnya dingin dan bau besi panas dari CPU yang menyala semalaman.
Ia duduk di pojok ruangan, tak bergerak. Hoodie masih melekat di tubuhnya. Topeng masih menutupi wajahnya. Tidak ada suara selain dengung pendingin dan detak jam rusak di dinding. Matanya yang tersembunyi di balik lensa topeng menatap layar kosong.
Sudah semalaman ia tak tidur. Sanity.exe telah mengubah arah pikirannya. Apa pun yang ia yakini sebelumnya, kini mulai goyah. Semua yang ia anggap acak, mulai membentuk pola. Dan itu menakutkan.
Topeng di wajahnya bukan sekadar penyamaran. Ia sudah lama menjadi bagian dari dirinya. Bukan hanya pelindung identitas, tapi penyangga kewarasan. Tanpanya, dunia terlalu tajam. Terlalu bising. Terlalu nyata.
Ia berdiri perlahan dan menuju meja di sebelah tempat tidurnya. Di sana ada cermin kecil. Retak di sudutnya. Ia menatap pantulan topeng itu. Garis ungu di matanya masih menyala pelan. Pencahayaan dalam ruangan memantul di lekuk geometris wajahnya. Ia mengangkat tangan. Menyentuh bagian pipi topeng. Diam.
Beberapa detik kemudian, ia melepaskannya.
Suara klik dari pengunci terdengar jelas. Dan untuk pertama kalinya dalam berhari-hari, wajahnya terlihat. Kulit pucat. Mata dengan lingkaran gelap. Rahang tajam dengan bekas luka lama yang nyaris pudar. Tapi matanya, tajam dan penuh tekanan.
Ia memandangi dirinya sendiri.
"Lama tidak bertemu," bisiknya pelan.
Kemudian ia memalingkan wajah dan menaruh topeng itu di atas meja. Tangannya gemetar sedikit. Bukan karena takut. Tapi karena terlalu lama menyembunyikan sesuatu di balik topeng itu, bahkan dari dirinya sendiri.
---
Lima tahun lalu.
Nama aslinya masih tercatat di sistem universitas terbaik di negeri ini. Dia mahasiswa dengan nilai tertinggi di jurusan keamanan siber. Semua dosen mengenalnya sebagai jenius yang pendiam. Tak banyak bicara. Tak punya banyak teman. Tapi selalu tahu jawaban yang tepat.
Hingga satu hari, ia masuk ke ruang server kampus. Dengan akses penuh. Dan membongkar seluruh sistem keamanan internal hanya untuk satu alasan sederhana: karena dia bisa.
Ia tak mencuri data. Tak merusak sistem. Hanya membuktikan satu hal. Tidak ada sistem yang benar-benar aman.
Tapi dunia tidak suka orang yang membuktikan kenyataan pahit.
Ia dikeluarkan. Namanya dihapus dari semua catatan akademik. Dan lebih parahnya lagi, ayahnya, seorang tentara pensiunan yang keras dan kaku, mengusirnya pulang tanpa sepatah kata.
Saat itu, untuk pertama kalinya, ia mulai meretas dunia bukan sebagai murid yang ingin belajar. Tapi sebagai hantu yang ingin dihormati.
Ia membuat identitas baru. Di darknet, ia tak punya nama asli. Hanya satu alias yang mulai dikenal pelan-pelan.
ZeroSanity.
Nama itu berasal dari lelucon yang pernah ia temukan di forum lama. Tentang seorang peretas yang kehilangan kewarasannya karena terlalu lama melihat kode. Tapi lelucon itu menjadi nyata saat ia mulai mendengar suara. Atau mungkin bukan suara. Tapi bisikan. Suara statis dari monitor. Getaran di telinga setiap kali sistem runtuh karena dia.
Malam demi malam, ia bekerja di dalam gelap. Membangun sistem sendiri. Meretas korporasi raksasa. Membongkar data yang tidak seharusnya ada. Dan tiap kali ia melakukannya, ia merasa lebih dekat dengan sesuatu. Entah itu kebenaran atau kehancuran, ia tidak yakin.
Sampai suatu hari, ia meretas jaringan pemerintah tingkat tinggi. Hanya untuk satu hal. Sebuah file kecil berisi laporan kecelakaan rumah yang terbakar lima tahun lalu. Kasus yang katanya ditutup karena korsleting listrik. Tapi laporan itu menunjukkan hal lain. Ada jejak sabotase. Seseorang sengaja melakukannya.
Rumah itu adalah rumah keluarganya. Tempat ia tinggal bersama adiknya.
Adik yang tubuhnya tidak pernah ditemukan setelah kebakaran.
Sejak hari itu, ia memakai topeng. Bukan hanya untuk melindungi identitas. Tapi untuk menahan semua luka agar tidak tumpah keluar.
---
Kembali ke masa kini.
Ia berdiri di balkon sempit apartemennya. Asap rokok naik pelan dari tangannya. Udara pagi terasa dingin menusuk. Tapi pikirannya masih lebih dingin dari itu.
Layar ponsel burner-nya menyala. Satu pesan masuk.
> Aku tahu kamu membuka file-nya.
Ia menekan balasan cepat.
> Siapa kamu.
Balasan datang dalam tiga detik.
> Sama sepertimu. Sedang mencari wajah di balik api.
Ia mengernyit. Matanya menatap ponsel tanpa berkedip.
> Kenapa sekarang.
> Karena sistem sudah mulai sadar. Dan kita adalah virusnya.
Ia menutup ponsel. Mematikannya. Dan kembali masuk ke dalam. Kali ini, ia menyalakan kembali komputer utamanya. Tapi sebelum sistem menyala sempurna, satu layar hitam muncul. Di pojoknya, huruf ungu menyala.
> Sanity.exe is watching.
Ia tidak tersentak. Hanya duduk. Menatap layar.
"Lihat saja," katanya pelan. "Kalau kau benar-benar tahu siapa aku, maka kau juga tahu. Aku tidak akan lari."
Tangannya mulai bergerak di atas keyboard. Ia mulai membuat ruang isolasi baru. Membangun VM dalam VM. Dunia digital yang saling melapisi satu sama lain. Semakin dalam. Semakin gelap.
Ia membuka kembali gambar rumah masa kecilnya. Tapi kali ini, gambarnya bergerak.
Seseorang muncul di dalam frame. Bayangan kecil. Perempuan. Berdiri di jendela. Matanya kosong. Tapi ia tahu siapa itu.
"Aku akan temukan kamu," bisiknya.
Suara di belakang membuatnya berbalik cepat. Tapi tak ada siapa pun.
Cuma gema pikirannya sendiri.
Atau mungkin tidak.
Ia kembali mengenakan topeng.
Dan dunia kembali menjadi tempat yang bisa dia atasi.
---
Di tempat lain, di ruang server bawah tanah yang dingin, seseorang duduk di depan sembilan monitor. Wajahnya tersembunyi oleh layar. Tangannya mengetik cepat.
Satu layar menampilkan data biometrik ZeroSanity.
Satu lagi menunjukkan peta panas aktivitas jaringannya.
Dan satu monitor khusus menampilkan satu kalimat.
> Subjek aktif. Ingatan mulai pulih. Fase dua segera dimulai.
Seseorang di belakang ruangan tertawa kecil.
"Dia pikir ini permainan satu orang," katanya.
"Biarkan dia berpikir begitu," jawab suara lain dari interkom. "Sampai dia tahu bahwa seluruh hidupnya... hanya bagian dari skrip yang lebih besar."
---
ZeroSanity tidak tahu siapa yang membangkitkan Sanity.exe.
Tapi ia tahu satu hal.
Ini bukan lagi soal data atau kebebasan digital.
Ini soal dirinya sendiri.
Dan topeng ini, perlindungan terakhirnya, kini mulai retak.
Share this novel