Chapter 4 Ketiga Kakak Ku

Drama Series 1733

Selain anjing-anjingku yang lucu, ada kakak-kakakku yang tidak kalah nakal. Mereka selalu punya cara untuk menjahiliku, seolah itu sudah menjadi hobi mereka yang tidak pernah habis. Setiap hari, ada saja tingkah laku mereka yang membuatku kesal sekaligus tak habis pikir.

Mau tahu bagaimana kejahilan itu terjadi berturut-turut? Tepat pada saat itu, aku pulang dari sekolah. Aku masih duduk di bangku SMP saat itu, mengenakan seragam dan tas yang penuh dengan buku-buku berat menggantung di pundakku, sementara langkahku terasa lesu karena kelelahan. Sesampainya di rumah, suasana rumah tampak tenang, hanya terdengar suara televisi yang menyala di ruang tengah.

Aku melangkah masuk dan melihat kakak keduaku, Arvenu Darmaya, duduk di bawah sofa. Dia tampak sangat santai, fokus pada permainan PS yang sedang dimainkannya di layar televisi. Di sampingnya, ada segelas minuman dingin dan mangkuk berisi camilan. Tidak ada kesan sibuk sama sekali di wajahnya; dia benar-benar menikmati waktu luangnya.

Aku hanya berdiri di sana, menatapnya dengan tatapan datar. "Seperti tidak ada kerjaan..." gumamku, suaraku nyaris tenggelam oleh suara permainan di televisi. Tapi tampaknya, dia mendengarnya.

"Apa? Apa kau bilang? Tidak ada kerjaan? Justru aku tadi menunggumu..." balasnya, menatapku dengan ekspresi seolah-olah dia baru saja disalahkan tanpa alasan.

Aku mengernyitkan dahi, merasa bingung dengan ucapannya. Langkahku yang awalnya malas kini terhenti di tengah ruangan. "Menungguku?" tanyaku sambil memandangnya dengan rasa heran.

"Kau membuatku menunggu lama. Kenapa kau sekolah sampai sore?" Suaranya terdengar seperti keluhan, tapi nadanya tidak sepenuhnya serius.

"Hei, aku sekolah untuk diriku sendiri! Kau mana tahu! Memangnya kenapa?"

"Cepat bersiaplah. Kakak pertama mengajak kita makan di luar. Dia sudah pergi bersama kakak terakhirmu..." ucapnya santai, seperti tidak ingin repot menjelaskan lebih banyak.

Aku memandangnya dengan rasa penasaran. "Tumben sekali. Memangnya ada apa?"

"Kita minum-minum..." jawabnya pendek, sambil tersenyum kecil. Tatapannya penuh arti, seolah dia sudah tahu bahwa jawabannya akan membuatku terkejut.

"Apa???!! Minum alkohol?! Hei, itu tidak boleh!!" Aku langsung bereaksi, mataku membelalak mendengar ucapannya.

"Itu untuk kami. Kami akan minum sendiri..."

"Apa?! Itu tidak adil. Masa aku hanya ikut menemani! Kalau begitu, biarkan aku di rumah..." Aku menjawab dengan nada tegas, merasa tidak ada gunanya ikut jika hanya menjadi penonton.

"Kau akan di rumah sendiri. Ayah dan Ibu sedang pergi melakukan urusan," katanya santai. Pandangannya kembali tertuju pada layar televisi, seolah percakapan kami tidak terlalu penting baginya.

"Tapi aku ingin sesuatu juga!" Aku mulai memaksa, menatapnya dengan mata penuh harapan.

"Baiklah, aku akan membelikanmu sosis dan bakso bakar..."

"Deal!!" Aku langsung menyetujuinya dengan semangat, lupa sejenak akan kelelahan yang tadi kurasakan.

Hingga ketika kami berjalan pada malam hari, suasana kota begitu ramai. Kami berjalan berdampingan, dan mungkin bagi orang lain kami terlihat seperti pasangan. Namun, aku tidak terlalu peduli dengan pandangan orang. Aku sibuk menikmati bakso dan sosis bakar yang dibelikan oleh Arvenu.

Arvenu hanya menatap ke depan, hingga tiba-tiba ponselnya berbunyi, membuatnya sedikit tersentak dari lamunannya. Ia menatap layar ponselnya dan mendapati nama yang tertera di sana. "Oh, ini dari Kakak Pertama..." gumamnya dengan nada datar.

Tanpa ragu, dia mengangkat panggilan tersebut, dan ternyata itu adalah video call. Wajah Kakak Pertama muncul di layar dengan senyum khasnya yang tegas, meskipun matanya menunjukkan sedikit kelelahan.

"Hei, ke mana saja kamu? Kenapa lama sekali?" tanya suara Kakak Pertama dengan nada penuh rasa ingin tahu, suaranya terdengar seperti dia ada di warung pinggir jalan.

Namun, alih-alih menjawab dengan serius, Arvenu justru menunjukkan ekspresi licik. Ia berbisik ke arah ponsel, seolah menyembunyikan sesuatu yang lucu. "Bukankah adikku lucu? Dan lihatlah ini...." katanya, sambil melirik ke arahku. Aku saat itu sedang berjalan santai, menikmati sosis dengan tenang tanpa menyadari rencana jahilnya.

"Manifa, cium pipiku," kata Arvenu tiba-tiba dengan nada menggoda.

Aku, yang mendengar permintaannya, terkejut dan langsung membuang wajah dengan ekspresi kesal. "Ogah..." jawabku singkat, berusaha mengabaikannya.

"Aku akan membelikan permen kapas."

Mendengar tawarannya, mataku sedikit berbinar. "Ok..." jawabku polos. Aku mendekat untuk mencium pipinya, meski masih setengah hati. Tapi siapa yang menyangka? Saat aku baru saja mendekat, tiba-tiba saja Arvenu dengan sigap melahap sosis yang ada di tanganku.

"Hahaha..."

Aku yang merasa ditipu langsung tersulut emosi. Dengan spontan, tanganku melayang ke pipinya, menamparnya cukup keras hingga meninggalkan bekas merah samar. "Kakakkkk!!!" teriakku sambil merengek, mataku mulai berkaca-kaca.

Namun, bukannya merasa bersalah, Arvenu justru tertawa semakin keras. "Hahaha.... Maaf, maaf.... Enak sekali ya.... Haha... Hei, kau masih punya satu di tanganmu," katanya, sambil menunjuk ke arah sosis di tanganku yang lain.

"Tidak!! Aku tidak akan memberikannya!!" Aku menarik sosis nya agar tidak mendekat padanya.

Namun, Arvenu selalu punya cara untuk mengakali situasi. Matanya melirik cepat ke belakangku, lalu ia menunjuk dengan wajah penuh kepura-puraan. "Eh, halo Ayah Ibu!!" serunya, pura-pura menyapa kedua orang tua kami yang sebenarnya tidak ada di sana.

Refleks, aku menoleh ke belakang, mencari sosok mereka. Tapi saat aku menyadari bahwa aku telah ditipu, semuanya sudah terlambat. Aku langsung berbalik dan mendapati piringku sudah kosong. Sosis terakhirku sudah lenyap, masuk ke mulut Arvenu.

"Ahhh!!! Kakak!!!" Aku menatapnya dengan wajah penuh kemarahan. Namun, Arvenu tidak peduli. Dia sudah melarikan diri sambil terus tertawa terbahak-bahak.

Kakak Pertama kami, Dayyan, yang menyaksikan semua itu melalui video call, tertawa di seberang sana. Tawa khasnya yang berat terdengar, membuat suasana semakin riuh. Dia saat itu sedang duduk di kursi pinggir jalan, dengan secangkir alkohol di tangannya.

Di hadapannya, Kakak Ketiga kami, Lidan, sibuk dengan daging bakar yang tampak menggoda. Asap dari panggangan membubung perlahan, membawa aroma gurih yang membuat suasana terasa hangat meski mereka berada di luar ruangan. "Kenapa kau?" tanya Lidan sambil mengerutkan dahi, bingung melihat Dayyan yang terus tertawa.

"Manifa, dia dikerjai lagi. Aku jadi ingin mengerjainya nanti..."

Hingga tak lama kemudian, ketika aku sampai di tempat duduk, aku membawa permen kapas yang besar, berwarna pink lembut seperti awan senja, dengan sangat senang. Wajahku berseri-seri, tidak bisa menyembunyikan kebahagiaan. Aku segera duduk di samping Dayyan, yang tengah sibuk dengan piringnya, sementara Arvenu terlihat santai di kursinya, duduk tepat di samping Lidan yang sedang menyeruput minumannya dengan tenang.

"Permen kapas?" Lidan menatap dengan alis terangkat, matanya seolah menilai sesuatu dari barang yang kupegang.

"Ho oh, Arvenu yang membelikannya..." jawabku sambil memamerkan senyum lebar, rasa bangga dan bahagia tergambar jelas di wajahku.

"Kelihatannya enak, biarkan aku mencubit itu..." katanya dengan nada tenang, tetapi ada sedikit nada licik di balik permintaannya.

"Ok..." Aku, tanpa ragu sedikit pun, dengan polosnya mempercayai niat baiknya. Tanganku bahkan sedikit menggoyangkan permen kapas itu ke arahnya, tanda aku mengizinkannya mengambil sedikit. Namun, ketika tangannya hampir menyentuh permen kapas, tiba-tiba dia malah menyambar semuanya.

Dengan gerakan cepat, Lidan mengambil seluruh permen kapas yang kugenggam, meremasnya menjadi bola kecil, lalu memasukkannya ke dalam mulutnya dengan penuh kemenangan. Aku hanya bisa tertegun, mataku melebar, tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.

Di sekitarku, tawa pelan mulai terdengar. Dayyan dan Arvenu, kakak-kakakku yang lain, tidak bisa menahan diri untuk ikut tertawa kecil melihat reaksiku yang penuh keterkejutan.

"Hiks...." Bibirku mulai bergetar, air mata perlahan memenuhi sudut mataku. "Hua!!! Huhuu...." Aku akhirnya meledak dalam tangisan keras, merengek sejadi-jadinya seperti anak kecil yang kehilangan mainan favoritnya.

"Hahaha.... Cengeng...." Suara Dayyan terdengar di sela tawanya. Dengan gerakan santai, dia meraih sesuatu dari piringnya—sepotong daging panggang yang terlihat sangat menggugah selera, aromanya saja sudah cukup untuk membuat perutku berbunyi. Tanpa banyak bicara, dia mendekatkan daging itu ke mulutku, lalu perlahan menyuapkannya.

Aku yang masih menangis dengan mata sembab tidak punya pilihan lain selain membuka mulut. "Ump..... (Glek...) kalian jahat.... Hiks.... Kenapa kalian selalu menjahiliku!!" Aku menggerutu di antara kunyahan, menatap mereka dengan tatapan kesal.

Namun, Arvenu dengan sigap menyodorkan potongan daging lainnya ke mulutku, dan aku, meskipun kesal, tidak bisa menolak makanan yang lezat itu. Lidahku langsung terpikat oleh rasa gurih dan juicy dari daging panggang tersebut. Tangisanku mulai mereda, tetapi setiap kali aku selesai menelan, amarahku kembali memuncak.

"Kalian benar-benar jahat!" Aku melontarkan protes, tetapi mereka hanya tertawa melihatku yang terus saja disuapi hingga akhirnya aku kekenyangan.

Tanpa sadar, aku tertidur di meja. Rasa lelah dan kenyang membawaku ke alam mimpi dengan cepat. Kepalaku bersandar pada lengan, sementara kakak-kakakku masih melanjutkan makan malam mereka.

"Haha... Makan kenyang saja langsung tertidur..." suara Dayyan terdengar samar di tengah obrolan mereka yang penuh canda tawa.

Namun, di antara rasa kantukku, aku sempat menangkap beberapa potongan pembicaraan mereka. Mereka berbicara dengan nada serius, membahas sesuatu yang terdengar penting.

"Bagaimana soal kuliahnya? Sudah dapat rekomendasi?" suara Dayyan terdengar lebih rendah kali ini, penuh dengan nada penasaran.

"Memikirkan itu memang agak susah.... Kuliah di ikatan militer itu akan sangat berat bagi kita.... Lingkungan dan yang lainnya..." sahut Arvenu, suaranya terdengar tenang, tetapi ada sedikit kekhawatiran di balik ucapannya.

Tiba-tiba, suara Lidan terdengar dengan tenang. "Kita putra dari Darmaya, untuk apa takut hal itu? Kita sudah setiap hari dididik keras, bahkan aku saja diizinkan minum alkohol..." katanya sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi, nada percaya diri jelas terasa.

"Benar juga... Hahaha..." Gelak tawa mereka kembali memenuhi ruangan, membuat suasana serius itu mencair dalam sekejap.

Meskipun kejahilan kakak-kakakku sampai di sana, mereka bahkan masih melakukannya esok harinya.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience