Selain hal itu kami juga memiliki anjing yang sangat luar biasa kenapa dia luar biasa itu karena anjing anjing milik Ayahku sungguh sangat melindungi ku.
Anjingku adalah makhluk paling setia yang pernah aku temui. Hanya satu ekor yang dapat di percaya di antara mereka. Seekor German Shepherd dengan bulu hitam kecokelatan yang selalu terlihat berkilau, seperti cerminan kepribadiannya yang berani dan penuh kasih. Ayahku memberinya nama "Jiro," yang artinya pelindung dalam bahasa Jepang, dan nama itu sangat cocok untuknya.
Ketika aku sedang asyik bercermin di ruang tamu, seperti kebiasaanku setiap pagi, Jiro selalu berdiri tegak di belakangku, memperhatikan sekitarku dengan tatapan tajam. Mata cokelatnya yang cerah bergerak gelisah setiap kali seseorang mendekat.
Suatu hari, kakak kedua ku yang suka bercanda datang dari belakang dan mulai iseng menyentuhku, menepuk-nepuk punggungku dengan senyum jailnya. Sebelum aku sempat bereaksi, Jiro sudah melangkah maju, berdiri di antara kami, dan menggeram pelan. Geramannya bukan ancaman, melainkan peringatan lembut. Kakakku tertawa sambil mengangkat tangan, seolah menyerah. "Oke, oke, aku cuma bercanda," katanya. Tapi Jiro tetap berdiri di sana, memandang tajam sampai kakakku menjauh.
Itu adalah saat dimana aku menganggap Jiro adalah Ayah kedua karena Ayah yang selalu melindungi ku dari mereka yang menggangguku.
Malam-malam bersama Jiro adalah cerita lain yang menunjukkan betapa ia adalah pelindung sejati. Aku ingat salah satu malam yang gelap dan sunyi, ketika hanya ada suara detik jam yang menemani. Jiro memutuskan untuk tidur di lantai dekat ranjangku, seperti biasa. Aku merasa aman dengan kehadirannya, dan suara napasnya yang stabil sering membuatku cepat terlelap. Namun, malam itu, aku terbangun tiba-tiba karena mendengar suara geram pelan. Aku membuka mata dan melihat Jiro berdiri tegap, bulu di tengkuknya berdiri, matanya menyala di bawah cahaya bulan yang menyelinap dari jendela.
Ketika aku mengintip dari balik selimut, aku melihat kakakku mengendap-endap ke meja di sudut kamar, mencoba mengambil laptopku. Memang, sebelumnya ia sudah meminta izin untuk menggunakannya, tapi Jiro tampaknya tidak peduli. Baginya, siapa pun yang mencoba mengambil sesuatu dariku, apalagi di malam hari, adalah ancaman. Dia menggonggong, bukan dengan keras, tetapi cukup untuk membuat kakakku melompat kaget. "Ssst, Jiro! Tenang, aku cuma pinjam sebentar," katanya sambil mengangkat tangan dengan wajah ketakutan. Tapi Jiro tidak mundur, tetap memandanginya dengan waspada sampai aku akhirnya turun dari tempat tidur dan berkata, "Sudah, Jiro, tidak apa-apa."
Jiro menuruti perintahku, tetapi dia tidak langsung kembali tidur. Dia tetap duduk di dekatku, memantau dengan seksama sampai kakakku meninggalkan kamar. Malam itu, aku sadar bahwa Jiro bukan hanya anjing; dia adalah teman, pelindung, dan anggota keluarga yang selalu memastikan aku aman, bahkan dalam situasi yang tampaknya sepele. Bagiku, Jiro adalah hadiah terbaik yang pernah diberikan Ayahku, dan kehadirannya membuatku merasa tidak pernah sendirian.
Dia bukan anjing rumahan biasa. Jiro, anjing hitam yang populer di lingkungan kami, selalu menyita perhatian orang dengan bulu hitamnya yang berkilau dan kecerdasan luar biasa. Namun, Jiro bukan satu-satunya yang menemaniku. Ada satu lagi—anjing hitam dengan mata tajam yang selalu menemaniku saat aku keluar rumah. Mereka berdua seperti bayangan gelap yang setia, tak pernah meninggalkan sisiku.
Setiap pagi, ketika udara dingin menusuk kulit dan matahari baru saja menyingsing, aku berlari menyusuri jalan-jalan kecil di sekitar rumah. Kedua anjing hitam itu, Jiro dan yang satunya—aku memanggilnya Nero—akan berlari di sampingku. Langkah mereka serempak, tanpa suara, seolah mereka paham ritme langkahku. Orang-orang yang melihat kami selalu menyempatkan diri untuk berhenti dan mengamati. Ada sesuatu yang mengintimidasi dari pemandangan itu, dua ekor anjing hitam besar yang bergerak seperti penjaga bayangan. Tapi bagiku, mereka adalah teman, pelindung, dan bagian dari keseharianku.
Ketika aku berhenti untuk menarik uang di mesin ATM di pinggir jalan, kecemasan selalu menghantui pikiranku. Pikiran tentang orang jahat yang bisa saja menyerang saat aku lengah membuatku gelisah. Tapi Jiro dan Nero tahu peran mereka. Mereka duduk tegap di sampingku, mata mereka mengawasi setiap gerakan di sekitar. Orang-orang yang berniat mendekat sering kali mengurungkan niatnya begitu melihat kedua anjing itu. Tatapan mereka bukan tatapan anjing biasa; ada kewaspadaan yang membuat siapa pun mundur.
Lain halnya ketika aku harus ke supermarket. Papan peringatan "anjing tidak diperbolehkan masuk" sudah seperti ritual yang akrab bagi kami. Jiro dan Nero tahu aturan itu. Mereka akan duduk di depan parkiran, tidak pernah jauh dari pintu masuk, menungguku dengan kesabaran luar biasa. Aku sering mengintip dari balik rak-rak barang, memastikan mereka masih di sana. Mereka tidak pernah bergerak, kecuali ketika aku melangkah keluar. Begitu aku mendekat, mereka akan berdiri serentak, ekor mereka bergoyang pelan, dan kami akan berjalan pulang bersama.
Ada sesuatu yang unik dari hubungan kami. Jiro dan Nero bukan hanya anjing; mereka adalah penjaga, teman setia, dan bagian dari kehidupanku yang sederhana. Kehadiran mereka bukan sekadar kebiasaan, melainkan sebuah kenyamanan, sebuah rasa aman yang sulit digambarkan dengan kata-kata. Aku tak pernah merasa sendirian ketika mereka ada di sisiku. Di balik mata tajam mereka yang penuh kewaspadaan, aku tahu, mereka akan selalu ada untuk melindungi ku, kapan pun, di mana pun.
Ayah selalu bercerita dengan bangga tentang Jiro dan Nero saat aku masih balita, dua anjing yang menjadi penjaga paling setia dalam hidup kami. Saat aku berjalan kecil-kecil di antara ladang panen milik paman dengan langkah yang sering tersandung oleh akar-akar tanaman, mereka selalu mengapit ku, seolah aku adalah sesuatu yang rapuh, namun berharga.
Aku masih ingat aroma ladang itu—harum padi yang menguning, ditingkahi oleh angin yang membawa bau segar dedaunan. Langit selalu terasa luas, dan di bawahnya, Jiro dengan bulu hitam legam seperti bayangan, dan Nero yang berbulu cokelat keemasan, selalu mengikuti dengan langkah sigap. Mata mereka tidak pernah lepas dariku. Jiro lebih waspada, telinganya selalu tegak, sementara Nero lebih tenang, namun tak kalah sigap.
Ayah sering berkata bahwa Jiro dan Nero lebih dari sekadar anjing. Mereka adalah penjaga yang tak tergantikan, pelindung yang tak pernah meminta apa-apa selain kehadiran kami. Ketika aku masih bayi, tidur di kereta bayi di bawah pohon besar di ujung ladang, Jiro dan Nero berdiri di kedua sisi kereta. Mereka tidak pernah bergerak terlalu jauh, hanya berpatroli di sekitar. Jika ada orang asing mendekat, mereka menatap dengan mata tajam, cukup untuk membuat siapa pun berpikir dua kali sebelum mendekat.
Namun, mereka bukan hanya penjaga. Mereka adalah teman. Jiro sering mendorongku pelan dengan moncongnya saat aku terjatuh di tanah, seolah menyuruhku untuk bangun lagi. Nero, dengan tatapan lembutnya, akan menjilati tanganku, meyakinkanku bahwa semuanya baik-baik saja.
Di antara suara gemerisik dedaunan dan kicauan burung, aku sering mendengar tawa kecil Ayah. "Jiro dan Nero itu lebih tahu caranya menjaga daripada manusia," katanya sambil mengusap kepala kedua anjing itu. "Mereka tahu apa yang penting, tahu siapa yang harus dilindungi."
Tapi begitu mengetahui bahaya, Jiro dan Nero akan melawan dengan keras, tak peduli seberapa besar ancaman yang ada di depan mereka. Aku masih bisa mengingat jelas bagaimana mereka selalu berdiri di belakangku, melindungi ku saat aku kecil. Saat itu, langkahku masih goyah, perlahan, seperti ingin merangkak kembali. Namun, mereka selalu ada, seperti dua bayangan setia yang tak pernah hilang.
Aku sadar akan ketulusan mereka pada suatu pagi, ketika Ayah berjalan keluar rumah. Langkah Ayah begitu tenang, menggema di sepanjang beranda kayu. Jiro dan Nero, yang sedang terbaring malas di dekat pintu, hanya melirik singkat, menggerakkan ekor mereka perlahan seolah mengakui keberanian dan kemandirian Ayah. Mereka membiarkan Ayah lewat tanpa banyak peduli, karena mereka tahu Ayah bisa menjaga dirinya sendiri.
Namun, ketika aku muncul di ambang pintu, langkah kecilku yang tertatih-tatih membuat mereka langsung berubah. Mata mereka, yang sebelumnya tenang, kini tajam dan penuh kewaspadaan. Nero, yang lebih besar, berdiri lebih dulu, ekornya melurus, siap menghadapi apa pun. Jiro, meskipun lebih kecil, menyusul segera, posisinya tak pernah lebih dari satu langkah di belakangku.
Aku berjalan perlahan, mencoba menyusul Ayah, tapi kedua anjing itu seperti pengawal tak terlihat. Gerakan mereka nyaris tanpa suara, tapi aku tahu mereka ada di sana, matanya sesekali melirik ke kanan dan kiri, seolah mencari tanda bahaya yang mungkin luput dari penglihatanku. Angin pagi yang sejuk berembus, membawa aroma dedaunan basah dan embun yang menguap di bawah sinar matahari. Namun, bagi mereka, setiap suara, bahkan desiran daun atau burung yang terbang, adalah sesuatu yang perlu diwaspadai.
Mereka tidak pernah mengabaikan detail. Ketika seekor kucing liar melintas di depan pagar, Nero menegang, bulunya sedikit berdiri, sementara Jiro mengeluarkan geraman rendah, cukup untuk mengusir tanpa perlu mendekat. Aku hanya bisa tersenyum kecil, merasa aman dalam penjagaan mereka yang begitu serius. Langkahku semakin yakin, meski aku tahu, tanpa mereka di belakangku, mungkin aku akan merasa lebih takut menghadapi dunia yang saat itu tampak begitu besar.
Jiro dan Nero bukan hanya anjing peliharaan, mereka adalah bagian dari keluargaku, pengawalku, dan di atas segalanya, mereka adalah sahabatku yang selalu mengutamakan keamananku di atas segalanya.
Sekarang, ketika aku melihat kembali masa-masa itu, aku menyadari betapa mereka adalah bagian dari cerita yang membuat aku merasa aman dan terlindungi. Mereka adalah bayangan di masa kecilku yang penuh kasih sayang. Meski waktu telah berlalu, kenangan tentang Jiro dan Nero tetap hidup, membawa pelajaran tentang kesetiaan, cinta, dan keberanian yang tak lekang oleh waktu.
Share this novel