BAB 2

Drama Completed 373

Hari ini Kartika memenuhi janjinya pada Miranti. Ia akan pergi makan siang dengan Setyo di restoran ternama yang ada di kota, tanpa sepengetahuan Hilman. Hubungan Kartika dan Hilman baik-baik saja. Mereka tidak memberi label apapun pada hubungan mereka karena Hilman ingin langsung menikahi Kartika jika Kartika sudah siap, tanpa bertunangan terlebih dahulu. Kartika hanya tidak ingin terjadi kesalahpahaman dan tidak ingin menyinggung perasaan Hilman jika Hilman tahu bahwa kakaknya sedang berusaha menjodohkannya.

“Aku dengar kamu jadi konsultan sekarang?” tanya Setyo disela acara makan siang mereka.
“Iya, Alhamdulillah. Begitu selesai S2 aku langsung dikontrak.”
“Kenapa nggak buka firma sendiri saja?”
“Mungkin nanti, setelah banyak pengalaman. Aku juga masih banyak belajar dari senior-senior di kantor.” Setyo mengangguk mendengar jawaban Kartika .

Kartika tidak akan berbohong kalau Setyo memang laki-laki yang menarik. Setelan bermerek, sikap dan percaya diri yang mengesankan, ditambah wawasan yang luas. Setyo memiliki segala kelebihan dan keunggulan yang diharapkan oleh para orangtua untuk menjadi calon menantunya. Mungkin respon Ayah dan Bunda akan berbeda jika Kartika mengatakan akan menikahi Setyo. Ayah dan Bunda pasti akan langsung menyetujuinya tanpa harus mempertanyakan rencana masa depan mereka.
Berbeda dengan respon yang Kartika terima saat ia mengatakan akan menikahi laki-laki sederhana tamatan SMA yang bekerja sebagai montir di bengkel kecil. Tanpa harus bertanya, Ayah dan Bunda sudah bisa menebak jumlah penghasilan Hilman yang bahkan tidak sampai setengah dari gaji yang Kartika terima setiap bulannya. Saat kedua orangtuanya menanyakan kenapa Kartika begitu yakin dengan Hilman, Kartika memberikan jawaban yang sama seperti yang ia katakan pada kakaknya, Miranti. Ia yakin dan percaya Hilman adalah laki-laki yang bertanggungjawab.

“Setelah ini kamu mau mampir ke suatu tempat?” tanya Setyo setelah membayar tagihan mereka.
Kartika mengangguk pelan. “Singgah sebentar ke rumah orangtuaku, nggak apa-apa?”
“Nggak masalah.” Setyo menyetujui.

Sepanjang perjalanan pulang, Setyo berbagi pengalamannya selama bekerja di BUMN. Ia seorang teknisi yang digaji dua kali lipat dari penghasilan Kartika . Kartika bisa menangkap rasa bangga saat Setyo bercerita mengenai usaha dan kerja kerasnya hingga bisa mendapatkan posisi di sana. Wajar saja, untuk mendapatkan pendidikan yang harus dibayar saja begitu susah apalagi mendapat pekerjaan yang bersedia membayar tinggi untuk kerja keras kita.

“Kelihatannya sepi,” kata Setyo saat mendapati pagar dan pintu rumah tertutup rapat.
“Mungkin Ayah dan Bunda sedang keluar.” Kartika membuka pagar, kemudian mengambil kunci rumah yang disimpan di bawah salah satu pot bunga. “Ayo masuk,” ujarnya setelah membuka pintu.
“Ayah dan Bunda kamu cuma tinggal berdua?” tanya Setyo.
“Iya,” Kartika mempersilahkan Setyo duduk dengan sopan. “Kamu mau teh?” tawarnya.
“Ya, terimakasih. Jangan terlalu manis,” jawab Setyo. Kemudian Kartika berlalu ke dapur.
“Assalamualaikum,” Setyo mendengar ucapan salam dari luar. Ia berdiri dan berjalan ke pintu depan.

Seorang laki-laki paruh baya sedang berjalan dari pagar menuju ke rumah. Setyo perhatikan laki-laki itu baik-baik. Pakaian lusuh dengan kopiah hitam dan kain sarung dengan tangan kanannya memegang sebuah map. Setyo menggeleng heran dan menunjukkan raut tidak sukanya. Oh Setyo begitu benci para pencari uang instan. Mengemis atas belas kasihan ataupun meminta sumbangan mengatasnamakan mesjid dan perkumpulan agama sama saja artinya dengan orang-orang berjiwa pemalas. Segala sesuatu bisa dijadikan lahan pekerjaan yang menghasilkan imbalan sesuai dengan usaha yang diberikan. Hanya uang bentuk itulah yang pantas didapatkan oleh manusia yang masih memiliki kelengkapan fisik dan tenaga.
“Maaf, Pak… Pak…” Setyo mengangkat tangannya dan menghentikan langkah laki-laki tersebut. “Datangi rumah yang lain saja,” kata Setyo.
Wajah laki-laki itu berkerut marah. “Apa?” tanyanya dengan nada tersinggung.
“Manusia zaman sekarang kalau sudah tau cara gampang cari duit, sudah nggak mau bekerja keras lagi. Saya lihat bapak masih sehat dan sanggup bekerja. Jangan pakai cara mudah untuk mendapatkan uang dari orang yang mati-matian mencarinya. Bapak cari saja orang lain yang bisa dibodohi dan gampang merasa kasihan.” Setyo menunjuk pintu gerbang dengan tangannya, secara tidak langsung mengusir laki-laki tersebut.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience