Chapter 5 Kekasih Ku

Drama Series 1733

Saat itu aku memutuskan untuk membeli semangka, dan aku bahkan memotongnya ketika sampai di dapur. Sebelum aku benar-benar menyelesaikan makanku, kakak ketiga muncul. Lidan mendekat padaku.

"Beri aku satu..." Dia langsung meminta.

Aku melirik tajam. "Tidak mau!" Aku menarik piringku ke arah lain agar tidak diambil.

Tapi siapa yang menyangka, dari arah lain itu ada Arvenu yang langsung mengambil sepotong dan memakannya.

"Ahhh!! Kakak!!!" Aku menatap kesal.

Tapi ketika aku menarik piringku ke arah lain lagi, Lidan langsung bisa mengambilnya dan memakannya.

"Tidak!!!" Aku kembali berteriak dengan kesal. Aku menarik piringku ke atas meskipun aku tahu mereka akan bisa mengambilnya, tapi aku juga mundur agar mereka tidak mendekat. Namun siapa yang menyangka, Dayyan dari belakang mengambil banyak potongan semangka dan memakannya.

Aku yang melihatnya menjadi berwajah tak percaya, bahkan hampir menangis. "Hiiii!!! Hiks.... Akhhh!!! Kalian jahat..... Aku akan panggil Jiro dan Nero!!!" Aku ingin memanggil kedua anjingku.

Tapi mereka tertawa. "Haha, mereka berdua ada di luar dan tidak akan bisa masuk ke dalam rumah karena rumahnya terkunci..." kata Dayyan.

Aku hanya bisa menangis. "Hiks... Kenapa kalian jahat...."

Tapi mendadak ada suara. "Kami pulang!!" Suara ayah terdengar membuka pintu, diikuti ibu. Seketika Jiro dan Nero juga masuk ke dalam dan menatap mereka.

Aku yang melihat itu menjadi tersenyum licik dan segera memasang wajah memelas. "Ayah!!! Hiks... Hiks... Mereka menggangguku..." Aku mendekat.

Seketika tatapan tajam ayah, bahkan tatapan Nero dan Jiro, langsung mengarah ke ketiga kakakku yang tampaknya terdiam. Mereka hanya bisa tertawa ragu.

"Hehe... Ayah, aku hanya bercanda tadi...." Dayyan menatap agak takut.

Sementara Lidan dan Arvenu panik melihat gigi taring tajam Nero dan Jiro. "Anjing baik.... Anjing baik..." Mereka mencoba menenangkan.

Ketiga kakakku itu memang takut pada ayah dan kedua anjingku. Aku senang mereka datang tepat waktu, hehe... Itu adalah ceritaku bersama kakakku. Mereka jahil, dan aku juga tahu mereka takut pada sesuatu. Aku harap kami masih bisa bersama. Meskipun aku kesal dengan hal seperti ini, mungkin itu cara mereka untuk terhibur.

--

Karena aku sudah bercerita soal keluargaku—tentang ayah, ibu, dan juga kakakku—maka sekarang, izinkan aku menceritakan tentang kekasihku. Ya, tentu saja aku punya kekasih. Wajahku ini kan cantik, jadi wajar saja kalau ada seseorang yang terpikat, bukan?

Menurutku, di dunia ini jodoh hanya bisa ditentukan oleh alam semesta. Kadang aku berpikir, jika ingin benar-benar memastikan apakah seseorang adalah jodoh yang tepat, bawa saja kedua belah pihak ke Kepolisian Lautan Senja. Konon, jika lautnya berubah menjadi merah, maka mereka memang berjodoh. Tapi jika biru, maka semuanya harus kembali seperti semula. Itu hanya pandanganku saja sih, sedikit nyeleneh memang, jadi aku tidak akan benar-benar berpikir seperti itu. Namun entah mengapa, bayangan lautan senja yang tenang dan dalam terasa seperti mencerminkan hati saat sedang jatuh cinta.

Oke, baiklah. Langsung saja. Aku punya kekasih. Dia bukan tipe pria yang suka banyak bicara atau memamerkan diri. Tapi dia pernah berkata padaku dengan nada lembut yang tak pernah bisa kulupa, “Panggil saja aku, aku bisa datang untuk memelukmu, mencium mu, juga menyayangimu.” Kalimat itu terdengar sederhana, tapi saat dia mengatakannya, dunia seolah ikut diam. Hanya ada suara nafasnya dan degup jantungku yang menggema.

Tentu saja dia mengatakannya setelah kami melewati banyak waktu bersama. Masa-masa indah yang kami ukir perlahan, seperti kanvas kosong yang diwarnai sedikit demi sedikit. Kami saling tertawa dan menikmati frekuensi yang sama, seakan-akan kami dua nada dari lagu yang serasi.

Namun sebelum kami sampai pada titik kehangatan itu, kekasihku harus melewati masa yang luar biasa berat. Kami pertama kali bertemu di kampus. Dia berasal dari jurusan yang berbeda, bahkan tidak satu gedung denganku. Dia bukan tipe pria populer yang banyak digilai perempuan. Bahkan tidak sedikit orang menganggapnya terlalu pendiam dan biasa saja. Tapi justru di situlah letak pesonanya—dia menyimpan dunia yang hanya ditunjukkannya padaku. Entah kenapa, dia selalu berhasil membuatku tertawa. Senyumku muncul tanpa dipaksa, hanya karena caranya menatap atau merespons sesuatu dengan tulus dan aneh.

Karena itulah kami sepakat membangun kisah cinta bersama. Dia begitu hati-hati menjagaku, seperti benda berharga yang tak boleh retak sedikit pun. Sampai akhirnya datanglah hari ketika dia harus menghadap ayah dan kakak-kakakku.

“Jadi, memang benar kau adalah kekasihnya putriku?” tanya ayahku sambil menatap tajam, pandangannya penuh pertimbangan dan kehati-hatian. Mereka duduk di ruang tamu yang agak sunyi sore itu. Hanya terdengar detak jarum jam dan suara gemerisik dari dapur, tempat aku menyiapkan minuman. Ibu menyusul duduk di dekat ayah, menatap kekasihku dengan senyum lembut yang selalu membuatku merasa aman.

“Wah, kamu tampan dan terlihat bugar. Bukankah putri kita tidak salah memilih?” tanya ibu pada ayah, mencoba mencairkan suasana yang semula agak tegang. Tapi aku tahu betul, ayah tetap tak bisa begitu saja mempercayakan anak gadis satu-satunya kepada sembarang orang.

Kekasihku terlalu gugup hari itu. Dia bukan orang yang biasa berbicara panjang di hadapan orang tua, apalagi keluargaku yang cenderung serius. Tapi dia mencoba terlihat tenang, meskipun suaranya sedikit bergetar.

“Ya, Pak. Aku adalah… kekasihnya putri Bapak. Putri Bapak sangat cantik dan begitu baik. Dia juga… menyukai aku,” ucapnya dengan gugup. Aku bisa membayangkan dia menelan ludah sambil menahan gugup. Di atas tangga, kakak-kakakku mengintip, seperti anak kecil yang penasaran. Mereka pasti sedang membicarakan kami diam-diam.

“Sayang, sudahlah. Biarkan putri kita bersenang-senang,” ucap ibuku sambil membujuk ayah yang tampaknya masih khawatir. Ayah akhirnya menghela napas panjang, seperti sedang menimbang antara hati dan pikirannya.

“Baiklah. Kau boleh membawa putriku keluar. Tapi jangan pulang terlambat. Awas saja kau,” katanya dengan nada serius yang membuat kekasihku mengangguk cepat-cepat. Kepanikan jelas tergambar di wajahnya, tapi itu justru membuatnya terlihat lebih tulus dan berani.

Dia selalu meminta izin dengan sopan saat ingin mengajakku berkencan. Lama-lama, kakak-kakakku pun akrab dengannya. Mereka bahkan mulai menyukainya.

“Bukankah dia orang yang asik? Aku tanya soal game, dia juga tahu banyak soal game,” ucap salah satu kakakku sambil santai duduk di sofa. Aku mendengarnya dari balik tembok dan hanya bisa menggeleng sambil mengerucutkan bibir.

“Hello… itu kekasihku. Jangan direbut ya,” ucapku dengan tatapan datar yang membuat mereka melirikku balik dengan wajah tak bersalah.

Selain mereka, bahkan ayahku mulai akrab dengannya. Mungkin karena kekasihku selalu datang di saat yang tepat—membantu memperbaiki bagian rumah, bahkan mobil sekalipun.

“Dia ini belajar dari mana? Kenapa dia sangat ahli dalam mesin?” tanya ayah dengan nada heran, seolah tidak percaya.

Aku menjawab dengan bangga, “Tentu, dia dari Fakultas Teknik. Selain itu, dia juga mengambil banyak jobdesk. Dia itu selalu bisa diandalkan.”

Perlahan-lahan, kepercayaan itu tumbuh. Hubungan kami tidak hanya menjadi milikku, tapi menjadi bagian dari keluarga.

Tapi seperti halnya langit cerah yang kadang tiba-tiba digulung awan gelap, kisah indah kami juga tidak berlangsung selamanya. Setelah hampir satu tahun menjalani hubungan, saat kami sudah seperti keluarga baru… dia pergi. Selamanya.

Dia pernah berkata bahwa dia tidak pernah punya keluarga yang utuh dan harmonis seperti keluargaku. Ibunya meninggal saat merawatnya, dan dia menyebut ayahnya sebagai pria brengsek. Tapi lihatlah dia… dia tumbuh menjadi lelaki kuat, meski hidup di tengah luka. Meski menyimpan trauma yang dalam, dia tetap tersenyum. Dia bercerita tentang itu lama setelah hubungan kami terjalin. Saat dia memelukku erat, aku merasakan tubuhnya bergetar, hampir menangis. Dan aku tahu… dia pantas menangis. Dia punya luka yang tak banyak diketahui orang.

"Sebenarnya, aku dari keluarga yang tak utuh jika kau ingin tahu.... Ibuku tidak pernah menikah, dan ayahku meninggalkan kami, jadi ibuku bekerja keras membanting tulang merawat ku, aku juga harus membantu ibuku dengan mengambil beberapa pekerjaan. Aku bekerja keras... Aku belajar banyak hal dan hingga akhirnya, ibuku pergi selamanya, aku sendirian ketika aku kuliah dan aku bertemu dengan mu, hanya kau yang mengerti bagaimana keadaan ku yang lain... Aku tahu kau melihat sisiku yang lain, kau selalu penasaran... Jadi aku bercerita sekarang..." Dia bercerita sangat sedih membuatku benar-benar berpikir bahwa dia memang lelaki yang sempurna dan aku tak salah memiliki hubungan bersama dengan nya. Semua orang menyukainya dan dia pantas mendapatkan semua itu.

Kemudian, seminggu berlalu. Saat itu aku sedang di kampus ketika kabar itu datang—kabar yang mengubah segalanya.

“Dayan tiada. Dia ditabrak truk ketika berdiri di bawah lampu merah untuk pejalan kaki. Orang setempat menduga itu pembunuhan, karena ada yang melihat seseorang sengaja mendorongnya hingga terjatuh ke jalan saat truk melintas. Pembunuh itu tidak ditemukan karena melarikan diri.”

Aku benar-benar tidak tahu masalah pribadinya secara dalam. Tapi karena dia benar-benar pergi, aku harus berduka dalam waktu yang lama. Aku terus menangis. Mengapa sosok yang begitu sempurna untuk menemani hidupku harus pergi begitu saja?

Aku ingin memanggil namanya. Memanggilnya agar datang memelukku, menciumku, menyayangiku. Tapi meski aku memanggil, dia tak akan datang lagi. Meski begitu, aku akan terus menyebut namanya. Aku akan memanggilnya… bahkan di batu nisannya.

Dia belum pernah melakukan sesuatu yang aneh padaku, malahan kita menghabiskan waktu dengan tertawa bersama, mengobrol bersama bahkan membangun sebuah konsep rumah tangga bersama. Dia bahkan pernah mengatakan padaku bahwa dia berencana menikahiku ketika dia sudah memiliki pekerjaan yang tetap, tapi ternyata itu semua tidak akan pernah bisa terjadi. Paling tidak aku bahagia dengan rencana baik nya.

Untung nya ketika aku bersedih, selalu ada keluargaku yang memenangkan ku termasuk peran ibuku yang sangat banyak, hanya dia yang banyak memenangkan ku karena dia tahu lebih banyak perasaan ku.

"Tenang di alam sana Dayan, aku tetap sayang padamu..."

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience