BAB 5

Drama Completed 373

Satu bulan sebelumnya…
“Assalamualaikum,” suara salam itu Hilman dengar begitu jelas.
“Waalaikumsalam,” jawab Hilman sambil berjalan keluar. Ia melihat laki-laki paruh baya berdiri di depan pagar dengan pakaian lusuh, kopiah hitam dan kain sarung yang sudah sobek. Tangan kiri lelaki itu memegang map sedangkan tangan kanannya memegang salah satu tiang pagar. “Ya, Pak? Bapak mencari siapa?” tanya Hilman sopan.
“Sa-saya,” Rahmat dibuat terbata-bata olehnya. “Saya tidak mencari siapa-siapa,” ucap Rahmat kemudian menunduk. Ia berpikir apa yang harus ia lakukan untuk melihat apa adanya Hilman.
“Bapak butuh sesuatu?” tanya Hilman pelan, takut menyinggung perasaan lawan bicaranya.
“Y-ya. A-anak saya di rumah sakit dan bu-butuh biaya. Sa-saya tidak punya u-uang,” Kebohongan itu mengalir begitu saja dari mulut Rahmat begitu mendengar Hilman bertanya begitu padanya.
“Kita duduk di beranda saja Pak, di sini panas. Ini bukan rumah saya, maaf saya nggak bisa undang bapak masuk,” kata Hilman sambil meraih lengan Rahmat dan menuntunnya menuju beranda.
“Ka-kamu siapa?” tanya Rahmat setelah mereka duduk di kursi yang ada di beranda.
“Saya Hilman, Pak. Ini rumah orangtua teman saya,” jawab Hilman. “Bagaimana keadaan anak Bapak?” Rahmat menelan ludah mendengar pertanyaan dari Hilman. Tidak disangkanya ia harus berperan seperti adegan sinetron seperti sekarang ini.
“Anak saya harus dioperasi, nak Hilman. Uang saya tidak cukup. Saya bingung mau ke mana lagi.”
“Bapak butuh berapa?” Hal yang tidak disangka Rahmat justru ditanyakan oleh Hilman.
“Li-lima juta,” jawab Rahmat dengan wajah memelas. Hilman diam sejenak, tampak sedang berpikir.
“Pak, lima juta itu uang yang besar untuk saya,” Rahmat sudah menduga Hilman akan menolaknya secara halus seperti ini. Tapi ini lebih baik ketimbang ia dikira sebagai pengemis. “jadi saya nggak bawa uang sebanyak itu di dompet saya. Saya punya tabungan, untuk pernikahan saya nanti, tapi uang itu ada di rumah. Apa bapak bisa menunggu sebentar, saya jemput dulu ke rumah saya?” lanjut Hilman. Saat itu juga Rahmat ingin minit ikan air mata rasanya, namun sekuat tenaga berusaha ia tahan.
“Tap-tapi pernikahan kamu?”
“Untuk pernikahan sederhana, uang saya sudah cukup. Calon istri saya pasti mengerti. Dia perempuan yang sangat baik.” Kemudian Hilman berdiri dan menutup pintu depan. “Maaf Pak, nggak ada orang di rumah selain teman saya. Bapak tunggu di sini sebentar. Saya janji saya akan kembali. Semoga anak Bapak bisa segera sembuh.” Hilman menghidupkan sepeda motornya dan berlalu, meninggalkan Rahmat yang masih sulit percaya dengan apa yang baru saja terjadi.

“Yah, Mas Hilman mana?” Kartika muncul dari pintu dan bertanya. Rahmat menengadah dan menatap ke dalam mata Kartika .
“Hilman… Pu-pulang,” jawab Rahmat dengan hati berkecamuk rasa bahagia dan haru.
“Apa?” Kartika terlihat begitu terkejut. “Ayah usir?” tanya anak gadisnya itu tak percaya.
“Bukan,” Rahmat menggeleng kuat. “Ayo masuk, kita bicara di dalam.” Rahmat membawa putrinya yang masih memasang wajah ketakutan itu masuk.

“Ayah…” Mata Kartika sudah berkaca-kaca. Rahmat belum juga menceritakan apa yang terjadi dan kenapa Hilman tidak lagi berada di sini. Tiba-tiba Kartika mendengar ringtone telepon genggamnya. “Mas Hilman!” serunya saat melihat nama Hilman tertera di sana. “Waalaikumsalam, ya Mas?”
“Mes, Mas pulang sebentar. Mas nanti ke sana lagi jemput kamu. Oh ya itu ada bapak-bapak di luar. Kalau kamu nggak keberatan, tolong buatkan teh dulu. Maaf merepotkan kamu, Mes.” Hilman mengucapkannya terburu-buru. Sepertinya sedang berhenti di lampu lalu lintas.

“Ayah, sebenarnya ada apa?”
Rahmat menceritakan segala yang terjadi, tanpa mengurangi dan menambahkan bumbu apapun. Mendengar cerita sang Ayah, Kartika menangis tersedu. “Kebaikan dan ketulusan itu, Yah, yang nggak pernah lagi Kartika temui ada di diri laki-laki sekarang ini. Belum ada yang pernah menyentuh hati Kartika sedalam ini. Pendidikan masih bisa ditempuh, harta masih bisa dicari dengan usaha, tapi kebaikan hati, di mana bisa kita beli? Kebanyakan orang bahkan mungkin Kartika sendiri, baru melakukan kebaikan hanya bila ada kepentingan dan pada orang tertentu yang memberi umpan balik. Kalau tidak menguntungkan apa-apa, nggak ada alasan untuk berbuat baik.”

Rahmat memetik banyak pelajaran siang itu. Meski pendidikan dan kemapanan menjadi pertimbangan penting bagi orangtua manapun untuk memilihkan suami untuk anak mereka, namun pada akhirnya hati hanya bisa disentuh dengan hati. Hilman sudah menyentuh hati putrinya. Dan baru saja Hilman menyentuh hatinya. Hilman bukan hanya berbicara, tapi sudah menunjukkan bahwa ia laki-laki yang bisa Rahmat percaya untuk menjaga Kartika .

Satu hal lagi, manusia seperti Hilman mungkin sudah jarang kita temui. Namun begitu juga dengan perempuan yang mau menerima apa adanya laki-laki seperti Kartika menerima apa adanya Hilman. Tidak banyak perempuan seperti itu. Segala keinginan dan harapan atas sesuatu kembalikan pada diri kita masing-masing. Segala yang kita tanam akan kita tuai kelak. Dan ingat, tidak akan rugi diri jika kita melakukan kebaikan untuk orang lain.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience