BAB 3

Drama Completed 373

“Kurang ajar!” Laki-laki tersebut membanting map yang dibawanya ke tanah. Kedua tangannya mengepal menahan emosi.
“Satu lagi sifat manusia zaman sekarang. Kalau sudah terbiasa dikasih apa yang diminta, sekalinya tidak dikasih malah jadi emosi. Kalau saja bapak tau bagaimana susahnya mencari uang, bapak tidak akan marah melihat sikap saya.” Setyo berbalik dan kembali ke rumah, meninggalkan laki-laki tua itu di luar dengan muka merahnya.

“Ada apa?” Kartika kembali ke ruang tamu dengan secangkir teh di tangannya. Ia perhatikan mimik muka Setyo terlihat tidak nyaman.
“Pengemis,” lirih Setyo kemudian meraih cangkir teh untuknya.
“Assalamualaikum,” mendengar salam tersebut, alih-alih menjawabnya, Setyo justru bangkit dengan emosi dan memandang ke arah pintu depan.
“Pak!” teriaknya marah. Bibir Kartika terkunci beberapa saat, begitu terkejut melihat sikap Setyo tersulut emosi.
“Kartika …,” panggil laki-laki tua tersebut.
“A-ada apa ini Ayah?”
“AYAH?” Mata Setyo membulat kemudian ia melihat ke arah Kartika . Wajahnya menunjukkan semburat merah pertanda malu. Ia melangkah mendekati Ayah Kartika dan meraih tangan lelaki tersebut. “Pak, maafkan saya. Saya tidak tau. Maafkan saya,” ucap Setyo penuh penyesalan.
Ayah Kartika membiarkan tangannya disentuh oleh orang yang baru saja menghinanya dan menyangkanya seorang pengemis. Meski terluka, ia tahu adalah hal salah jika kita menghakimi orang yang tidak tahu.
Hanya sebentar Setyo sanggup berdiri di depan Ayah. Tidak lama setelah itu ia pamit pulang dengan sopan kepada Kartika dan ayahnya. Rona malu itu masih terpampang jelas meskipun Setyo menundukkan wajahnya.

“Sebenarnya ada apa, Yah? Kenapa Setyo jadi salah tingkah begitu?” Kartika membawa ayahnya duduk di sofa.
“Dia siapa?” tanya Ayah.
“Setyo, laki-laki yang dikenalkan Kak Miranti sama Kartika , Yah.”
“Pekerjaannya apa?” tanya Ayah lagi.
“Teknisi di perusahaan BUMN, Yah. Gajinya lebih besar daripada gaji Kartika . Berpendidikan tinggi dan menurut Kak Minarti, dia bisa dibanggakan oleh keluarga kita,” jawab Kartika dengan maksud tersembunyi.
“Kamu mau menikahi dia?” Lagi-lagi, Ayah hanya terus bertanya tanpa menjelaskan apa yang terjadi.
“Kalau Kartika mengenalkan dia sebagai calon suami Kartika , apa Ayah akan terima?”
“Pendidikan yang tinggi membuat dia pintar, tapi menghilangkan rasa hormatnya pada orang yang lebih tua. Dan gaji yang lebih besar dari gaji kamu membuat dia merasa begitu berat untuk memberikan secuil dari gajinya kepada pengemis tua ini. Kebutuhan hidupnya pasti begitu banyak.” Ucapan Ayah membuat mata Kartika terbelalak.
“Maksud Ayah apa?”
“Dia mengira Ayah ini pengemis tua yang hanya bisa meminta-minta tanpa mau bekerja. Bukan soal Ayah yang dikiranya pengemis tua, tapi ucapannya yang merendahkan orangtua menunjukkan orang seperti apa dia sebenarnya.” Kartika melingkarkan tangannya pada pundak Ayah. Ia menyandarkan kepala pada bahu Ayah dan mulai tersedu.
“Ayah…,” panggil Kartika lembut. “Ayah mau bertemu Hilman dengan cara Ayah bertemu Setyo? Kalau Hilman memperlakukan Ayah seperti itu juga, atau walaupun hanya mendekati, Kartika nggak akan menikah dengannya, Yah. Kartika janji.”
Tidak ada jawaban yang didengar Kartika . Namun Kartika bisa merasakan anggukan kepala sang ayah. Apapun yang terjadi, Kartika sudah siap menerima konsekuensinya. Apakah Hilman akan menyentuh atau menyinggung hati Ayahnya, semua itu kembali pada Hilman sendiri. Hilam sendiri yang akan menunjukkan seperti apa ia yang sebenarnya.

“Mas, bisa jemput aku di kantor? Tadi aku nggak bawa mobil.”
“Sekarang?” tanya Hilman.
“Iya,” jawab Kartika . Kartika mendengar helaan nafas berat dan ragu dari telepon genggamnya. “Kenapa?” tanyanya heran. Biasanya Hilman tidak pernah keberatan menjemputnya.
“Bengkel sedang ramai, Mes. Tiga puluh minit lagi nggak apa-apa? Kamu di kantor, kan? Tunggu saja di lobi. Nanti kalau Mas sudah jalan Mas kabari kamu.”
“Iya, sampai ketemu.” Kartika tidak bisa menyalahkan keadaan Hilman. Hilman bekerja sendiri dan jika ia harus menjemput Kartika sama saja artinya Hilman harus menutup bengkelnya. Ditambah lagi jarak bengkel ke kantor Kartika cukup jauh.

Hilman menepati ucapannya. Tiga puluh minit kemudian ia sudah tiba di depan gedung kantor Kartika . Setelah menyerahkan helm untuk Kartika kenakan, mereka berangkat menuju rumah orangtua Kartika .
“Mampir sebentar nggak apa-apa, kan Mas? Ada barang yang aku ambil di bilik lama aku.”
“Ya nggak apa-apa. Sekalian lewat juga.” Hilman menghentikan laju motornya saat lampu lalu lintas berubah menjadi merah. “Maaf kamu jadi nunggu ya Mes. Tadi ada ibu-ibu yang mau jemput anaknya sekolah. Kalau motornya nggak Mas perbaiki dulu, kasihan anaknya kecarian nanti.”
“Nggak apa-apa Mas.” Kartika tersenyum, merasa bahagia sekaligus tersentuh.

Mereka tiba di rumah orangtua Kartika . Tidak ada siapa-siapa. Rumah sepi seperti tak berpenghuni. Kartika mengajak Hilman masuk yang langsung ia tolak dan berkeras ingin menunggu di luar saja. Baru setelah Kartika mengatakan ia akan lama berada di dalam dan di luar matahari sedang terik-teriknya, barulah Hilman mengikuti Kartika masuk.
“Kamu tunggu aku di sini ya Mas,” ucap Kartika sambil menghidangkan teh hangat untuk Hilman. Kemudian ia berlalu ke lantai dua, meninggalkan Hilman yang masih sedang berusaha membuat nyaman dirinya sendiri duduk di ruang tamu keluarga Kartika .

“Assalamualaikum,” Kartika mendengar suara salam yang diucapkan Ayahnya walau dia berada di tingkat. Jantung Kartika bedetak dua kali lipat cepatnya seketika. Dalam hati, ia takut Hilman akan mengecewakan Ayahnya yang sudah bisa dipastikan akan mengecewakan dirinya juga. Kartika menaruh harapan besar pada Hilman. Kartika mahu berkahwin dengan Hilman.

Sudah sepuluh minit berlalu sejak Kartika mendengar suara salam dari Ayahnya. Perasaan Kartika menjadi tak keruan. Dengan ketidak tenangan itu ia memutuskan untuk turun menemui Hilman dan juga ayahnya.
“Mas?” panggilnya saat tidak melihat sosok Hilman duduk di ruang tamu. Teh yang ia buatkan tadi pun belum tersentuh.
Kartika berjalan ke arah pintu depan yang tertutup kemudian membukanya. Kartika melihat ayahnya duduk mematung di beranda, sendirian.
“Yah, Mas Hilman mana?” tanyanya. Ayah menengadah dan menatap ke dalam mata Kartika , membuat jantung Kartika jatuh rasanya. Mata ayahnya berkaca-kaca. Apa yang sudah Hilman lakukan pada Ayahnya?
“Hilman… Pu-pulang,” jawab Ayah dengan ekspresi yang sulit Kartika artikan.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience