BAB 1

Drama Completed 373

“Kamu pikirkan lagi deh, Mes. Apa yang kamu liat dari dia? Kamu itu satu-satunya harapan keluarga kita. Kamu satu-satunya anak Ayah dan Bunda yang sukses dan punya penghasilan tetap. Seharusnya kamu lebih selektif memilih pendamping hidup. Jangan seperti kakak. Kalau menyesalnya nanti setelah kamu punya anak, susah Mes. Kasihan anak kamu, kasihan Bunda. Untung kakak belum sempat punya anak. Mau dikasih makan apa anak kakak nanti?”

Kabar ini berhembus ke telinga Miranti kemarin sore, saat Bunda memintanya datang ke rumah untuk membicarakan sesuatu. Ternyata persoalan ini, Kartika yang ingin menikah. Miranti tidak habis pikir dengan keputusan adiknya itu. Bukan persoalan kapan Kartika akan menikah, namun dengan siapanya. Miranti berharap sosok yang mendampingi Kartika adalah sosok yang bisa dibanggakan dan bisa menjamin kehidupan adiknya kelak.

“Kartika sudah pikirkan, Kak. Kartika sudah yakin.” Kartika menjawab dengan tenang. Ditawarkannya secangkir teh pada Miranti namun Miranti menggeleng.
Kartika tidak tahu kakak tertuanya itu akan datang ke kontrakan miliknya sore ini. Namun Kartika sudah tahu apa yang akan dibahas oleh kakaknya, karena baru kemarin Kartika bertemu dengan Ayah dan Bunda untuk membicarakan masalah pernikahannya.

“Hilman itu kerjanya apa?” Miranti bertanya dengan nada kesal.
“Dia montir motor, Kak. Kakak pasti sudah dengar dari Bunda.” Kartika tahu Miranti sedang berusaha merubah keputusan yang sudah bulat Kartika buat.
“Ya karena itu! Kakak mau memastikan apa kamu lupa kalau dia itu cuma montir motor.”
“Montir itu bukan ‘cuma’. Dia ahli dalam pekerjaannya dan penghasilan dia halal, Kak. Nggak ada masalah sama sekali.” Kartika tersenyum memandang wajah kakaknya yang berkerut cemas. “Kakak tau Kartika kerja apa?”
“Konsultan keuangan,” jawab Miranti ketus. Ia belum bisa menebak ke mana arah pembicaraan adiknya ini karena menanyakan hal yang sudah pasti ia tahu.
“Kakak tau penghasilan Kartika berapa per bulannya?”
“Paling sedikit dua puluh juta,” lagi, Miranti menjawab tanpa ragu.
“Dan menurut Kartika itu sudah cukup, Kak. Ditambah penghasilan Hilman, hidup kami akan lebih dari cukup. Kakak tau Kartika juga nggak biasa hidup mewah karena Bunda sudah mengajarkan kita hidup sederhana dari kecil dulu. Yang terpenting, Kartika tau kalau Hilman itu laki-laki bertanggungjawab. Dia nggak akan mengajak Kartika menikah kalau dia belum merasa mampu lahir dan batin.” Penuturan panjang dari Kartika sama sekali tidak menyentuh hati Miranti, hal itu terlihat dari wajahnya yang masih saja masam.
“Kenapa mesti dia, Mes? Kamu carilah laki-laki yang lebih pantas buat kamu. Masa tukang bengkel begitu. Kakak pernah kenalkan kamu sama Setyo. Dia itu manajer BUMN, ganteng, dari keluarga baik-baik. Sekelas sama kamu. Nanti kakak hubungi dia lagi. Kakak yakin dia mau nikah sama kamu.”
“Kak,” Kartika menghela nafas berat. Ternyata berbicara dengan kakaknya jauh lebih sulit ketimbang berbicara dengan orangtuanya. Ayah dan Bunda memang tidak secara langsung memberikan persetujuan mereka. Namun Kartika tidak pernah mendengar mereka mengeluarkan nada penuh hinaan saat menyebut pekerjaan laki-laki yang ingin ia nikahi itu. “Kartika nggak berasal dari kelas manapun. Dan apapun pekerjaan laki-laki yang akan jadi suami Kartika , selagi itu halal, Kartika akan terima. Tujuan manusia itu bekerja untuk mendapat penghasilan supaya bisa bertahan hidup. Bukan mengharap pujian dan bisa dibangga-banggakan ke manusia lain. Kartika menikah bukan ingin menambah jumlah harta Kartika , Kak. Kartika ingin membina keluarga dan menjadi istri yang mengabdi dengan suami.”
“Sekarang kamu bisa bicara begitu karena kamu belum tau kenyataan pernikahan itu seperti apa. Ujung-ujungnya pasti uang, uang, dan uang. Sekarang kamu merasa bisa mengandalkan cinta dan rasa tanggung jawab. Tapi nanti, saat kebutuhan rumah tangga bahkan keperluan suami kamu menghabiskan seluruh gaji kamu, kamu pasti menyesal. Kamu baru sadar kalau ucapan kakakmu ini benar. Realistis sajalah, Mes. Kalau bukan karena gaji yang bagus, kamu nggak mungkin bertahan bekerja di perusahaan itu. Kamu berkomitmen karena kamu mendapatkan umpan balik yang pantas. Pernikahan juga sebuah komitmen. Apa menurut kamu kakak menikah dulu bukan karena cinta? Tapi lihat, uang hilang, surat cerai yang datang.”
“Kak,” Kartika goyah. Tidak pernah disangka olehnya ia akan goyah mendengar ucapan sang kakak. “Kartika … akan pikirkan lagi.” Kali ini Miranti menyunggingkan senyuman.
“Itu yang kakak mau, pikirkan dulu matang-matang. Nanti kakak hubungi Setyo. Kamu juga harus cuba jalan dengan orang yang sejajar dengan kamu.” Ingin sekali rasanya Kartika melakukan perlawanan saat lagi-lagi kakaknya merendahkan Hilman secara tidak langsung. Namun bibir Kartika seolah terkunci. Entah hal itu berarti ia mulai ragu pada keputusannya atau hanya lelah mendengar Miranti berusaha merubah pikirannya.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience