Ayahnya bernama Darmaya, seorang pria dengan postur tegap dan tatapan yang penuh wibawa. Kulitnya yang kecokelatan dipadu dengan otot-otot tubuh yang terlatih, mencerminkan kekuatan dan ketegasan yang sudah terbentuk sejak lama. Dia adalah letnan jenderal dengan pengalaman yang tak diragukan lagi, dihormati oleh bawahannya dan ditakuti oleh lawannya. Rambutnya yang mulai memutih di pelipis menjadi saksi dari bertahun-tahun pengabdian kepada negaranya. Setiap langkahnya begitu penuh percaya diri, seakan setiap detik waktu yang dilewatinya adalah bukti dari dedikasi dan perjuangan. Ketika dia bertugas di Eropa, Darmaya menjalankan tugasnya dengan dedikasi penuh. Di tengah hiruk-pikuk tugas negara, takdir mempertemukannya dengan seorang wanita yang akan mengubah hidupnya.
Ibu, bernama Iviona, adalah seorang wanita dengan pesona luar biasa. Kulitnya sehalus porselen, matanya berkilauan seperti dua berlian biru, dan senyumnya mampu meluluhkan hati siapa pun yang melihatnya. Sebagai model pemula yang baru saja menjejakkan kaki di dunia industri, kariernya melesat dengan cepat, membuat banyak sponsor berebut ingin bekerja dengannya. Namun, siapa sangka di balik kemewahan panggung catwalk, ada kejadian yang mengerikan.
Itu adalah kejadian yang tidak akan pernah dia lupakan karena serangan teroris mulai muncul secara tiba-tiba saat ia berada di atas panggung model untuk memancarkan aura nya yang cantik yang sudah di tunggu oleh banyak orang yang rupanya berakhir sangat cepat karena ledakan yang begitu keras.
Ledakan itu mengguncang Eropa. Asap hitam membumbung tinggi di langit, menciptakan bayangan gelap yang menutupi keindahan alam yang biasa terlihat. Suara sirene terus memecah udara yang sudah penuh dengan kepanikan, membelah keheningan yang seharusnya menyelimuti pagi itu. Orang-orang berlarian dalam ketakutan, mencari perlindungan dari bahaya yang tak terlihat. Di tengah kekacauan tersebut, Darmaya menjalankan tugasnya dengan ketenangan luar biasa. Dia bukan hanya seorang prajurit, tetapi seorang pemimpin yang tahu bagaimana menghadapi krisis dengan kepala dingin. Ketika dia mengamankan korban, pandangannya bertemu dengan seorang wanita yang bersembunyi di balik puing-puing. Gaunnya yang sebelumnya indah kini compang-camping, tapi tetap memancarkan keanggunan yang memikat, seakan menggambarkan kekuatan yang tak terlihat di balik kelemahannya. Mata mereka bertemu, sebuah pertemuan singkat yang terasa seperti keabadian. Dunia seakan berhenti sejenak, membiarkan mereka menikmati momen itu, yang meskipun singkat, begitu penuh makna.
Setelah situasi terkendali, Darmaya membawa Iviona ke tempat yang aman. Di tengah kerusuhan dan kehancuran, mereka menemukan satu sama lain. Darmaya tak hanya menjadi penyelamatnya tetapi juga seseorang yang berhasil merebut hatinya.
Perdamaian di Eropa membawa mereka lebih dekat, hingga akhirnya mereka menikah saat Darmaya mengambil cuti. Kisah cinta mereka adalah kisah yang sempurna, sebuah perpaduan antara keberanian dan keindahan, antara dunia yang keras dan kelembutan hati yang penuh kasih.
Iviona adalah wanita yang kuat. Sebelum dia benar-benar menjalin cinta dengan Darmaya, banyak yang bilang apakah dia siap dengan tugas negara milik Darmaya sehingga waktu Darmaya sangat banyak tersita, dan dia menerima itu dengan baik menggunakan wajah yang setia. Meskipun dia rela meninggalkan dunia modeling demi keluarganya, dia menjalani perannya sebagai ibu dengan dedikasi yang sama seperti suaminya pada pekerjaannya. Setiap langkah yang diambilnya dipenuhi dengan kebijaksanaan dan pengorbanan. Empat anak mereka dibesarkan dengan cinta dan disiplin, tanpa bantuan pembantu, hanya tangan Iviona dan Darmaya yang membentuk mereka menjadi pribadi yang luar biasa. Rumah mereka, yang terletak di atas bukit kecil yang dikelilingi oleh pepohonan rindang, selalu penuh dengan tawa dan cerita. Dari sana, suara gemercik air dari kolam renang keluarga sering terdengar, bercampur dengan kicauan burung yang berterbangan di pagi hari. Suara alam yang menenangkan seakan menjadi latar belakang sempurna untuk kebahagiaan mereka.
Rumah itu menjadi tempat di mana keluarga ini melatih kebersamaan mereka, di mana setiap pagi menjadi kesempatan baru untuk belajar dan bertumbuh bersama. Kolam renang itu bukan hanya tempat bermain, tetapi juga arena latihan ketahanan fisik, tempat di mana Darmaya menanamkan nilai-nilai kedisiplinan dan kekuatan pada anak-anaknya. Setiap langkah di jalan berliku menuju bukit tinggi menjadi simbol perjalanan hidup yang penuh tantangan namun penuh makna. Udara dingin yang menyelimuti mereka saat berlatih mendaki menjadi saksi betapa kerasnya mereka berjuang untuk menjadi yang terbaik.
Ketika Manifa lahir, keluarga ini menyambutnya dengan penuh sukacita. Rambutnya yang perak seperti ibunya dan kakak pertamanya langsung mencuri perhatian. Bola matanya yang besar selalu bersinar, seakan menggambarkan kebahagiaan murni seorang bayi yang tumbuh di tengah keluarga penuh cinta. Suaranya yang riang sering terdengar di seluruh rumah, mencairkan ketegangan apa pun yang mungkin terjadi di antara anggota keluarga.
Sayangnya, Darmaya tidak ada saat kelahiran Manifa karena tugas negara memanggil. Meskipun Darmaya tidak ada saat kelahirannya karena tugas negara memanggil, setiap kenangan tentang hari itu tetap terukir dalam hatinya. Begitu dia kembali setelah tiga bulan, rasa harunya tak dapat disembunyikan. Hari itu menjadi salah satu momen paling membahagiakan dalam hidupnya, bahkan lebih dari saat kelahiran putra-putranya. Manifa kecil menjadi pusat dunianya, meskipun waktunya bersama anak-anak sangat terbatas.
"(Abang pertama bilang, mereka dirawat dengan baik, tapi aku tidak percaya. Orang ini selalu saja menganggap semua baik-baik saja, layaknya dia juga baik-baik saja padahal tidak. Karena abang kedua bilang mereka dirawat dengan keras oleh ayah. Ayah selalu melatih mereka, bahkan kerja keras dan yang lainnya. Mau bagaimana lagi, ayah ingin mereka bisa mewarisi kejayaannya. Tapi abang ketiga bilang bahwa semuanya terjadi... Mana yang harus kupercayai? Benar-benar deh...)"
Ketika Manifa belum lahir, kakak pertamanya berumur 14 tahun, kakak keduanya berumur 10 tahun, dan kakak ketiganya berumur 6 tahun. Mereka masing-masing berjarak 4 tahun dan 8 tahun. Sungguh beban yang luar biasa bagi orang tua mereka. Setiap hari terasa seperti tantangan baru, seperti hidup mereka terus bergerak maju tanpa henti. Keluarga ini tidak hanya berjuang untuk bertahan hidup, tapi mereka berjuang untuk menjadi lebih baik—setiap hari.
Di umur itulah mereka mulai menyusul kakak mereka yang sudah dari dulu dilatih oleh ayah mereka. Sejak usia yang sangat muda, mereka sudah terbiasa dengan rutinitas yang penuh disiplin dan latihan fisik. Setiap hari, mereka terbangun sebelum fajar menyingsing, dan suara langkah kaki mereka berlarian di halaman rumah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Mereka selalu dilatih berenang, bahkan mereka punya kolam renang sendiri yang cukup untuk mereka latihan. Bahkan bertahan napas di air selama yang mereka bisa, dan itu tidak mudah. Mereka harus menaklukkan rasa takut dan kelelahan yang datang dengan setiap tarikan napas dalam air.
Dan tak lupa, Darmaya mengajak mereka ke bukit tinggi dengan mobilnya dan mengajak mereka untuk berlatih mendaki bukit. Suasana pagi yang sejuk dan udara pegunungan yang segar, semua ini adalah bagian dari pelatihan yang tak terlupakan. Juga, setiap pagi mereka akan diminta bangun lebih pagi dan lari pagi hingga jam 6 tiba, di mana matahari akan muncul perlahan, memberikan cahaya keemasan yang menyelimuti puncak bukit. Sinar matahari pagi itu terasa penuh harapan, seolah-olah dunia memberikan semangat baru setiap kali mereka berlari di bawah sinar mentari.
Cara itu terdengar keras, tetapi mereka juga akan maklum karena memiliki ayah seorang tentara. Kehidupan dengan disiplin yang ketat adalah hal yang biasa bagi mereka. Mereka tahu bahwa ayah mereka melakukan itu semua bukan karena kejam, tetapi karena cinta. Jadi, hasilnya mereka benar-benar tumbuh dengan sehat, fisik yang kuat, dan mental yang tahan banting.
Dan ketika umur mereka bertambah 2 tahun, dari sanalah konsep perancangan 4 tahun telah usai karena hanya jarak gadis kecil itu yang sangat dekat. Mereka tidak sabar menanti kelahiran adik mereka, yang akhirnya akan membuat keluarga ini semakin lengkap. Mereka sangat menantikan seorang gadis kecil, jadi mereka juga senang saat Manifa lahir. Rambut pirang yang cantik, yang sama seperti ibunya dan kakak pertamanya, bola mata besar yang berkilau cerah, dan selalu tertawa dengan polos setiap kali melihat kakak-kakaknya. Tawa itu seperti musik yang mengalun lembut, mengisi rumah mereka dengan kebahagiaan yang tak terhingga.
Sayangnya, dia lahir ketika ayahnya tengah bertugas. Selama 3 bulan akhirnya ayahnya kembali, dan ketika kembali, dia sangat terharu, bahkan hari itu adalah hari di mana dia benar-benar lebih bahagia menantikan bayi kecilnya daripada kelahiran putra-putranya. Perasaan itu sangat mendalam, karena dia telah menunggu begitu lama untuk kembali kepada keluarga kecilnya, yang selalu menantinya dengan penuh kasih.
Dia sangat menyayanginya, bahkan selalu menggendongnya ke mana pun. Meskipun waktu yang dia gunakan sangat sedikit, dia tidak pernah merasa lelah. Begitu banyak yang ingin dia ajarkan pada anak perempuannya, meskipun hidupnya penuh dengan tuntutan dan pekerjaan yang menuntut pengorbanan. Tapi dia juga tak lupa kembali melatih putra-putranya, bahkan ketika umur Manifa 2 tahun, dia bisa menyaksikan kakak-kakaknya bekerja keras. Semua itu adalah bagian dari pendidikan yang diajarkan Darmaya, tentang pentingnya kerja keras, ketekunan, dan kesabaran.
"(Ketika mereka berlatih di kolam tenang, aku digendong ayahku dengan satu tangannya, sementara tangan yang lainnya memegang timer. Aku juga selalu bisa melihat catatan yang dipegang ayah, di sana tertulis bahwa kakakku yang kedua yang paling unggul dari mereka. Tidak heran lagi sih, kelakuannya juga terlalu aktif. Dialah yang paling banyak mengganggu aku. Bahkan saat ayah ingin membawaku ke bukit juga, ibu selalu marah dan mencegah ayah.)"
Itu terjadi untuk pertama kalinya ketika Manifa melihat ayahnya yang bersiap pergi menyiapkan mobil. Pagi itu udara begitu sejuk, dengan embun di daun-daun yang terlihat seperti berlian kecil, dan suara kicauan burung yang riang menyambut hari. "Papa...." Panggilnya dengan polos, membuat telinga Darmaya yang sangat sensitif pada panggilan putrinya langsung menoleh dari pintu mobil.
"Oh, kucing kecilku..." Panggilnya dengan gembira mendekat pada Manifa. Dia memang memanggil seperti itu pada putri kecilnya. "Kebetulan sekali, ayo ikut papa pergi. Kamu ingin melihat kakak-kakakmu berlari?" tatapnya dengan penuh kasih.
Manifa yang polos hanya mengangguk dengan cepat, tapi begitu Darmaya akan menggendongnya, bahunya tertahan seseorang dari belakang. Manifa membuat Darmaya berhenti dan menatap ke arah orang itu yang rupanya istrinya. "Aku bicara apa saat itu?! Jangan bawa putri kita bersamamu, terakhir kali kamu tidak memberinya makan..." tatapnya dengan kesal.
"Oh, ayolah, itu hanya terakhir kalinya karena aku lupa.... Aku janji aku membawa bekal hari ini, aku akan menyuapinya ya?" Darmaya selalu memohon pada istrinya hanya untuk mengajak Manifa.
Tapi dia tetap ditolak. "Tidak, tidak boleh...."
Karena hal itu membuat Darmaya kecewa, tapi Manifa selalu tahu mana hal yang paling menyenangkan, jadi dia membela ayahnya. "Siapa yang bilang papa tidak memberiku makan...." Dia berbicara dengan polos, membuat mereka menatap ke bawah. "Papa memberiku makan... Waktu itu papa sudah membelikan makanan dari luar, kami makan bersama dan aku makan dengan lahap!!" Dia mengatakan itu dengan senang.
Membuat ayahnya tersenyum kecil dan menggendongnya. "Kamu sudah dengar itu kan?" Dia juga menatap ke istrinya yang menghela napas panjang.
"Baiklah, jangan sampai dia menangis..."
"Hei, dia tak pernah menangis jika bersama papa, benar bukan?" Darmaya menatap Manifa yang tertawa dan tidak sama sekali ada kesedihan jika bersama ayahnya.
"(Itu adalah hal polos yang paling aku suka sekali.... Apalagi ayah terkadang memberiku permen untuk membuatku senang secara opsional... Tidak berlebihan, tapi aku tetap sangat suka....)"
"(Itu adalah cerita dari ayah dan ibu, mereka sudah aku cukup ceritakan dan mereka adalah sosok yang paling baik, kuat karena telah membesarkan empat orang sekaligus....)"
Share this novel