Mendengar perkataan Brian, Dinda merasa lega. Brian sudah menyiapkan bubur yang ia beli di bawah rumah sakit tadi. Dengan sabar pria itu menyuapi Dinda. Wanita itu tersenyum menatap pria yang sangat menyayanginya itu.
“Mas Ian...”, panggil Dinda dengan lembut.
“Iya, kenapa?”
“Ehm... Tentang perasaan Mas Ian... Ehm...”, Dinda tampak enggan mengatakannya.
Brian tersenyum sembari memegang tangan wanita itu.
“Setelah semua masalah ini selesai, aku janji akan segera menikahimu Din”, ujar Brian terang-terangan.
“Kenapa buru-buru Mas?”
“Karena aku ingin segera menjagamu dan merawatmu lebih baik lagi”, ujar Brian dengan bersungguh-sungguh.
“Makasih Mas”, sahut Dinda tersenyum manis pada Brian.
Brian menyuruh Dinda untuk istirahat lagi agar kondisinya semakin membaik. Ia membelai rambut wanita yang kini menjadi kekasihnya itu, sampai Dinda mulai tertidur. Tetesan air mata tiba-tiba berlinang di pipi pria itu. Ia merasa bersalah dan tak ingin jatuh korban lagi.
Brian kemudian naik ke atap rumah sakit dan berteriak-teriak.
“KELUAR KAU MAKHLUK LAKNAT! JANGAN LUKAI ORANG-ORANG YANG KUSAYANGI! AKU LAH YANG KAU INGINKAN! KELUARLAH...!!!”, teriak brian dengan murka.
Brian tersungkur sembari menangis. Angin dingin berembus dengan kencang, seolah sesuatu telah datang. Sesosok Sundel Bolong yang bajunya berlumuran darah terbang mendekati Brian.
Pria itu tersentak karena kedatangan sosok yang mengerikan itu.
“Lakukan apa pun padaku, tapi jangan lukai mereka semua. Mereka tidak bersalah!”, ucap Brian.
“HIHIHIHI...”, sosok itu tertawa dan muncul dengan wajah yang hancur.
“OUCH...”, rintih Brian tiba-tiba, karena merasa sakit di bagian punggung.
Luka yang ia dapat dulu mulai memerah. Mata pria itu berubah merah, seakan sesuatu sedang merasukinya. Sundel Bolong melangkah mendekati Brian, kemudian melilit leher pria itu dengan usus yang menjuntai dari perutnya. Brian meronta-ronta ingin melepaskan cekikan itu. Namun asap putih tebal malah menutupi tubuhnya hingga pria itu menghilang dari sana.
***
Di tempat lain, Ustadz Yusuf baru saja menginjakkan kakinya di bandara. Ia langsung membuka ponsel yang selama ini disimpan dalam tas. Begitu banyak panggilan dan pesan yang menghiasi layar benda pipih tersebut. Namun salah satu pesan yang dikirimkan oleh Brian sempat membuat mata pria tua itu tercengang.
“Jika Pak Ustadz sudah membaca pesan ini, mungkin saya sudah berada di surga bersama kedua orang tua saya. Terima kasih atas semua ilmu dan pelajaran berharga dari Pak Ustadz untuk saya selama ini. Saya sudah menganggap Pak Ustadz seperti ayah saya sendiri. Maafkan semua kesalahan saya selama ini, Pak Ustadz. Dari Brian”
Setelah membaca pesan itu, Ustadz Yusuf langsung bergegas ke rumah Brian. Di perjalanan ia menelepon Brian beberapa kali, namun tidak ada sahutan. Ustadz Yusuf menelepon Dion, namun Dion juga tidak tahu keberadaan adiknya itu. Ia juga menceritakan apa yang terjadi pada keluarganya hari itu.
Ustadz Yusuf segera datang ke rumah sakit untuk melihat keadaan mereka semua. Dan betapa terkejutnya beliau saat melihat keadaan Dion beserta keluarganya.
“Apa yang sebenarnya terjadi Dion?”, tanya Ustadz Yusuf.
Dion menceritakan dari awal sampai akhir. Beliau tak menyangka bahwa Sutinah sudah pergi ke Rahmatullah. Saat ia berada di Mekkah, tak pernah sekalipun ia membuka ponsel karena kesibukannya di tempat tersebut.
“Maafkan atas kedatanganku yang terlambat ini”, ujar pria tua itu dengan lirih.
“Tidak mengapa Pak Ustadz. Sekarang yang penting kita harus mencari keberadaan Brian”, pinta Dion.
***
Terlihat seorang pria terduduk di sebuah kursi dengan bajunya yang berlumuran darah.
BYUR! Siraman air langsung mengagetkan pria yang terduduk lemas itu.
“Di mana aku?”, tanya Brian kebingungan.
“Selamat datang di nerakamu!”, ujar pria lain yang berkumis tipis.
“Kamu siapa? Apa kesalahanku padamu? LEPASKAN AKU...!!!”, teriak Brian memberontak.
“Ouch...”, rintih Brian tiba-tiba.
“Hahaha... Makin kamu berontak, luka itu akan membunuhmu!”, ancam pria itu yang tak lain adalah direktur di perusahaan Dion bekerja.
Sosok Sundel Bolong berdiri tepat di samping Brian. Dari perut wanita itu, keluarlah bayi berbadan merah yang sangat menyeramkan. Bayi itu mendekati Brian.
“Halo kakak...”, ucapnya dengan tawa yang memekakan telinga.
“APA YANG KALIAN INGINKAN?”, teriak Brian.
“Kamu pasti sudah tau apa yang kuinginkan. Apa kamu lupa dengan apa yang sudah ayahmu lakukan? Karena dia, aku menderita seperti ini!”, bentak Zainal.
“Aku tahu semuanya kesalahan ayahku, tapi kenapa kalian melukai kami semua?”
Pria itu mendekat seraya mencengkeram dagu Brian.
“Aku ingin kamu juga kehilangan orang-orang yang kamu sayangi. Sama sepertiku!”
“Aku mohon, bunuh saja aku! Jangan lukai mereka semua, mereka tidak ada sangkut pautnya dengan masalah ini”, isak Brian.
“Mau jadi pahlawan kamu ya?”
Bayi berbadan merah itu langsung merangkak ke tubuh Brian.
“Kamu memang pantas mati!”, ucap Zainal.
Sundel Bolong mengeluarkan usus dari dalam perutnya, kemudian benda itu menggeliat ke tubuh Brian. Usus itu seakan mencekik leher Brian hingga kehabisan napas. Bayi berbadan merah tadi ikut mengeluarkan taring, kemudian menggigiti tubuh Brian yang sudah lemah itu.
“ARGH...!!!”, teriak Brian menahan kesakitan.
“TIDAAAK...!!!”, Dinda bangun dari tidurnya. Napasnya terengah-engah karena melihat Brian disiksa seperti itu dalam mimpinya.
“Mas Ian, Mas...”, Dinda memanggil namanya beberapa kali. Namun Brian seperti sudah menghilang entah ke mana.
Vita yang mendengar teriakan Dinda, segera menghampiri.
“Mbak Dinda sudah bangun?”
“Vit, dimana Mas Ian? Kenapa ia takada di sampingku?”, isak Dinda merasa cemas.
Ustadz Yusuf dan Dion ikut masuk ke ruangan tersebut.
“Dinda, kenapa kamu menangis seperti ini?”, tanya Dion.
“Aku bermimpi Mas Ian sedang dalam bahaya. Aku takut dia kenapa-napa Mas!”, isak wanita itu.
“Bagaimana Pak Ustadz? Apa yang harus kita lakukan?”, tanya Dion.
“Tenanglah, aku akan membantu kalian. Tapi sebelumnya aku ingin bertanya kepada kalian. Apa Brian mengatakan sesuatu tentang kematian kedua orang tuanya pada kalian?”
Semua orang menggeleng. Beliau menghela napas sangat panjang.
“Sepertinya sudah saatnya aku menceritakan semua ini. Kuharap kalian tidak membenci Brian karena ia tidak terlibat sama sekali dengan masalah ini”, ujar Ustadz Yusuf.
Mereka semua mendengarkan Ustadz Yusuf bercerita. Beliau menjelaskan akar permasalahan yang dihadapi Brian sekarang. Ayah Brian melakukan kesalahan yang fatal di masa lalu. Mungkin itu sebabnya ada orang yang dendam kepada Brian. Namun Ustadz Yusuf juga tidak tahu, siapa dalang di balik semua masalah tersebut.
“Berarti ada orang yang sengaja mengirim makhluk itu untuk melukai kami, Pak Ustadz?”, tanya Dion.
“Itu benar! Karena sejatinya tidak ada setan yang mampu melukai manusia. Pasti ada seseorang dibalik semua ini”, ujar Ustadz Yusuf.
Share this novel