Santet Part 9

Thriller Series 244

“Jadi seperti ini kejadiannya pak”, Kang Asep mulai bercerita. Semua orang yang ada di ruangan itu, saya, ibu dan kedua adik saya mendengarkan dengan seksama.

Menurut Kang Asep, dua hari kemarin Teh Ratih mulai pulih. Entah karena mulai terbiasa atau tidak peduli lagi, sedikit demi sedikit teror yang dihadapinya mulai bisa ia atasi. Kini ia tak peduli lagi dengan bayangan hitam yang selalu terlihat di luar rumahnya menjelang malam tiba. Suara wanita yang terus terngiang di telinganya sudah ia anggap biasa, bahkan teror itu sudah jarang. Mungkin karena kondisi rumah Kang Asep yang selalu ramai. Menurut Kang Asep, ia meminta tetangganya untuk menginap di rumahnya secara bergantian. Sedangkan ibu mertuanya sejak Teh Ratih mengalami teror, ia memutuskan untuk tinggal di sana, walaupun adik iparnya harus bolak-balik mengecek rumah sekedar untuk bersih-bersih atau mengambil baju ganti.

Menurut Kang Asep, malam itu di rumahnya cukup ramai, ada dua orang perempuan tetangganya yang menginap. Sedangkan Kang Asep berjaga di bangku depan rumah ditemani adik iparnya. Ketika sedang menikmati segelas kopi dan rokok kreteknya, tiba-tiba gerimis turun, yang memaksa Kang Asep untuk masuk ke dalam rumah. Sekitar tengah malam, gerimis telah berubah menjadi hujan lebat, dan semua orang sudah terlelap, kecuali Teh Ratih. Ia waktu itu yang terbangun karena ingin buang air kecil

Teh Ratih tidur di ruang tengah ditemani ibu dan dua orang tetangganya yang menginap di sana. Sedangkan Kang Asep tidur di sofa ruang tamu. Teh Ratih mencoba mengguncang-guncangkan pelan tubuh ibunya untuk minta ditemani ke kamar mandi.

Kang Asep ini memiliki kamar mandi yang terpisah dari rumahnya, dan memiliki sebuah sumur sebagai sumber air bersih. Maklum, di desa Kang Asep yang letaknya cukup jauh dari kecamatan atau hampir bisa dibilang sangat pelosok itu, warganya tidak memiliki akses air bersih yang langsung ke rumah-rumah. Ada sebenarnya MCK yang didirikan sebagai pusat air bersih warga, namun sebagian orang lebih memilih cara tradisional untuk mendapatkan air bersih agar tidak bolak-balik mengangkutnya dari MCK, yaitu dengan cara menggali sumur.

Hujan turun sangat deras disertai angin kencang. Malas sebenarnya Teh Ratih harus pergi ke belakang, namun kali ini sudah tidak bisa dikompromi lagi. Karena ibunya tak kunjung bangun, ia memutuskan untuk pergi sendiri. Namun tiba-tiba lampu di rumahnya mati, keadaan menjadi gelap gulita. Ia mengambil korek api untuk menyalakan lilin, yang sudah dipersiapkan sebelumnya.

Warga di kampung, termasuk di kampung saya juga biasanya selalu siaga untuk menyiapkan lilin bila hujan tiba, apalagi kalau hujannya dibarengi petir yang tak henti-henti.

Teh Ratih keluar lewat pintu belakang hanya ditemani cahaya lilin dan payung. Menurut Teh Ratih, tidak kepikiran waktu itu akan diganggu hal-hal aneh lagi. Namun ketika membuka pintu kamar mandi, samar-samar dalam suara derasnya hujan yang mengguyur atap rumahnya terdengar suara wanita menangis. Teh Ratih berhenti sejenak, untuk memastikan bahwa suara itu memang suara orang bukan suara angin atau pun air hujan.

Suara tangisan wanita itu semakin kencang, terdengar begitu lirih seperti orang kesakitan. Dalam hatinya, Teh Ratih mengutuk, "Dasar setan sialan, tak henti-hentinya menggangguku!". Teh Ratih mencoba menghiraukan dan langsung masuk ke kamar mandi. Tapi lama-kelamaan suara perempuan itu sedikit mengganggu. Karena Teh Ratih sudah geram, dengan mengenyampingkan rasa takut dia memberanikan diri untuk mencari arah suara tangisan itu berasal.

Suara tangisan itu berasal dari arah samping. Teh Ratih yang baru selesai keluar dari kamar mandi langsung membuka pintu. Sebatas mata memandang hanya kegelapan dan air hujan yang terlihat. Teh Ratih menengok ke kiri dan ke kanan, tapi tak ada seorang pun terlihat.

“Heh sundal! Keluar kau!”, tantang Teh Ratih teriak di tengah malam.

Suara tangisan itu kini semakin jelas, terdengar dari arah sumur milik Teh Ratih. Teh Ratih yang merasa ditantang, dia keluar tak peduli lagi dengan derasnya air yang membasahi tubuhnya.

Teh Ratih mendongkak untuk melihat ke dasar sumur. Dengan susah payah ia mencoba memencingkan matanya yang terhalang cucuran air dari rambutnya. Lilinnya sudah tentu padam. Begitu kepala Teh Ratih mulai mendongkak ke bawah, suara itu terdengar lebih jelas.

“Dasar sundal!”, ucap Teh Ratih yang kemudian mengambil batu dari samping rumahnya yang ukurannya sebesar helm yang ia angkat dengan susah payah.

BYUR...!!! Terdengar bunyi yang menggema di dalam sumur yang diikuti dengan jeritan suara perempuan. Untuk sejenak suara perempuan itu hilang. Teh Ratih yang merasa sudah puas, mendongkak lagi untuk mengecek ke dalam sumur. Terlihat sesosok tubuh dengan rambut basah tergerai panjang menggelantung di tali timba sumur. Dalam sekejap keberanian Teh Ratih luntur dan membuatnya tersentak kaget bukan main.

Tubuh Teh Ratih lemas tidak berdaya. Dia masih terduduk di tanah menyaksikan tali timba yang terus bergerak seperti ada seseorang yang sedang menariknya dari bawah. Teh Ratih mencoba berteriak memanggil suaminya, namun suara hujan yang deras telah meredam suaranya. Teh Ratih tak sadarkan diri saat melihat sesosok wanita yang hendak menyeret kakinya agar ikut masuk ke dalam sumur.

Teh Ratih ditemukan di pinggiran bibir sumur dan hampir saja nyemplung ke bawah sekitar jam 4 subuh oleh ibunya yang menyadari karena anaknya tidak ada di kasur. Peristiwa itu menggemparkan warga kampung, karena mungkin dua tetangga Kang Asep yang malam itu menginap membeberkannya ke warga yang lain. Bahkan menurut Kang Asep, beberapa warga sampai datang menjenguk juga, karena isu yang berkembang di masyarakat katanya Teh Ratih mau bunuh diri dengan cara terjun ke dalam ke sumur.

Ketika Kang Asep menimba air sumur untuk mengisi bak mandinya, secara tak sengaja dalam ember air yang ia tarik terdapat bungkusan pocong kecil seperti dulu yang ditemukan Kang Asep di bawah batu. Rupanya si pengganggu belum kapok-kapok juga.

“Ini pak, ditemukan lagi”, ucap Kang Asep setelah selesai menceritakan peristiwa istrinya sambil menyodorkan pocongan kecil.

Karena bapak tak tega mendengar cerita Kang Asep  dengan terpaksa dia mau turun tangan lagi, karena menurut bapak ini sudah keterlaluan. Kalau niatnya cuma ngasih pelajaran mungkin masih bisa ditolerir, tapi ini sudah niat mencelakakan.

Keesokan harinya, sekitar jam 3 sore keluarga saya datang ke rumah Kang Asep. Saya memakai motor pinjaman dari adik bapak untuk membonceng kedua adik saya. Teh Ratih terlihat memprihatinkan ketika kami datang ke sana. Tubuhnya tampak kurus tinggal tulang yang terbalut kulit. Kehidupannya tak tenang, teror yang terus dialaminya membuat hidupnya berantakan.

Sebelum kami pulang, bapak berpesan pada Kang Asep, agar jangan membiarkan Teh Ratih keluar rumah sendirian. Si pelaku santet tak berani masuk rumah karena sudah dihalangi pagar gaib, maka dia berusaha mengajak si korban keluar rumah untuk diperdaya.

Keesokan harinya setelah pulang dari rumah kang Asep, saya diajak bapak untuk menemui seorang pria, yang ternyata adalah seorang paranormal cukup terkenal di kampung saya. Jadi di kampung saya itu ada seorang pria tua yang cukup tersohor. Banyak orang-orang besar dari kota yang datang ke rumahnya.

Tidak bisa dipungkiri, percaya atau tidak memang masih banyak orang-orang yang datang ke orang pintar atau paranormal untuk meminta restu agar semua urusannya lancar. Masalah bisnis, pencalonan diri jadi aparatur negara sampai masalah kecil seperti ingin lolos tes CPNS, banyak dari kita yang menggunakan jasa mereka atau bahkan datang ke tempat-tempat keramat. Saya tak mengerti apakah ini termasuk menyekutukan Tuhan atau tidak, tapi begitulah adanya.

Saya tidak begitu kenal dengan pria tua ini, karena jarang bergaul dengan warga mungkin karena terlalu sibuk dengan tamu-tamu kotanya itu. Yang pasti, seluruh kampung sudah tahu pria tua ini. Dengan nama yang akan saya samarkan, yaitu Aki Merah. Begitu mungkin saya akan menyebutnya karena saat pertama kali melihatnya, dia mengenakan baju merah.

Ketika kami datang Ki Merah sedang asyik memandikan burung perkututnya, kebetulan hari itu tidak ada tamu yang datang ke rumahnya. Ketika basa-basi selesai dan kami dipersilahkan masuk, mimik muka bapak yang tadinya ramah kini berubah menjadi serius.

“Sudahlah Ki! Akhiri semuanya!”, ucap bapa pada Ki Merah.

Entah benar-benar tidak mengerti atau hanya pura-pura, Ki Merah tampak kebingungan dengan ucapan bapak. Dia menatap bapak lekat-lekat dengan penuh rasa curiga.

“Kasihan, dia masih muda. Apa pengalaman yang dulu tidak membuat Aki belajar?”. Seakan tidak peduli dengan mimik muka Ki Merah, bapak terus melanjutkan ucapannya.

“Apa maksudmu?”, Ki Merah akhirnya merespon.

“Entah ada yang menyuruh Aki, atau Aki sendiri yang punya urusan dengan orang ini. Tolong jangan ganggu dia lagi, saya benar-benar memohon kali ini. Istrinya tampak menderita karena ulah Aki”, bapak masih tetap melanjutkan ucapannya dan tidak menggubris pertanyaan Ki Merah.

Usai menyampaikan permohonannya, bapak mengajak saya untuk pergi meninggalkan Ki Merah dengan wajah penuh tanda tanya. Sempat terbesit juga dalam benak saya, apa yang sebenarnya sedang dilakukan bapak. Jikapun bapak sudah mengetahui orang yang telah mengganggu keluarga Kang Asep, apakah benar Ki Merah orangnya? Apakah bapak tidak salah melemparkan tuduhan tersebut?

Ingin rasanya saya bertanya tentang ulahnya tadi siang di rumah Ki Merah, tapi saat melihat mimik muka bapak yang tidak seperti biasanya, membungkam keberanian saya untuk bertanya. Mungkin kita biarkan saja waktu yang akan menjawabnya, saya hanya penonton biasa yang hanya ikut menyimak.

Sore hari sepulang dari rumah Ki Merah, rumah saya kedatangan tiga tamu. Satu pria dengan kumis lebat mengenakan peci hitam, dan dua pria lagi mengenakan kaos oblong biasa yang dibalut dengan jaket kulit berwarna coklat. Saya tidak mengenal ketiga pria tersebut, yang pasti bukan warga dari kampung saya.

Begitu dipersilahkan masuk, mereka segera duduk. Si pria berpeci hitam yang ternyata setelah memperkenalkan diri adalah seorang lurah dari kampung Kang Asep.

“Ada apa ya pak?”, tanya bapak.

Pak lurah mulai menceritakan kejadian di kampungnya, bahwa Kang Asep hampir saja membunuh salah satu warganya. Untung hal tersebut masih bisa dicegah sehingga tidak ada korban. Kejadian itu berlangsung saat warga terlelap tidur sekitar jam 10 malam. Warga yang terbangun karena mendengar suara teriakan minta tolong dari seorang pria.

Lantas setelah Kang Asep dan warga yang jadi sasaran kemarahannya ini dibawa ke balai desa, maka masalah mulai terungkap di sana. Kang Asep merasa curiga bahwa pria yang ternyata seorang pegawai perkebunan teh ini menjadi ulah dari guna-guna istrinya. Tadinya pak lurah berniat akan membawa masalah ini ke polisi, tapi takutnya terjadi salah paham. Maka pria berpeci hitam tersebut bilang kepada bapak bahwa sebelum masalah ini dibawa ke ranah hukum, ia ingin menyelesaikannya dulu secara kekeluargaan.

“Dan saya mendengar bahwa Asep berobat atau konsultasi dengan bapak. Apakah bapak yang memberi tahu pelaku guna-guna istrinya itu?”, ucap pak lurah.

Bapak merasa kaget mendengar kabar tersebut, tentu saja dia belum pernah berbicara apa pun masalah pelaku atau pun orang yang ada di belakang santet istrinya. Kenapa Kang Asep gegabah bertindak tanpa memberitahu dahulu? Kalau begini caranya, Kang Asep malah menyeret bapak masuk ke dalam masalah. Hendak menolong anjing yang terjepit tapi balasan terima kasihnya malah menggigit.

Agar semua beres dan jelas, maka bapak bersedia datang ke kampung Kang Asep untuk musyawarah di balai desa menyelesaikan masalahnya. Saya ikut membonceng bapak, sekaligus ingin menjawab rasa penasaran saya, apa yang akan terjadi selanjutnya.

Begitu kami sampai, keadaan di dalam ruangan balai desa sudah ramai oleh warga. Di depan terlihat Kang asep yang sedang duduk di kursi kayu di sebelah kanan, sedangkan di arah berlawanan tampak seorang pria yang juga duduk dengan wajah gelisah penuh ketakutan. Baru belakangan saya tahu bahwa pria yang hampir saja jadi sasaran amukan Kang Asep ini bernama Kang Mardi.

Pak lurah mulai membuka musyawarah. Saya duduk bersama warga lainnya, sedangkan bapa berada di depan bersama pak lurah. Suasana di balai desa ini mirip sekali di ruang persidangan. Kang Asep sebagai terdakwa, Kang Mardi sebagai korban, sedangkan pak lurah tampak seperti hakim pengadilan.

“Kenapa kamu ingin membunuh Mardi?”, tanya pak lurah.

“Karena dia sudah mengguna-guna istri saya, kampret kau Mardi!”, teriak Kang Asep dengan penuh amarah.

“Saya tidak melakukan apa pun pada istrinya. Siapa yang bilang bahwa saya pelakunya? Apakah dia? Dia si dukun sialan itu yang memberitahumu, sehingga timbul fitnah ini?”, Kang Mardi tak kalah geram sambil menunjuk-nunjuk muka bapak yang masih santai duduk di samping pak lurah.

Jujur saya sedikit tersinggung ketika bapak dikatakan dukun sialan oleh Kang Mardi. Pertama, bapak saya bukan dukun dan tidak membuka praktek. Kedua, manusia sialan tidak akan mau membantu orang lain apalagi pertolongannya itu bisa membahayakan keluarganya. Mungkin bapak saya bukan malaikat yang seratus persen orang baik dan sempurna, tapi tetap saja saya merasa marah ketika mendengar ucapan Kang Mardi.

Semua mata tertuju pada pada bapak termasuk pak lurah. Tanpa perlu ditanya lagi, bapak kemudian membuka mulut.

“Sep, apa saya pernah mengucapkan satu nama terkait pelaku yang mengguna-gunai istrimu?”, tanya bapak.

Kang Asep hanya diam tak memberikan jawaban apa pun, wajahnya tertunduk mungkin karena malu. Pak lurah mengulang pertanyaan bapak kepada Kang Asep untuk mendapatkan jawaban pasti.

“Memang tidak pak, tapi si Mardi ini kan dulu sempat berhubungan dengan Ratih sebelum akhinya saya menikahinya. Lagian tadi malam dia terlihat lewat di depan rumah saya malam-malam. Sudah barang tentu dia pelakunya pak lurah!”, ucap Kang Asep masih dengan nada geram.

“Saya semalam hanya lewat pak lurah, tidak ada maksud apa-apa. Lagian, emang istrimu itu bidadari? Masih banyak wanita cantik di luar sana yang bisa saya dapatkan!”, ucap Kang Mardi yang tak kalah emosi.

Ketika Kang Mardi mau berkata lagi, Kang Asep beranjak dari duduknya dan meloncat sambil melayangkan satu pukulan tepat di pipi sebalah kiri Kang Mardi. Suasana di balai desa kembali riuh. Ada warga yang sibuk menarik Kang Asep agar tidak berkelahi, namun sebagian lagi bersorak ketawa-ketiwi menyaksikan adegan yang jarang terjadi ini.

Kang Mardi yang merasa dirinya dilecehkan karena dipukul di muka umum, merasa marah dan balik ingin menyerang. Tentu saja hal ini membuat warga kerepotan memisah dua pria yang sedang dikuasai amarah ini.

Hampir lima belas menit kegaduhan berlangsung, hingga keadaan kondusif kembali. Kedua pria yang berkelahi ini kembali duduk tenang dengan kawalan beberapa warga di sampingnya, sekedar jaga-jaga agar kerusuhan tidak terulang kembali.

“Saya tidak sedikit pun mengganggu istrinya, pak lurah. Memang apa buktinya kalau saya yang melakukan guna-guna itu hah? Lagian saya baru tahu kalau istrinya diguna-guna, pak lurah. Bukankah dari kabar yang saya dengar istrinya mau bunuh diri di sumur belakang rumahnya? Lalu sekarang dia marah-marah menuduhku yang tidak-tidak. Apakah ini cara kau saja untuk mencari kambing hitam atas ketidakbecusanmu mengurus istri?”  bentak Kang Mardi yang mungkin merasa emosi karena pukulan Kang Asep belum ia balas.

Kang Asep hendak kembali loncat dan melayangkan pukulan, namun kali ini ada dua orang warga yang menahannya. Begitu juga Kang Mardi, kedua tangannya dipegang warga lainnya seperti seorang tahanan.

Pak lurah tampak kebingungan, apa yang harus dia lakukan untuk menyelesaikan pertikaian kedua warganya ini? Setelah berpikir cukup lama, dan membiarkan Kang Mardi dan Kang Asep beradu mulut, akhirnya pak lurah menggebrak meja. Keadaan menjadi hening, semua mata tertuju kepada pak lurah.

“Begini saja! Kita tak punya bukti bahwa Mardi yang menyantet istrinya Asep. Tapi untuk menghilangkan rasa penasaran Asep, yang menuduh bahwa Mardi pelakunya, mari kita tanya saja ke ahlinya, orang yang lebih ngerti tentang hal-hal seperti ini”, ucap pak lurah, yang kemudian memalingkan pandangannya kepada bapak saya.

“Menurut bapak yang lebih ngerti tentang hal-hal seperti ini, sebenarnya siapa orang yang telah tega mengguna-gunai istrinya si Asep ini? Apakah Mardi orangnya atau ada orang lain?”, tanya pak lurah.

Mendengar pertanyaan pak lurah, mimik muka bapak tampak kebingungan, apa yang harus dia katakan sekarang? Ditambah lagi, semua mata warga tertuju padanya. Keadaan hening, semua warga terlihat serius siap-siap mendengarkan ucapan yang akan keluar dari mulut bapak saya. Hingga akhirnya, bapak menarik nafas dalam-dalam sebelum ia mulai berbicara.

Share this novel

Guest User
 

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience