Arwah Gentayangan Part 4

Thriller Series 244

Pak Lurah menarik nafas panjang sebelum berbicara. Sementara bapak diam-diam matanya berwisata menjelajahi isi ruangan. Di dinding terlihat foto berukuran 4R, seorang perempuan dengan wajah tirus dan dagu yang lancip, dengan mata belo dan hidung mancung terlihat sedang tersenyum. Lama-lama memperhatikan foto Teh Ratmi membuat bapak merinding.

“Jadi begini Kang Ratmo, saya ingin berterus terang saja, mungkin sampean sudah mendengar selentingan kabar dari sana sini”

Mendengar ucapan Pak Lurah, Nenek Isur langsung pamit untuk pergi ke dapur.

“Kabar apa Pak Lurah?”

“Mengenai istri sampean”

Kang Ratmo langsung diam sejenak, matanya seperti sedang menerawang. Mungkin selama ini sebenarnya dia sudah banyak mendengar mengenai istrinya tapi sedang berpura-pura tuli.

“Saya minta maaf, kalau saya terlalu berterus terang. Tapi mau bagaimana lagi ini sudah sangat meresahkan”, lanjut Pak Lurah.

“Saya tidak tahu apakah kabar-kabar di luar itu benar adanya. Kalau saja benar, semoga Ratmi mau menemui saya, sekali pun dia sudah menjadi arwah”, sanggah Kang Ratmo.

“Saya mengerti, tapi tentunya kejadian ini sudah sangat meresahkan warga. Kita ingin keadaan kembali kondusif. Walaupun begitu, sebenarnya saya tidak punya hak untuk ikut campur urusan pribadi sampean. Tapi ini karena sudah menyangkut ketenangan banyak orang, mau tak mau saya harus ikut andil di dalamnya”

“Jadi maksud Pak Lurah?”, tanya Kang Ratmo.

“Maafkan saya sebelumnya. Beberapa hari yang lalu saya mengecek mengenai gosip orang-orang tentang Ratmi sebagai pembuktian. Dan ternyata memang begitu adanya. Saya sebagai kepala desa di Tegal Sari ini, ingin kembali warganya hidup tentram seperti sedia kala”

“Saya memang sudah mendengar kabar hantu istri saya itu pak, tapi saya tidak mengerti ucapan bapak yang berbelit-belit itu. Saya tidak akan marah, berterus terang saja jangan sungkan-sungkan”, jawab Kang Ratmo memotong pembicaraan.

“Begini, menurut sepengetahuan saya jika seseorang mati dan arwahnya bergentayangan berarti masih ada urusan dunia yang belum ia selesaikan. Itu hanya pengentahuan saya saja sebagai awam, karena saya bukan ahlinya dalam dunia spiritual dan gaib macam ini. Jadi siapa tahu ada suatu hal yang mengganjal atau amanat almarhum yang belum dilaksanakan”

“Siang hari sebelum Ratmi meninggal, dia bersikap seperti biasanya Pak Lurah. Pagi hari dia membuat makanan untuk bekal saya kerja, begitu pun sore hari, kami di sini duduk bertiga dan masih bercanda. Saya tidak tahu kalau dia punya beban, karena toh dia tak pernah cerita sama saya selama ini”, mata Kang Ratmo tiba-tiba sayu saat mengenang kembali almarhum istrinya.

“Tapi apakah ada tanda-tanda aneh? Maaf sebelumnya, ini soal kabar orang-orang mengenai perkumpulan pengajian itu”, lanjut Pak Lurah.

“Saya tidak telalu memantau aktivitasnya selama ini, tapi bila Ratmi mengikuti pengajian di desa sebelah memang benar. Saya kira dia ikut bergabung dengan ibu-ibu di kampung ini. Tapi ternyata dia pergi ke sana sendirian. Saya tidak masalah mengenai hal itu, karena selama ini tidak mengganggu kesehariannya”

“Tapi kalau yang aneh, saya tidak tahu apakah ini terdengar aneh atau tidak bagi Pak Lurah. Semenjak istri saya bergabung dengan pengajian di desa sebelah, dia jadi sering berbicara mengenai akhirat, kematian dan kehidupan”, lanjut Kang Ratmo.

“Terus…”, Pak Lurah tampak antusias.

“Suatu malam dia pernah bercerita kepada saya, betapa sangat dia merindukan surga. Dia sudah terlalu lelah hidup di dunia ini, tapi bukan berarti dia tidak bahagia hidup dengan saya. Ada hal-hal besar yang tidak bisa ia jangkau yang membuat hatinya terus gelisah. Setiap hari dia harus melihat ketimpangan sosial yang terjadi, yang melarat hidupnya semakin melarat, yang kaya hidupnya makin sejahtera. Dia ingin sekali membantu, tapi apa daya katanya. Kami juga dari golongan kelas bawah, dan bila membantu orang-orang susah yang ada malah kita juga ikut susah”

“Waktu itu saya menganggap Ratmi hanya ngelantur saja, tidak seperti biasanya dia berbicara seperti itu, mungkin karena kecapean. Tapi setelah saya biarkan, bicaranya semakin dalam ke hal-hal lain. Saya masih lupa-lupa ingat, karena waktu itu saya mendengarkannya dalam keadaan setengah mengantuk”, lanjut Kang Ratmo.

Ketika Kang Ratmo selesai berbicara, wajah Pak Lurah nampak merah. Mungkin dia sedikit tersindir. Memang keadaan di kampung kami belum sepenuhnya sejahtera. Masih banyak orang-orang yang hidup di bawah garis kemiskinan, sawah-sawah hanya dikuasai oleh beberapa orang kaya saja. Kebanyakan dari warga bekerja sebagai buruh musiman, kalau yang beruntung mungkin bisa bekerja di perkebunan kakao milik pemerintah dengan gaji tetap setiap bulan.

Bapak saya juga hanya seorang buruh tani, tapi untunglah kami memiliki beberapa petak sawah sebagai jaminan agar kami tidak kelaparan. Tentunya kita tidak bisa menyalahkan Pak Lurah karena dia juga hidup pas-pasan. Menyalahkan pemerintah? Kami juga tidak tahu apa yang dimaksud dengan pemerintah. Bahkan banyak warga desa yang tidak tahu nama bupati yang memimpin mereka. Warga desa banyak yang berdamai dengan nasibnya dan mengganggap ini hanya ujian dari Tuhan.

“Jadi tidak ada amanat atau pesan apa pun yang ditinggalkan?”, Pak Lurah mulai berbicara lagi.

“Tidak ada. Saya sudah pasrah apa pun yang akan dilakukan Pak Lurah untuk mengatasi hal ini. Jangan takut saya tersinggung atau bagaimana, saya juga ingin arwah istri saya tenang di alam sana”

Pertemuan sore itu berbuah nihil kata bapak, kecuali sindiran keras buat Pak Lurah. Tapi setidaknya sekarang kita sudah mendapatkan ijin dari Kang Ratmo bila ingin memanggil orang pintar untuk menyelesaikan masalah ini.

“Si Ratmi memang sudah stres kayanya, Dia sudah kedoktrin dengan petuah-petuah guru ngajinya, kalau menurut suaminya dia sering bicara ngelantur begitu!”, kata Pak Lurah kepada bapak dalam perjalanan pulang.

“Jadi tindakan selanjutnya apa pa?”, tanya bapak saya.

“Yang pasti saya harus memberitahu kepala desa sebelah mengenai aktivitas pengajian yang dipimpin orang kota itu”, rupanya Pak Lurah tampak geram semenjak keluar dari rumah Kang Ratmo.

“Terlepas dari itu, maksud saya untuk kelanjutan teror hantu Ratmi ini mau gimana, Pak?”

“Oh… Kamu kumpulkan saja beberapa orang, nanti malam kita rapat di bale desa”, jawab Pak Lurah.

***

Dinginnya angin malam menembus tulang, riak-riak air sungai terdengar dari kejauhan bergantian dengan suara gemuruh angin yang kadang terdengar. Namun bila keadaan benar-benar sunyi senyap, terdengar suara rintihan wanita seperti menggedor-gedor pada setiap pintu rumah.

Malang sekali nasib Teh Ratmi, entah apa yang diinginkannya sampai arwahnya saja tak mau meninggalkan dunia.

Bila ada warga yang penasaran akan cerita-cerita hantu Teh Ratmi, cukup duduk santai di teras rumah menjelang jam 12 malam. Mungkin bila beruntung akan melihat seorang wanita berdaster sedang berjalan, lewat di depan rumah. Tapi jangan coba-coba untuk memanggilnya, bila tak mau melihat wajah pucat yang tampak mengerikan.

Mungkin kamu masih mengingat Kang Usman. Hidupnya jadi tak tenang karena bayang-bayang mengerikan itu masih tinggal di kepalanya. Setiap malam Jumat, kini dia selalu menginap di rumah mertuanya. Katanya setiap kali tidur, istrinya selalu ketakutan karena tragedi mengerikan itu terjadi hanya beberapa meter saja dari rumahnya.

Saya pernah melihat Kang Usman dengan wajah tampak lelah sedang bercerita dengan bapak-bapak yang lainnya siang hari di sawah. Katanya Jumat sore kemarin, dia sedang bersiap-siap untuk pergi menginap di rumah mertua. Dia membersihkan rumah, menyiapkan baju ganti dan menyiapkan singkong mentah yang akan digoreng nanti di rumah mertuanya sebagai cemilan.

Sebelum berangkat, dia nongkrong di teras rumah sambil menikmati sebatang rokok kretek. Waktu masih menunjukkan jam lima sore, Kang Usman menunggu adzan maghrib tiba, karena biasanya dia menunggu gelap dulu untuk menyalakan lampu listrik di rumahnya sebelum berangkat.

Bayang-bayang jasad Teh Ratmi yang tergantung di pohon rambutan kadang-kadang sekelebat terlihat di depan mata kata Kang Usman. Dia kembali menghisap rokok kreteknya dalam-dalam untuk menenangkan pikiran. Namun dalam keadaan tenang tersebut tiba-tiba dari dalam rumahnya terdengar kegaduhan, persisnya dari arah dapur.

Awalnya Kang Usman membiarkan saja, karena dia mengira itu ulah kucing. Tapi kok lama-lama terdengar suara gemerincing minyak panas. Ketika Kang Usman menengokan kepala ke arah dapur, terlihat seorang perempuan sedang berdiri di depan kompor. Awalnya dia tidak kaget dan mengira itu istrinya, namun saat kembali duduk di teras depan, dia baru tersadar bahwa istrinya sudah lebih dulu berangkat tadi sehabis ashar.

“Jadi siapa yang berdiri di depan kompor tadi, Man?”, tanya temannya.

“Siapa lagi kalau bukan setan! Dan yang bikin merinding lagi saat saya masuk ke dalam rumah, di meja makan terhidang singkong goreng yang tadinya saya akan bawa ke rumah mertua”, jawab Kang Usman.

Kata Kang Usman, saat dia masih kaget dengan hidangan singkong goreng, tiba-tiba dari arah dapur tampak sosok perempuan yang sedang berjalan menuju pintu belakang. Sosok tersebut mengenakan daster merah dangan motif kembang-kembang. Tubuh Kang Usman tiba-tiba saja menjadi kaku dan dingin, mau berteriak tapi tiada suara yang keluar.

“Tolong saya bang…”, ucap sosok perempuan itu tanpa membalikkan badan, kemudian menghilang dari pandangan mata Kang Usman.

“Kamu diteror terus, punya salah kali sama si Ratmi?”, tanya temannnya lagi.

“Hus, sembarangan kalau ngomong!”, jawab Kang Usman dengan wajah masih pucat, mungkin karena masih ketakuan membayangkan hal-hal mengerikan yang pernah dialaminya.

Share this novel

Guest User
 

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience