BUKU DUA - TINKERBELL HIDUP

Mystery & Detective Completed 9676

BUKU DUA

TINKERBELL HIDUP

BAB 27

Harding thomas duduk di tanah di samping Matthew, bocah yang baru berusia sembilan tahun. Dia berbicara perlahan, lembut. "Maaf aku harus menggunakan senjata kejut itu padamu. Kau tahu aku menyayangi kau dan Max."

Mata Matthew merah dan masih mencucurkan air mata. Sulit untuk tidak merasa kasihan pada anak itu, tapi Thomas tahu ini bukan saat yang tepat untuk berperasaan sentimental. Dia harus melakukan tugasnya.

"Aku tidak percaya lagi pada omonganmu," bisik Matthew.

"Kau dulu mempercayaiku, Matthew. Kita dulu berteman. Aku di sini sekarang karena aku temanmu. Ada rencana untuk menidurkanmu. Aku tidak setuju. Aku tak sanggup melakukannya padamu, Nak. Sekarang aku ingin kau membantuku menemukan Max. Kau harus menolongku menyelamatkannya."

Matthew berbicara begitu pelan sehingga sulit untuk didengar. "Apa yang dapat kulakukan? Bagaimana aku bisa menyelamatkan kakakku?" Thomas mengangguk senang dan akhirnya tersenyum pada anak itu. "Aku ingin kau terbang,

lalu memanggil Max. Cuma kau yang dapat menyelamatkan Max." Dia menunjukkan sesuatu-benda itu tampak seperti tangkai pancing panjang, kumparan besar.

"Dengarkan aku baik-baik," katanya, "tangkai bening ini tidak bisa dipatahkan. Alat ini digunakan untuk menangkap tuna seberat setengah ton di Pasifik. Aku memberimu benang sepanjang sembilan ratus meter supaya kau bisa terbang sejauh itu. Kau paham maksudku?"

"Ya, Paman Thomas."

"Kau anak baik, dan kau membantuku menyelamatkan Max. Hanya kau yang bisa menyelamatkannya sekarang. Jangan lupakan itu." Paman Thomas memasang tali itu di rompi khaki yang dipakai Matthew, di sekeliling dada dan pinggangnya. Ujung yang satu lagi dililitkan di batang pohon ek yang terletak di jauh di atas lereng gunung. Inilah rencana terbaik mereka. Perangkap untuk Max telah siap. Thomas mengecek tali untuk memastikan ikatannya. Dia tumbuh di pertanian dan peternakan. Dia tahu soal binatang dan burung, cara memperlakukan mereka.

"Ayo, terbanglah. Aku mengizinkan. Aku juga mengizinkan kau berseru memanggil kakakmu. Sekarang, terbang! Terbanglah, Matthew!" Matthew menaati perintahnya. Dia sudah tak sabar untuk meninggalkan daratan. Dengan gerakan mendadak dia mengembangkan sayap. Matthew berlari secepat mungkin menjauhi pohon ek besar itu sampai menurutnya dia sudah cukup cepat untuk tinggal landas.

Matthew mengepakkan sayap kuat-kuat sampai

sayapnya itu tampak seperti nyaris lepas. Lalu dia melayang di udara. Matthew berputar perlahan, mengikuti pusaran angin pelan menuju matahari yang meninggi.

Matthew merasa begitu bebas sehingga selama beberapa detik yang menakjubkan dia hampir melupakan apa sebetulnya yang tengah dilakukannya, mengapa dia berada di atas sini. Tapi dia lalu mendengar suara Paman Thomas dari tempat persembunyiannya di bawah. Matthew tidak mempercayai sepatah kata pun yang keluar dari mulut Thomas. Pria itu dan para penjaga lain menunggu di bawah sana sambil membawa senjata. Mereka regu tembak. Mereka pembunuh, dan mereka akan menembak Max begitu kakaknya itu muncul.

"Panggil dia! Aku belum mendengar suaramu, Matthew!" Matthew terbang sejauh mungkin dari Thomas, suaranya yang menakutkan, dan pohon tegap tempat dia diikatkan. Dia berpikir: Bisakah kau melihatku, Max? Apakah kau sedang memandangiku terbang? Apakah kau di dekat sini?

Matthew akhirnya mulai berteriak sekuat tenaga. "Max! Max! Max!

Bisakah kau mendengarku?" serunya. "Bisakah?" Lalu Matthew meninggikan suaranya. Dia tahu apa yang harus dilakukannya untuk menyelamatkan Max. Dia mulai menjerit makin keras.

"Menjauhlah. Jauhi aku. Max! Ini perangkap! Di sini ada Paman Thomas dan yang lain-lain. Pergi dari sini, Max! Mereka bersenjata."

BAB 28

Max sangat jauh dari tempat adiknya berteriak-teriak

memperingatkannya. Pagi hari datang lagi. Dia berhasil melewati malam tanpa tertangkap atau dicabik-cabik dan dimakan beruang atau kucing gunung.

Max sarapan banyak-banyak, lalu memainkan game Tomb Raider II di CD-ROM. Dia sangat menyukai Lara Croft, tokoh game itu. Dia ingin menjadi Lara Croft.

Sekitar pukul 07.30 Max meninggalkan rumah aman tempat persembunyiannya. Dia ingin menjelajah.

Max mengintip di antara dahan-dahan dan dedaunan serumpun semak blueberry yang berbuah besar dan matang. Dia melihat pemandangan yang menarik perhatian sekaligus menakutkannya. Matanya berkedip cepat dan kuat beberapa kali. Jantungnya berdebar tidak keruan. Dari balik semak berry Max menatap dua anak kecil itu. Mereka tampak sangat mirip dia. Yah, mirip dia dan Matthew. Anak-anak itu jelas sedang berjalan-jalan pagi di hutan. Apakah mereka sudah melihatnya?

Si anak perempuan memakai celana blue jeans

terusan, kaus Red Dirt, sneakers bermata kaki tinggi. Penampilan yang asyik sekali. Setengah rambut merahnya terikat pita ungu; yang setengah lagi bergelung di sekeliling wajahnya. Dia memungut buah-buah berry yang serasi dengan warna cat kukunya yang funky. Anak laki-laki itu mungkin berusia empat atau lima tahun dan mengingatkan Max pada Matthew ketika masih kecil. Dia memukul-mukul ember alumunium dengan tongkat, menyanyikan lagu yang belum pernah didengar Max.

Dubidu-bidu-dam-dam.

Dubidu-bidu-dam-dam.

Bulu kuduk Max meremang. Hatinya mendesaknya supaya terbang menjauh, namun kakinya tak bisa digerakkan. Dia harus tetap di sini. Dia ingin bicara panjang-lebar dengan anak-anak itu. Max amat sangat membutuhkan bantuan, dan ada rahasia yang ingin diceritakannya. Ya Tuhan, betapa besar rahasia yang ingin diberitahukannya. Apa yang akan dilakukan Lara Croft dalam situasi seperti ini?

Dubidu-bidu-dam-dam.

Max sangat ketakutan, tapi apa yang ditakut-kannya, dia sendiri tidak tahu. Dia jelas lebih besar dari mereka berdua. Dia juga jauh lebih kuat.

Mereka bukan apa-apa dibanding dirinya. Dia memiliki bakat-bakat istimewa, dan mungkin lebih pintar juga. Bukannya mau menyombongkan diri, tapi memang begitulah dia.

Si anak laki-laki mendongak dari drum embernya dan melihat mata hijau Max menatap langsung mata biru cerahnya. Dia tersentak mundur, berteriak, "Hei! Aku melihatmu! Hei! Siapa kau? Hei!"

Max begitu terguncang sehingga menjerit, dan kedua anak itu ikut menjerit.

Si gadis kecil pulih duluan. Dicengkeramnya tangan adiknya dan ditariknya kuat-kuat.

"Hentikan, Bailey," perintahnya. Dia tetap menjaga jarak, tapi juga tidak menjauh. Matanya membelalak ketakutan. "Siapa kau? Ini tanah keluarga kami. Ini wilayah pribadi. Pemberitahuannya ditempelkan di mana-mana, di pohon-pohon. Kau pasti sudah melihatnya!" Anak perempuan itu mungkin berumur sekitar delapan tahun. Dia terengah, tersengal, dan wajahnya merah padam, namun dia menampilkan sikap kakak yang pemberani.

Max terkesan. Ya Tuhan, betapa inginnya dia berbicara dengan anakanak ini, bermain games dengan mereka. Dia hanya ingin bicara dengan seseorang.

"Siapa kau?" tanya si anak perempuan lagi.

Itu, pikir Max, adalah pertanyaan yang bagus. Sementara dia merenungkannya, gadis itu terus berbicara dengannya. Ocehan orang gugup, dan Ma tidak marah mendengarnya.

"Oke, aku Elizabeth Ellers. Ini adikku, Bailey. Dia lima tahun. Aku sembilan. Nah, apa yang sedang kaulakukan di sini? Bicaralah." Si kecil Bailey memandangi Max dari ujung kepala sampai ujung kaki, lalu menjauh dari Elizabeth dan mendekati Max. Dikitarinya Max.

Dengan perasaan geli Max berputar mengikutinya, berusaha supaya anak itu tidak bisa melihat sayapnya terlalu jelas.

"Kenapa lenganmu?" celetuk Bailey.

Max ragu-ragu. Apa pendapat anak-anak kecil

ini tentang sayapnya? Beranikah dia menunjukkannya? Max ingin menunjukkannya. Dia sangat ingin menunjukkannya.

Max mengangkat bahu, memasang sikunya pada posisi bersiap-siap. Lalu pelan-pelan dia merentangkan lengan bawahnya dan sendi-sendinya pun bergerak. Bulu-bulunya mengembang dengan suara berbisik yang menakjubkan.

Mulut Bailey dan Elizabeth yang berlumuran blueberry ternganga-lebar. Bailey mendesah takjub, dan menjejalkan jari-jarinya yang berwarna ungu ke dalam mulut.

Max tahu sayapnya cukup indah. Bulu-bulu primernya disusun bertingkat membentuk baris-baris seputih salju; ujung masing-masing baris menempel rapat dengan yang berikutnya, membentuk katup kedap udara. Bagian bawah sayap dilapisi bulu-bulu sekunder yang lebih kecil, dan kulitnya berkilau di antara bulu-bulu itu. Warnanya kemerahan karena darah yang mengandung oksigen segar. Ooohh!

BAB 29

"Jeez caramba!" seru Bailey. Apa artinya itu? Jeez caramba? Cheese caramba? Begitukah cara anak-anak Colorado bicara? Mungkin. Jeez caramba? Oke, tidak apa-apa.

Max meluruskan jari telunjuknya, mengembangkan sayap sampai panjang maksimal. Bentang sayapnya hampir setengah tinggi badannya.

"Ooohh!"

Bailey mundur, merapat pada sang kakak. Mata birunya membelalak. Dia anak yang manis, sebetulnya.

"Itu sayap sungguhan?" Elizabeth Ellers akhirnya berani bicara lagi.

"Kelihatannya sih begitu."

Max nyengir. Dia tahu dia tengah berusaha membuat anak-anak itu menyukainya. "Tentu saja sungguhan."

"Lakukanlah," Bailey berbisik. "Tolong lakukan. Terbanglah untuk kami."

Elizabeth menatap mata Max. Gadis itu berbisik juga, seolah hutan ini gereja di alam terbuka. "Kami takkan bilang siapa-siapa. Kami janji." Si bocah kecil mengangguk-angguk serius.

Naik-turun, naik-turun, lalu ke samping. Dia buru-buru membuat tanda silang di dada kiri, tempat jantungnya berada. "Sumpah mati. Kami berdua rela mati. Kumohon. Lakukan. Lakukanlah."

"Jika kulakukan, kalian tidak boleh menceritakannya pada siapa pun. Ini hanya antara kita bertiga," Max memperingatkan. "Dan jangan pernah

bersumpah mati. Bisa betul-betul terjadi." "Kami takkan buka mulut," si anak laki-laki.

"Jika kalian bicara, aku akan mendatangi kalian."

"Kau vampir ya?" tanya Bailey. Dia tampak gugup dan takut lagi. Matanya jadi juling.

"Yeah, aku vampir. Bukan, aku bukan vampir. Kalian orang-orang cebol dari Mars? Kalian dari Mars?"

Elizabeth akhirnya tertawa terbahak-bahak dan Max ingin sekali memeluknya. "Tepat sekali. Dia memang dari Mars. Siapa namamu?"

"Oh... Tinkerbell."

Mereka tertawa bersama-sama. Max ingin memamerkan kehebatannya, tapi dia juga ingin bercerita tentang dirinya. Dia senang sekali bercerita. Sejak dulu dia anak yang baik, serius, baik pada sesama. Dia percaya bahwa untuk memperoleh hidup yang baik orang-orang harus mau berbagi. Ada satu pepatah sangat benar yang dipelajarinya di Sekolah: Ada ubi ada talas, ada budi ada balas.

Max melihat jalan setapak di hadapannya datar dan bebas dari batu dan akar. Dia mulai berlari.

Cuma butuh empat atau lima langkah sebelum

udara terasa seperti membelah di sekeliling sayapnya. Gelombang udara mengangkatnya, menerbangkannya.

"Jeez caramba!"dia berteriak, ingin tahu apakah anak-anak itu memahami leluconnya.

Dia terbang tegak lurus ke atas-lalu menukik ke arah Bailey dan Elizabeth. Mereka refleks menunduk, dan Max tertawa histeris. Dia suka sekali bermain dengan anak-anak lain. Menyukainya lebih dari apa pun.

Dan dia amat, sangat ingin menceritakan rahasia-rahasia itu pada mereka. Namun jika dia melakukannya, mereka akan berada dalam bahaya juga. Sumpah mati.

Max mengepakkan savap ke atas dan ke bawah, ke atas dan ke bawah. Dia melayang bebas sekarang! Dia berputar di atas, mengikuti bentuk awan. Belok kiri sedikit, lalu kanan

Jauh di bawah, Elizabeth dan Bailey Ellers menonton tanpa suara, terpesona. Mereka menaungi mata dengan dua tangan, memandang ke atas tanpa berkedip.

Anak-anak itu segera tampak sangat kecil di bawahnya, namun Max dapat melihat jelas wajah mereka yang menengadah, mulut mereka yang membulat. Max tahu mereka tak bisa membantu. Mereka terlalu kecil; mereka sendiri tak berdaya-tak berdaya dan tak tahu apa-apa. Lagi pula, dia tidak tega jika mereka terluka karena dirinya dan apa yang diketahuinya.

Dia melambai untuk terakhir kali. Bailey dan Elizabeth membalasnya.

"Kami tidak akan buka mulut!" teriak Bailey. "Sumpah-tidak jadi"

"Kembalilah," seru Elizabeth Ellers. "Kita bisa berteman." Max merasa sangat kehilangan mereka, bahkan sebelum mereka lenyap dari pandangannya. Bailey dan Elizabeth. Anak-anak manis. Orang-orang baik. Mungkin mereka bisa berteman jika dia dapat bermain dengan mereka beberapa lama.

Dan dia tentu saja merindukan Matthew. Dia amat merindukan adiknya sendiri. Di tengah dadanya seolah ada lubang menganga yang terasa sakit sekali.

Ketika terbang tinggi jauh di atas hamparan lapangan berwarna keemasan di samping hutan, Max merasa sengsara dan sendirian. Di lubuk hatinya dia tahu dia tidak ditakdirkan hidup sendirian.

Dia sendiri juga cuma anak kecil.

Dubidu-bidu-dam-dam.

Dubidu-bidu-dam-dam.

BAB 30

Lengan David tersampir lemas di bahuku, dan aku menyeretnya melintasi padang pasir seputih tulang yang sunyi dan tampak familier. Matahari adalah jam besar di langit dan jarum detiknya menunjukkan waktu yang tersisa di antara kehidupan dan kematian. Aku pernah kemari. "Cepat, Frannie. Kumohon," kata David tersengal. Dia berbisik serak di pipiku. "Maafkan aku, Manis, tapi kau harus bergegas. Kita tidak punya banyak waktu."

Aku lelah, sangat lelah karena harus menyeret sosok tak berdaya David, namun aku tidak bisa meninggalkannya. "Bertalianlah," kataku pada David. "Kumohon." Aku merasakan darahnya yang hangat dan lengket di tengkukku dan bulu kudukku meremang. Air mata mengalir di pipiku. "Aku di sini," katanya. "Aku akan selalu menemanimu."

Kakinya terseret-seret di pasir. Dia berat sekali. Kukencangkan cengkeramanku, namun tidak berhenti bergerak maju. Otot-otot lenganku sangat nyeri dan pegal. Aku dapat merasakan debar jantung David di punggungku, namun detaknya samar, nyaris tiada.

Seperti biasa, David mulai menceritakan kisah-kisah yang berhubungan dengan pernikahan kami. Kisah-kisah gembira dan bahagia yang membuatku teringat betapa menyenangkan hidup kami. Dua praktek pribadi yang sukses; pembicaraan serius tentang punya anak, mungkin dua atau tiga orang jika kami beruntung.

"Seharusnya kita punya anak, Frannie. Mestinya kita tidak menunggu." "Jangan," kataku. "Tolong, jangan, David. Aku tidak mau mendengarnya." Namun dia tidak mau berhenti bicara. "Ingat hari jadi kelima kita? Kita bermalam di penginapan kecil sempurna di Vermont itu, kau tahu yang mana. Bercinta sepanjang hari, Frannie. Sarapan, makan siang, dan makan malam di tempat tidur," katanya.

"Tentu saja aku ingat, David. Aku takkan pernah melupakan Vermont."

Dia mulai bersenandung. Lagu tema yang indah dari A Man and A Woman. David amat menyukai film itu. Aku juga. Sudah lima atau enam kali kami menontonnya. Tiba-tiba aku berhenti berjalan.

"Sudah sampai?" tanya David.

Aku memandang ke kejauhan. Aku cuma melihat getaran panas yang menyilaukan di padang pasir tak berpenghuni ini.

"Ya," jawabku. "Kita sudah sampai."

Kuturunkan David dari punggungku dan dengan lembut kubaringkan dia di bawah sinar matahari. Kubentangkan lengannya yang kuat. Tangan dan kakinya berdarah; begitu juga luka bekas tembakan yang menganga di dekat jantungnya.

"Aku minta maaf atas perbuatanku," kata David. "Aku minta maaf sebesar-besarnya, Frannie." Aku tidak memahami perkataannya, mengapa dia minta maaf, tapi aku mengangguk seolah mengerti.

Kulepaskan semua pakaianku dan sedapat mungkin kujadikan bantal yang empuk. Dengan lembut kuselipkan bantal pakaian itu di bawah kepalanya. Itulah satu-satunya benda yang kubuat dengan mencurahkan segenap kasih sayangku.

"Terima kasih," kata David. Dipandangnya aku dengan matanya yang bening dan penuh cinta. "Aku tahu kau takkan membiarkan aku mati." Lalu David meninggal lagi-persis seperti yang selalu dilakukannya, setiap pagi.

Beker di kusen jendelaku berbunyi. Aku terjaga dari mimpi meresahkan itu. Mimpi itu terasa sangat nyata, tapi tentu saja David sudah meninggal di tempat parkir di Boulder, bukan di padang pasir misterius.

Kubuka mataku. Aku berada di kamar mungilku di rumah sakit hewan. Lenganku yang telanjang terentang ke belakang dan memegangi sandaran kepala di atasku. Mataku berkaca-kaca, pipiku basah. Dadaku sakit, seolah dihantam palu. Aku ingat belum lama ini aku memiliki kehidupan yang menyenangkan. Waktu itu ada orang yang kucintai, dan yang mencintaiku.

Kutendang gumpalan selimut-selimut. Tiba-tiba ada sosok melintas di benakku dan mengejutkanku sedikit. Mimpi itu, khayalan buruk itu, mulai kabur, dan meskipun sosok tadi mulai menghilang, aku merasa sangat malu.

Aku melihat seorang pria berambut pirang yang memakai kemeja-denim. Senyumnya secerah matahari di siang hari. Aku melihat diriku berpaling ke arahnya.

Cepat-cepat aku bangun dari tumpukan kain berantakan yang merupakan tempat tidurku. Mengapa aku mesti merasa semalu itu? Kukerjapkan mata untuk menghilangkan sosok tak diundang Kit Harrison, dan berjalan ke jendela yang menghadap hutan. Kubuka jendela itu dan kutarik napas dalam. Aku hampir dapat mencium bau pinus dan rumput.

Angin semilir pagi menyapu kulitku yang lem-bap. Aku mulai merasa lebih baik. Aku bergerak berbalik dari jendela waktu mendengar suara itu.

Suara mengerikan yang membuat darahku seakan membeku.

BAB 31

Jeritan panjang dan melengking yang kudengar datang dari hutan di dekat klinikku itu sangat menyeramkan. Aku cuma butuh waktu satu menit untuk mengenakan celana jins, sepatu bot kerja, kaus yang kupakai kemarin.

Aku berhenti sebentar di lab mini untuk mengisi alat suntik dengan ketamin, dan kumasukkan obat bius itu ke tas punggungku. Pip menyalak keras minta sarapan, tapi dia harus rela menunggu. Aku tidak sempat memberinya makan dulu.

"Sebentar lagi aku kembali," teriakku seraya melesat menuju pintu dan menghambur ke luar.

Jeritan melengking yang tidak putus sedetik pun itu memekakkan telinga. Embun membasahi sepatuku dan aku terpeleset beberapa kali, namun aku terus berlari sekencang mungkin.

Kuikuti suara menyayat hati itu, nyaris tahu pasti dari mana asalnya dan apa yang terjadi.

Hutan di belakang klinikku menurun menuju kali dalam yang bisa dianggap merupakan sungai kecil. Hujan salju musim dingin membuat parit-parit dalam yang memanjang ke hutan. Di musim panas parit-parit itu mengering dan sebagian

terisi sampah hutan. Tempat pilihan predator untuk berburu binatang pengerat.

Juga tempat pilihan untuk orang-orang yang memasang perangkap ilegal. Lolongan melengking itu makin keras, lalu mendadak berhenti seolah binatang itu kehabisan napas. Ketika lolongan itu terdengar lagi, suaranya bagai meremas hatiku.

Kuseberangi parit dan akhirnya melihat rubah itu. Binatang indah berbulu cokelat kemerahan itu tergantung di salah satu kaki depannya di jurang kecil, kakinya yang sebelah lagi mencakar-cakar. Pemandangan itu sangat mengerikan dan menyentuh.

Aku paham apa yang telah terjadi.

Rubah itu terperangkap. Dia berusaha melepaskan diri dan mundur sampai melewati tepi jurang. Kakinya terkunci gigi-gigi dan rantai perangkap, dan tubuh si rubah memukul-mukul dan bergesekan dengan dinding jurang.

Perutku mulas. Ini siksaan yang keterlaluan dan sadis. Untuk apa? Mantel mahal seseorang di Aspen atau Denver? Binatang betina itu kesakitan; dia jadi seperti gila, dan itu memang wajar, bukan? "Sabar ya," kataku pada si rubah, dengan suara pelan dan bersahabat.

"Aku datang."

Oh, Tuhan, aku takkan menyakitimu, rubah kecil.

Rantai perangkap itu dililitkan dua kali di pohon dan dikunci. Kuguncangguncang kuncinya, tapi kunci itu tidak bergeming.

"Sialan!"

Aku berpikir-pikir untuk menarik rantai yang

mengikat rubah itu, tapi dia pasti akan menggigitku. Lagi pula, aku lupa membawa sarung tangan, dan ada kemungkinan dia mengidap rabies. Cepat-cepat aku mencari tempat untuk turun. Dinding jurang terdiri atas batu serpih. Aku menemukan tempat yang menurutku aman dan memutuskan untuk mengambil risiko. Bukan pilihan yang bagus. Batu serpihnya rontok dan aku merosot sepuluh kaki.

Kedatanganku yang berisik membuat si rubah makin takut dan panik. Dia histeris, rahangnya membuka dan menutup dengan cepat, air liurnya mengalir. Kulihat kakinya masuk perangkap seluruhnya. Gigi-gigi perangkap menjepit tulangnya.

"Tenang, Nak."

Aku berdiri di bawah si rubah dan mencari cara untuk menyuntiknya dengan ketamin. Di dekatnya ada tonjolan setinggi bahuku, tapi tonjolan itu jelas kelihatan terlalu tipis dan terlalu sempit. Aku tidak berani bergantung di sini dan menyuntik kakinya pada saat yang sama. Lolongan melengking dan tanpa henti si rubah membuatku kalut. Tak lama lagi dia akan mengalami shock, dan segera setelah itu dia akan mati.

Aku tahu aku.tidak bisa menyelamatkannya sendirian.

BAB 32

Kit melakukan pukulan home run panjang dan melengkung, tinggi di atas dinding "Green Monster" yang terkenal di Fenway Park, Boston. Kedua anak laki-lakinya menonton dari bangku di sepanjang garis first-base.

Tiba-tiba dia tersentak dari mimpi aksi bisbolnya.

Terdengar gedoran keras dan terus-menerus di pintu pondok. Kit memegang senjata yang disimpannya di kolong tempat tidur, menariknya keluar.

"Yeah? Siapa?" serunya. Dipaksanya dirinya duduk supaya dia dapat melihat ke balik jendela.

Kit menyibakkan gorden dan melihat Frannie O'Neill. Wajah wanita itu sangat serius. Frannie selalu memasang tampang seperti itu kalau bertemu dengannya.

Ada apa sekarang? Apa yang diinginkannya?

Kit memakai jinsnya, mengancingkan ritsle-tingnya. Terdengar gedoran tidak sabar lagi. Mana kemeja bersih? Masa bodohlah, tidak usah pakai kemeja. "Sebentar."

Dia membuka pintu, namun sebelum dia sempat menanyakan kejahatan apa yang telah dilakukannya, Frannie sudah melontarkan serentetan kata yang nyaris tak bisa dipahaminya.

"Aku butuh bantuanmu," katanya. "Tolonglah. Aku betul-betul butuh bantuanmu, Mr. Harrison."

Mr. Harrison? "Tentu. Tidak masalah. Sepatu," katanya, dan melesat ke dalam untuk mengambil sneakers.

Kit mengikutinya, bertelanjang dada, sementara Frannie berlari cepat di depannya menuju jurang berbatu-batu yang terletak beberapa ratus yard di dalam hutan. Dia nyaris tak bisa mengejarnya. Kaki panjang wanita itu benar-benar lincah. Sekarang dia memanggilnya Mr.

Harrison?

"Apa-" Kit tak menyelesaikan kalimatnya.

Dia cuma butuh waktu satu atau dua detik untuk mengenali apa yang tergantung dari rahang logam mengerikan dan rantai menjuntai itu.

"Oh, Tuhan, Frannie."

Rubah itu tampak sangat memelas, dan Kit akhirnya mengerti mengapa Frannie begitu membenci pemburu, mengapa wanita itu begitu marah padanya sejak dia datang-membawa senjata.

Bulu cokelat kemerahan binatang malang itu berlumuran darah segar. Bulu dan daging kaki depannya telah terkelupas dari siku sampai cakar akibat gigi-gigi perangkap kaki itu. Napasnya tersengal-sengal.

Salakannya, yang sesekali terdengar, serak dan lemah.

"Aku tidak bisa meraihnya," kata Frannie susah payah. Dia kehabisan napas. "Sudah kucoba tadi. Percuma."

Dia tampak nyaris menangis, dan Kit merasa

dadanya sesak karena emosi yang sama. Apa yang terjadi pada rubah muda itu kejam dan sadis, dan dia jadi marah juga. Kenapa ada orang yang tega melakukan ini pada binatang?

"Kau ingin aku melakukan apa? Bagaimana aku bisa membantu?" Frannie mengacungkan alat suntik yang dipegangnya erat-erat. "Aku harus menyuntikkan ini ke kakinya."

"Oke. Aku mengerti."

Kit menuruni lereng terjal dan berlumpur itu. Diamatinya jurang dari atas sampai dasar. Lalu dia naik lagi.

Dia berjongkok di atas rubah yang tergantung kira-kira tiga kaki di bawah tepi jurang. Dengan matanya dia mengukur dan menimbang binatang itu. Lalu dengan cepat dia mencari dahan patah di antara semak.

"Ini bisa dipakai," serunya pada Frannie.

Dahan itu panjangnya sekitar tiga kaki dan diameternya hanya beberapa inci.

Frannie tampak bingung. "Mau apa kau? Dipakai untuk apa?" Lebih mudah mendemonstrasikannya daripada menerangkannya. Kit berbaring sampai wajah dan bahunya tergantung di bibir jurang.

"Hati-hati ya," dia mendengar Frannie berpesan begitu.

Digerakkannya dahan tadi sampai ke dekat mulut si rubah. Binatang itu menyemburkan busa setiap kali mengembuskan napas dan tatapan matanya kosong. Kit bertanya-tanya dalam hati apakah rubah itu masih bisa melihat.

Disentuhkannya kayu itu ke bibir si rubah.

Rubah itu langsung mengatupkan rahang, menggigit dahan kuat-kuat, berusaha mematahkannya.

Mampukah dahan itu bertahan? Pelan-pelan Kit mengangkat rubah itu, terus, terus naik... dan akhirnya melewati tepi jurang.

"Suntik dia, sekarang," perintahnya.

Frannie segera mematuhinya. Dihunjamkannya jarum ke kaki belakang binatang itu. Ditekannya alat suntiknya. Si rubah menendang, lalu ambruk waktu obat mulai bereaksi.

Kit menangkap binatang itu ketika dia terkulai bagai boneka.

"Bagus," kata Frannie. "Ya Tuhan, kita berhasil."

Diambilnya si rubah dari Kit dan dengan lembut dibaringkannya di tanah. Kit menyentakkan perangkap sampai terbuka dan dengan hati-hati Frannie meloloskan kaki binatang itu.

"Bagus sekali. Wow. Terima kasih. Terima kasih. Kau partner hebat paramedis."

"Terima kasih kembali. Senang bekerja denganmu. Tim yang luar biasa.

Senang kita dapat menolong Foxie Lady."

Dan kejadian yang paling menakjubkan- Frannie O'Neill akhirnya tersenyum padanya.

Tak percuma rasanya Kit rela menunggu selama ini.

BAB 33

"Halo, embun pegunungan!"

Max terbang lagi. Dia tak tahan melihat awan-awan selembut kapas, siulan melengking angin, langit biru tua dan jernih di atas Rockies. Siapa yang tahan? Dia melayang tenang, tanpa menggerakkan sayap, sambil mengamati danau di bawah, lereng-lereng yang penuh ditumbuhi pohon.

Permukaan danau yang berwarna hitam membuatnya terbang mendekat. Dia dapat melihat inversi panas naik dari air. Gurunya, temannya, Mrs. Beattie, pernah memberitahunya tentang arus angin, dan bagaimana panas dan dingin mempengaruhi terbang. Max masih menyimpan semua informasi itu; itulah salah satu keistimewaannya.

Bentangan sayapnya menimbulkan bayangan panjang di puncak pepohonan di bawahnya. Max memandang bayangan itu, berpacu dengannya. Dia mengulurkan sayap, menggerakkannya ke depan, lalu ke belakang, seperti mengayuh. Dia terbang makin lama makin cepat di atas permukaan tanah yang naik-turun.

Mrs. Beattie, pikirnya. Sekolah, rumahnya yang dulu.

Dia masih bisa mengingatnya dengan jelas, tapi biasanya dia tidak ingin melakukannya. Namun dia tidak bisa mencegah kenangannya kembaliterutama kenangan tentang hal-hal paling buruk, dan dia memiliki begitu banyak kenangan seperti itu.

Suatu hari, pagi-pagi sekali, Mrs. Beattie datang ke asrama kecil tempat Max dan Matthew tidur. Mrs. Beattie menjadi guru mereka selama tiga tahun. Sebelum Mrs. Beattie, ada beberapa pengasuh, dan guru-guru lain; namun mereka selalu berganti. Tak seorang pun dari mereka menunjukkan perasaan sayang atau peduli. Itu dilarang di Sekolah. Cuma ada ilmu pengetahuan, kerja, disiplin, pengujian, pengujian, pengujian. "Max... Matthew," bisik Mrs. Beattie. Max langsung terbangun, bahkan sebelum gurunya sampai di samping tempat tidurnya.

"Kami sudah bangun," kata Matthew. "Kami mendengar kau datang." "Tentu saja, Sayang. Sekarang dengarkan aku. Jangan bicara sampai aku selesai."

Pasti kabar buruk- Max bisa menebaknya. Dia dan Matthew tidak mengucapkan sepatah kata pun.

"Kadang-kadang kejadian buruk menimpa orang-orang baik," Mrs. Beattie berbisik. Selain jadi guru, dia juga dokter. Dia yang melaksanakan ujian, terutama yang bertujuan menguji inteligensiStanford-Binet, WPPSI-R, WISC III, Tes Beery, Act III, dan seterusnya.

"Mereka akan menidurkan kami, membunuh kami, kan? Kami sudah mengira." Matthew tidak tahan menutup mulut lama-lama.

"Tidak, Sayang. Kalian berdua sangat istimewa. Kalian anak-anak ajaib. Kalian tidak usah khawatir. Tapi, Sayang, Adam kecil ditidurkan tadi malam. Aku sangat sedih harus menyampaikan kabar ini pada kalian." "Oh, tidak, jangan Adam! Jangan Adam!" ratap Matthew. Dia dan Max memeluk Mrs. Beattie kuat-kuat dan mereka tak bisa berhenti menangis, tidak bisa berhenti gemetar. Adam cuma bayi kecil. Mata birunya indah sekali, dan dia sangat cerdas.

"Aku harus pergi sekarang, Sayang. Aku tidak mau kalian mendengar kabar ini dari Mr. Thomas. Aku sayang padamu, Max. Aku sayang padamu, Matthew." Dipeluknya mereka. "Jangan menganggap aku jahat." Segera setelah itu, Mrs. Beattie pergi juga. Suatu hari, tiba-tiba saja ia tidak pernah datang kembali ke Sekolah. Mereka tidak pernah melihat atau mendengar kabarnya lagi. Max yakin dia telah ditidurkan.

Mendadak Max sadar dia terbang terlalu cepat dan tidak melihat arah.

Kenangan tentang Sekolah mengacaukan pikirannya.

Dia berbelok dan terbang melesat menuju matahari. Cahaya terangnya membuyarkan pandangannya, dia melihat berbagai warna. Dengan mata seperti buta karena silau, Max terus naik, menghirup udara yang semakin dingin dan tipis.

Akhirnya, ketika tak sanggup lagi menahannya, dia berbalik. Lalu dia menukik tajam.

Dia jatuh langsung menuju air biru berkilauan danau.

Sayapnya terasa seperti menempel di bagian samping tubuhnya. Udara menderu di dalam telinganya. Paru-parunya bagai terbakar. Max menghantam air pada sudut yang sempurna.

Tepat ke sasaran!

Menakjubkan!

Ya Tuhan, betapa senangnya dia terbang.

BAB 34

Harding thomas mampir ke Quik Stop di Bear Bluff untuk minum kopi manis. "Kopi, sehitam hatiku," katanya pada penjaga konter. Saat itulah dia mendengar anak-anak bermata besar dan berambut merah itu ribut bercerita pada ibu mereka di dekat kulkas yang penuh es krim Ben & Jerry.

Thomas tidak terlalu memperhatikan anak-anak itu ketika kopinya diantarkan, sampai dia mendengar, "Dia seperti burung besar yang cantik, Mommy. Seperti Power Ranger, tapi dia perempuan."

Perhatian Harding Thomas langsung terpusat ketika dia mendengar potongan berita itu. Dia nyaris menjatuhkan cangkir kopinya. Isinya yang mengepul tumpah sedikit di sepatu bot hiking-nya.

Ibu anak-anak itu berjalan menuju konter kasir, tertarik pada majalah People edisi terbaru. Sandalnya memukul-mukul lantai linoleum tua berwarna cokelat. Dia berusia sekitar 35 tahun, lipatan pinggangnya yang berlemak tampak menonjol di atas celana pendek Champion longgar. Tapi anak-anaknya manis, dan penuh semangat.

Thomas menyambar sebatang Snickers dari rak camilan di konter. Dia melangkah ke antrean di depan kasir juga. Dia berdiri di belakang ibu dan anak-anak itu.

Mama menyuruh anak-anaknya tutup mulut di tempat umum. Nasihat yang bagus, tapi sudah agak terlambat.

"Saya tidak sengaja mendengar perkataan anak-anak Anda. Gadis terbang dari luar angkasa," katanya, lalu tertawa ramah dan tersenyum. "Seperti yang bisa Anda baca di koran sampah itu, Star" Ibu jarinya menunjuk ke salah satu tabloid yang dipajang di dekat konter. "Kami memang melihat gadis terbang kok," si anak laki-laki ngotot, melanggar janjinya pada sang ibu. "Ya kan, Elizabeth?" Kakaknya memandangnya tajam agar dia diam, namun si bocah tidak peduli. Thomas tampak skeptis, dan dia tidak sulit memasang ekspresi seperti itu. Dia berharap bisa mengorek lebih banyak informasi dari mereka, dan dia sangat pandai menghadapi anak-anak.

Saat itu dua pengendara sepeda gunung memasuki toko kecil tersebut. Mereka berlepotan lumpur, membawa helm, mengenakan sepatu bersepeda. Thomas berharap mereka tidak mendengar apa-apa.

Untunglah, mereka terus berjalan ke bagian belakang toko.

"Bailey, Bailey," kata sang ibu. "Mau jadi apa kau?"

Dia menoleh pada Thomas, mengusap rambutnya yang dicat, berusaha memperbaiki penampilannya di bawah tatapan Thomas. "Mereka tadi malam menonton video Hook. Sekarang

coba dengar apa yang dilihatnya. Ada Tinkerbell terbang di hutan. Begitu katanya. Kurasa itu bagus." Dia tersenyum. "Dia punya imajinasi luar biasa, dan kata orang-orang sih itu pertanda dia nanti akan jadi anak yang kreatif."

Suara si bocah melengking dengan nada tersinggung dan marah. "Aku tidak mengada-ada! Kami melihat gadis itu di hutan dekat rawa blueberry. Dia bilang namanya Tinkerbell dan dia terbang tinggi sekali di atas pohon-pohon. Sumpah."

Harding Thomas merasa tahu tempat yang mereka bicarakan itu. Dia sudah beberapa kali memeriksa rawa itu bersama regu pencarinya, namun mereka tidak menemukan jejak Max. Thomas melempar dua koin ke konter, lalu berkata "Sampai nanti" ke arah wanita itu dan anakanaknya.

BAB 35

Thomas membuntuti wanita itu dan anak-anaknya dengan Range Rover berwarna putih kusam. Keluarga itu naik pickup Isuzu tua, penyok, dan lusuh. Si ibu tidak terburu-buru pulang dari Quik Stop sehingga Thomas tidak sulit mengikuti mereka.

Sewaktu menguntit pickup itu, dia memikirkan hidupnya. Dahulu kala, dia pernah mengajar ilmu pengetahuan ilmiah di Air Force Academy. Pangkatnya kapten. Dr. Peyser mengontak dan merekrutnya untuk suatu pekerjaan. Dia menjelaskan impiannya, dan Harding Thomas langsung memahami dan mempercayainya begitu mendengarnya. Dia tidak sendirian. Dan dia percaya impian itu, visi ke masa depan itu, harus dilindungi. Jadi dibuntutinya keluarga Ellers dari Quik Stop. Ketika pickup itu berbelok ke jalan masuk berlubang-lubang yang ditumbuhi rerumputan, Thomas mengerti mengapa keluarga itu tidak terburu-buru pulang. Rumah mereka sangat bobrok.

Catnya yang putih kotor sudah mengelupas di sana-sini. Teras depannya reyot dan tampak berbahaya untuk diinjak. Rumput di dekat rumah

tingginya hampir setengah meter. Tulisan Ellers di kotak pos nyaris tak terbaca.

Ibu dan anak-anaknya baru saja turun dari truk mereka. Thomas menginjak rem, dan berhenti di belakang Isuzu itu. Si wanita mendongak waswas. Begitu juga kedua anaknya.

Harding Thomas melompat keluar dari Range Rover, mengangkat kedua tangannya, dan tersenyum lebar dan bersahabat. Dia bermain jadi Paman Thomas untuk mereka. Dia bisa tampil sebagai teman siapa saja jika diperlukan.

"Hei. Hai, anak-anak, ingat aku? Tidak usah takut. Senyumlah, kalian masuk Candid Camera! Aku memikirkan apa yang mungkin telah dilihat anak-anak ini di hutan. Menurutku sebaiknya aku bicara dengan kalian." "Aku tidak bilang aku melihat sesuatu," protes si anak perempuan, "karena aku memang tidak melihat apa-apa. Begitu juga adikku yang pengkhayal ini. Dia tukang ngibul." "Tuan, kurasa-" wanita itu mulai berbicara.

"Mereka melihat anak perempuan berusia sebelas tahun yang bersayap" Harding Thomas memotong perkataannya. "Aku mempercayai ucapan anak laki-laki ini. Sebenarnya, aku sendiri pernah melihat gadis itu. Aku ingin memberitahu kalian apa yang kuketahui dan kalian bisa melakukan hal yang sama padaku.

"Boleh aku masuk sebentar? Aku berjanji, urusan ini sangat penting. Anak-anakmu mengatakan yang sebenarnya, meskipun cerita mereka rasanya aneh."

Harding Thomas mengeluarkan dompetnya,

dan kartu yang mengatakan dia pengacara dari Departemen Kehakiman. Thomas bukan pegawai Kehakiman, namun kartu nama itu berhasil melunakkan sikap mereka.

Keluarga Ellers harus ditanyai, lalu, sayangnya, mereka harus dilenyapkan.

Mereka telah melihat Tinkerbell.

Mereka masuk ke rumah dan Harding Thomas berusaha melakukan tanya-jawabnya sesantai mungkin.

"Aku tahu urusan ini janggal, dan agak menakutkan, anak-anak," katanya pada mereka. "Aku sendiri pun agak terguncang."

"Mau minum kopi, Sir?" tanya wanita itu. Thomas tidak tahu pasti seberapa anak-anak itu mempercayai kartu identitas palsunya, namun si ibu jelas percaya seratus persen.

"Namaku Thomas," katanya, "dan aku sangat berterima kasih jika diberi kopi. Tadi aku sebetulnya baru saja minum secangkir, tapi tidak keberatan minum lagi mengingat situasi ini."

Si ibu pergi untuk membuat kopi-mungkin kopi instan, namun setidaknya dia tidak menghalangi selama beberapa saat.

"Kalian boleh memanggilku Paman Tommy," katanya pada dua anak bermata besar itu.

"Kami tidak melihat apa-apa," si anak perempuan terus berkeras.

"Adikku pantas masuk rumah sakit jiwa."

"Kami melihat gadis bersayap itu. Kami melihatnya terbang!" adiknya berseru sambil mengangkat dagu dengan kesal. "Tidak, tidak benar." Sang kakak memandangnya tajam.

Harding Thomas memukulkan tinjunya ke meja ruang tamu. "Yeah, kau melihatnya! Kau melihat gadis itu, dan kau melihatnya terbang. Sekarang ceritakan yang lainnya padaku-kalau tidak aku akan menyakiti kalian dan mama kalian. Lihat mataku, maka kalian akan tahu aku tidak main-main."

Kedua anak itu menatapnya-dan mereka tahu, dan mereka menceritakan apa yang mereka ketahui tentang gadis yang memiliki sayap itu.

BAB 36

Kit menempuh jarak 64 kilometer dari Bear Bluff ke Boulder. Ia benarbenar mulai merasa seperti agen FBI lagi, merasa seperti Tom Brennan lama.

Diparkirnya Jeep hitamnya di tepi jalan yang ramai, beberapa blok dari Boulder Community Hospital. Ketika berjalan ke sana, dia melihat bukti keanekaragaman penduduk kota ini, mulai dari hippy tahun enam puluhan, granola dari tahun tujuh puluhan dan delapan puluhan, para Gen X, dan juga cukup banyak penduduk asli Rocky Mountain yang berpenampilan relatif normal.

Namun dia berkali-kali menoleh ke belakang, takut dibuntuti, takut ada yang telah mengenalinya.

Dia ingin berbicara dengan orang yang bernama Dr. John Brownhill di klinik in vitro rumah sakit itu. Dr. Brownhill dahulu berhubungan dengan dua dari para dokter yang terbunuh di San Fransisco dan Cambridge, Massachusetts. Semua itu tercatat dalam laporan-laporan awal Kit di FBI.

Ketika duduk di ruang tunggu, dia mau tidak mau menyadari betapa menyenangkan suasana di klinik ini. Dinding-dindingnya dicat warna kuning lembut dan di meja-mejanya terdapat berbagai bunga segar.

Suasana seperti ini bagus untuk para calon ibu, dan bagus juga untuknya.

Dia perlu menenangkan pikiran, kalau bisa.

"Dokter akan menemui Anda, Mr. Harrison," kata resepsionis jangkung berkulit hitam yang penuh senyum dan ramah. Semua orang yang dilihatnya di klinik ini bersikap seperti itu, menenangkan hati dan mau membantu.

"Kantor Dokter persis di ujung koridor, pintu pertama di kanan. Anda tidak mungkin kelewatan."

Kit berjalan mantap menyusuri koridor berlapis karpet beige tebal menuju kantor Dr. Brownhill. Dia menarik napas dalam dan cepat sebelum berbelok masuk. Ini dia saatnya.

Dr. Brownhill berpenampilan mengesankan. Helai-helai uban keperakan mulai tampak di rambut cokelat kemerahannya yang panjang. Wajahnya merah sehat. Kelihatannya kondisi fisiknya luar biasa. Senyumnya lebar dan memikat. Menurut Kit, dokter itu pasti sangat pandai merebut hati pasien.

"Saya agak bertanya-tanya, Mr. Harrison. Anda datang sendirian. Apakah kunjungan ini menyangkut istri Anda? Atau barangkali teman wanita Anda?"

Kit masih belum pasti mengenai peran apa yang akan dimainkannya selama interviu sulit ini. Pilihannya banyak.

"Saya agen senior di FBI," katanya dengan nada angkuh yang jarang digunakannya di lapangan. "Saya berada di Colorado sebagai bagian dari penyelidikan suatu pembunuhan."

Kedutan di bawah mata kanan John Brownhill sangat samar, hanya sedetik, namun Kit melihatnya. "Saya tidak mengerti," kata si dokter.

"Penyelidikan pembunuhan?"

Wajah Kit tak menunjukkan emosi apa pun. "Anda pindah kemari dari San Fransisco? Anda bertugas di University Hospital di sana. Klinik in vitro lain."

Brownhill mengangguk. "Lima tahun yang lalu, dan saya tak pernah sekali pun menyesali ke-pindahan saya. Tapi saya tidak bisa membayangkan mengapa FBI ingin bicara dengan saya. Penyelidikan pembunuhan? Saya membantu pasangan-pasangan memiliki anak yang tidak dapat mereka miliki dengan cara lain."

Kit menatap mata dokter itu, menilai kejujurannya. "Apakah Anda mengenal Dr. James Kim sewaktu Anda bekerja di San Fransisco?" "Ya, saya kenal James Kim. Sayangnya, kami tidak terlalu dekat. Kami berdua tinggal di California kira-kira pada saat yang sama. Tolong beritahu saya ada masalah apa ini sebenarnya. Saya sudah ditunggu wanita-wanita hamil."

Kit mengangguk simpatik. "Saya menanyai Dr. Kim pada bulan Mei. Dia terlibat eksperimen ilegal di daerah Bay. Dia memberitahu saya bahwa seorang dokter yang bernama Anthony Peyser bersembunyi di Colorado sini. Katanya dia dan Anda pernah bekerja dengan Dr. Peyser." Dr. Brownhill menggeleng. "Tunggu dulu. Itu sama sekali tidak benar. Ya, Dr. Peyser memang dituduh melakukan praktek yang melanggar kode etik di lab yang disupervisinya di Berkeley. Tapi saya tidak ada hubungannya dengan lab itu maupun dengan eksperimen-eksperimennya.

Saya tidak pernah dituduh melakukan perbuatan melawan hukum apa pun, dan saya jelas tidak sedang bersembunyi."

Kit memelankan suaranya. "Anda tahu James Kim sudah meninggal? Dia dibunuh seminggu yang lalu di California. Itu salah satu alasan saya berada di sini."

John Brownhill tampak sungguh-sungguh terkejut. "Saya tidak tahu. Saya turut sedih mendengar kabar kematian Dr. Kim. Namun saya masih belum mengerti bagaimana saya dapat menolong Anda. Saya tidak tahumenahu tentang apa yang terjadi pada Dr. Peyser."

Dr. Brownhill berusaha berdiri dan pergi. Kit mengangkat sebelah tangannya. "Saya punya satu subjek lagi. Masalah ini penting, dokter. Maukah Anda memberitahu saya tentang Dr. David Mekin? Anda bekerja dengan Dr. Mekin di sini, selain di San Fransisco. Saya tahu Anda berdua berteman. David Mekin dibunuh. Apakah itu kebetulan juga?"

Dr. Brownhill bangkit dari kursi di balik meja kerjanya. "Anda harus mengizinkan saya pergi sekarang. Saya harus memeriksa para pasien. Dr. Mekin teman saya dan saya tidak mau mengingat-ingat kematiannya lagi."

Kit sengaja berlama-lama bangun. Ditinggalkannya klinik in vitro itu. Dia merasa telah berhasil melakukan apa yang perlu dilakukannya. Dia telah membuat seorang dokter merasa resah di sana tadi, menyebabkan pria itu mengelak dan mungkin berbohong. Dia sudah menimbulkan riak-riak di air yang tenang, dan itu permulaan yang bagus.

BAB 37

Malam telah menyelimuti kaki bukit-bukit di timur Rockies. Langit berwarna biru tua pekat dan bertaburan bintang berkilauan. Regu keamanan berjongkok di pinggir lapangan dekat rumah musim panas itu. Mereka memakai alat penglihat dalam gelap dan tampak seperti satuan polisi atau tentara yang akan melakukan aksi hebat.

Gadis itu sudah di tangan. Mereka telah melihatnya tidak jauh dari rawa blueberry.

Rumah itu khas tempat berakhir pekan golongan yuppie, bangunan modern berbentuk A dengan jendela-jendela sangat besar yang menghadap ke pegunungan. Pemiliknya orang-orang kaya baru dari California selatan, dan mereka menempatinya hanya pada akhir pekan. Harding Thomas memandangi semua detail. Sekarang baru pukul 22.00 lebih sedikit dan tempat itu nyaris gelap. Hanya satu kamar di bawah yang masih diterangi cahaya biru keabu-abuan. Lalu tampak cahaya yang lebih terang, hampir putih.

Pasti pesawat televisinya dinyalakan, dan Max sangat menyukai TV.

Gadis itu menyebut TV di

Sekolah sebagai "ibu dan ayah", "pengasuh", dan "sobat"-nya.

"Ayo kita tangkap dia sekarang," bisik Thomas pada yang lain-lain. "Gadis itu baru berumur sebelas tahun, tapi tenaganya kuat," dia memperingatkan. "Dia lebih kuat daripada sebagian besar laki-laki. Dia memiliki dada dan bahu unggul?

"Siapa sih dia, gadis super?" tanya salah satu anggota regu. "Begitulah," kata Harding Thomas pada pria itu. "Kau akan melihat sendiri buktinya kalau tidak berhati-hati. Pokoknya jangan anggap dia anak perempuan berumur sebelas tahun."

Anak-anak tangga menuju tingkat pertama teras disusun rapat, baru, dan berderit. Harding Thomas mengitari berpot-pot bunga geranium yang diletakkan di pelataran tangga. Tampak tiga pasang in-line skate merek Roces Barcelonas tergeletak begitu saja.

Para pemburu menyetel alat penglihat dalam gelap mereka. Mereka menaiki susunan anak tangga berikutnya dengan cepat, kembali menimbulkan bunyi berderit-derit. Mereka melewati perabotan teras dari logam, sekarang bergerak lebih cepat lagi. Regu ini jugalah yang telah menamatkan riwayat Dr. Frank McDonough di kolam renangnya.

Cahaya dari balik jendela besar itu terus memancar dan berkedip. Jelas itu cahaya dari TV. Thomas mengintip ke dalam, melihat di hadapannya terpampang ruang keluarga.

Lampu-lampu halogen, semuanya mati. Teleskop di tripod. Video player

DUB. Kursi-kursi

dengan pelapis terbuat dari karung goni biji kopi bertulisan "Produk Guatemala, 50-lbs" dan "Produk Yaman, 50-lbs".

Persis di bawah jendela ada sofa empuk. Max berbaring di situ. Gadis itu tidur, berselimutkan sayapnya sendiri. "Syukurlah," bisik Harding Thomas pelan.

BAB 38

Max mendengar bunyi krek, krek, krek itu. Suara itu berasal dari dek di luar. Dia membayangkan semua yang dapat berada di luar sana. Max tetap menutup mata, namun sebetulnya dia sudah bangun, waspada, dan tahu ada sesuatu yang sama sekali tidak beres tengah berlangsung di luar rumah. Dia tadi tidur di balik selimut Indian tua yang apek.

Sekarang dia merasa ada bayangan di antara dirinya dan bulan. Dia membuka mata, mendongak, dan tampaklah pria itu-Paman Thomas telah menemukannya. Si pengkhianat itu, si pembohong besar. Paman Thomas berdiri di luar jendela lebar. Dia membawa kaki tangannya. Tiga atau empat laki-laki. Pencari jejak! Pemburu! Pembunuh!

Otak dan tubuh Max menjerit, TERBANG.

TERBANG, TERBANG, TERBANG DARI SINI!

Tapi dia tidak bisa terbang. Dia tengah berada di ruang tamu berlangitlangit rendah dan penuh perabotan berat.

Kau kuat. Sangat kuat.

Kuatlah sekarang!

Jadi Max berguling turun cepat sekali dari sofa. Sebuah meja terguling.

Majalah-majalah

beterbangan-Los Angeles, Variety, Hollywood Reporter, Details.

Sebuah kursi metal menghantam jendela sampai pecah berantakan!

Secara refleks Max mengangkat lengan untuk melindungi wajahnya. Potongan dan serpihan kaca berhamburan ke sekelilingnya dan melukainya, namun tidak terlalu parah.

"TIDAK!" jeritnya sekuat tenaga. "Jangan dekati aku! Pergi!" Koridor panjang di antara ruang tamu dan kamar tidur membentang di hadapannya, memanggilnya.

Kuatkan diri! Pergi dari sini!

Sinar bulan seputih tulang masuk dari pintu kamar di ujung koridor yang setengah terbuka. Tak jauh dari kamar itu tampak Jacuzzi yang berada di antara bahan terrazzo berwarna hijau limau. Max berlari ke arah kamar tersebut dengan kecepatan dan kekuatan penuh.

Jangan menoleh ke belakang! Pokoknya lari, lari, lari! Kau jauh lebih cepat dari yang mereka kira. Dan mungkin, mungkin saja, mereka ternyata tidak ingin kau mati.

Jendela kamar terbuka-lubang untuk meloloskan diri baginya. Max tadi sengaja membiarkannya begitu-siapa tahu dia butuh jalan untuk kabur.

Dan wah, tak pernah dia seingin ini untuk kabur.

Max melayang ketika sampai di tengah koridor. Dia terbang cepat sekali di dalam rumah dan ini lebih dari sekadar hebat, pintar, waras. Namun Max tidak tahu apakah dia akan berhasil. Apakah cara ini akan sukses? Bisakah?

Tapi lalu dia mendapati dirinya meluncur melewati jendela yang terbuka itu bagai misil meninggalkan sarangnya, hanya saja sarangnya hampir terlalu kecil bagi misilnya. Sayap Max menghantam kusen. Serpihan kayu beterbangan! Rasa sakit menusuk bahunya yang luka! "Aduh," teriaknya. Namun Max terbang lagi-dan untuk kedua kalinya, seseorang menembakinya. Berusaha membunuhnya? Atau cuma ingin melukai sayapnya dan menangkapnya?

"Sialan kau, Paman Thomas!" serunya sekuat tenaga, tidak mau memandang ke belakang. "Terkutuklah kau."

Pria itu berteriak padanya. "Aku menangkap Matthew! Adikmu ada di tanganku, tahu. Kembalilah. Aku menahan Peter Pan."

BAB 39

Max gemetar hebat saat bersembunyi di puncak pohon fir paling tinggi dan paling lebat yang bisa ditemukannya. Jika dia tidak bisa melihat mereka, maka dia menduga mereka pun tidak bisa melihatnya. Betulkah?

Itukah faktanya? Max berdoa semoga itu benar.

Apa tadi yang diteriakkan Paman Thomas? Kata-kata persisnya? Akan kutangkap Matthew?... Atau Matthew sudah kutangkap?

Apakah mereka memburunya sampai ke sini untuk membunuhnya? Atau cuma untuk mengembalikannya ke Sekolah?

Yang jelas Max tahu ini: Beberapa pengunjung telah datang ke Sekolah... untuk melihat dirinya dan Matthew. Untuk mengamati mereka dengan cermat dan membicarakan mereka... lalu apa?

Max gemetaran, giginya bergemeletuk, saling beradu sehingga terasa menyakitkan. Dia mulai menangis. Dia tak sanggup menghentikan tangisnya. Dia tersedu-sedu seperti bayi.

Dasar cengeng! Max mengejek dirinya sendiri. Tukang nangis! Tukang nangis! Terus saja menangis sampai matamu bengkak.

Dia berbaring telungkup, bertumpu pada perut dan kaki. Lengannya memeluk kuat-kuat dahan besar yang penuh tonjolan. Tak lama kemudian kelelahan menyelimutinya dan matanya tanpa disadarinya terpejam.

Begitu mudah prosesnya, kesadarannya hilang begitu saja. Max tidur. Setidaknya dia tidak ditidurkan. Dia tidak tertangkap. Yah, belum.

Pikirannya kacau-balau saat dia membuka mata lagi. Max tak habis pikir dia telah membiarkan dirinya tertidur. Sudah berapa lama waktu berlalu? Berapa menit? Jam? Di mana Paman Thomas dan penjagapenjaga Keamanan lain? Gerombolan kecil pembunuhnya?

Hari masih malam, dan Max masih memeluk dahan besar bertonjolan itu seolah dahan tersebut satu-satunya teman akrabnya di dunia ini. Sekitar 1,5 kilometer dari tempatnya, rumah yang tadi ditempatinya tampak gelap dengan latar belakang langit yang diterangi cahaya bulan.

Semua lampunya sekarang mati.

Max tidak dapat melihat gerakan atau mendengar suara apa pun di hutan. Tidak ada pemburu. Tidak ada Paman Thomas.

Setelah yakin bahaya sudah berlalu, barulah Max merasa amat sangat kehilangan. Rumah itu tidak lagi aman untuknya. Dia tak punya rumah lagi. Max berharap Matthew ada di sini, dan baru memikirkannya saja air matanya sudah merebak.

Akan kutangkap Matthew! Atau-Matthew sudah kutangkap! Dia harus berpikir, mengingat apa kata-kata tepatnya.

Apa yang terjadi? Apakah adiknya masih hidup, atau apakah mereka telah menidurkannya? Apakah Matthew yang malang sudah mati?

Suara mendengung aneh yang melengking membuyarkan lamunannya. Suara itu makin lama makin keras. Hummmmmm. Begitu bunyinya.

Max mendongak dan melihat cahaya-cahaya kecil bertebaran di langit.

Cahaya-cahaya itu makin dekat, dan suaranya makin keras.

Itu burung, itu pesawat, itu... pesawat!

Max pernah beberapa kali melihat pesawat melintas di atas Sekolah. American Airlines, America West, United, pesawat jet dan berbalingbaling yang lebih kecil. Setiap kali melihat pe-sawat, dia ingin terbang. Namun itu dilarang. Kau terbang-kau mati! Itulah moto Sekolah. Hebat, heh?

Bintang-bintang berkedip dan berpendar di mana-mana, dan bulan purnama kelihatan ramah. Rasanya seolah manusia di bulan itu sedang memandangi Max. Pria itu tampaknya baik juga, tapi saat ini Max tidak percaya pada siapa pun.

Dia punya ide. Ide yang gila, mungkin. Serahkan saja pada Max untuk memikirkan ide gila, pikirnya. Itulah motonya, dan dia jelas hidup mengikuti kata-kata itu sekarang.

Max berdiri di dahan pohon yang lebar dan mantap itu, berayun-ayun sedikit dengan bertumpu pada tumit. Dia masih mengenakan sepatu baletnya yang andal, meskipun sekarang sudah agak tipis.

Dia membentangkan sayap, membiarkannya naik ke atas kepalanya. Max pelan-pelan menarik

pada yang pernah dicapainya. Semua yang di bawah kelihatan begitu jauh dan kecil. Max nyaris sama tinggi dengan pesawat yang menderu mendekatinya itu.

Udara di sekitar baling-baling pesawat mengaduk langit malam. Untuk pertama kalinya Max mengetahui kekuatan luar biasa mesin buatan manusia tersebut. Walaupun sudah mengepakkan sayap sekuat mungkin, Max mendapati dirinya mendadak terbang di tempat.

Lalu, selama sepersekian detik, dia berada di luar kokpit yang terang benderang. Mungkin sekitar dua puluh atau tiga puluh meter jaraknya. Dia bisa melihat ke dalam.

Pilot menoleh ke arahnya. Max merasa laki-laki itu melihatnya-sesaat saja. Mungkin tidak cukup lama sehingga orang itu bisa yakin tentang apa yang dilihatnya.

Max mengedipkan sebelah mata padanya. Mengerutkan muka. Dia suka sekali bercanda, dan dia tidak bisa menahan diri.

Lalu Max mengatupkan sayap dan melakukan lompatan indah yang mendorongnya menjauh dari pesawat dan bahaya tabrakan.

Kau lihat itu, pilot yang sok hebat? Aku tidak butuh pesawat buatan manusia untuk terbang. Aku cuma butuh langit.

Aku dibuat untuk melakukan ini.

BAB 41

Aku mengetuk pintu pondok, pondok yang kumiliki, rumah kecil yang di suatu masa dulu pernah kutempati bersama David. Kedatanganku ini termasuk hal-hal sangat aneh yang sudah beberapa lama kulakukan, dan aku sesekali memang bicara dengan angsa dan tupai.

Tapi karena Kit Harrison telah rela bersusah payah demi aku, dan karena dia sangat tampan, aku merasa sudah pada tempatnyalah jika aku menerima undangan makannya malam itu. Dia bahkan berjanji akan memasak.

Aku memakai kemeja chambray tua dan jins bersih. Pakaian yang bersih, disetrika agak licin- coba bayangkan. Bahkan aku juga memakai beberapa tetes parfum Hermes yang dahulu kala kubeli di Aspen. Aku juga membawa sebotol Pinot Noir yang lumayan mahal. Sangat, sangat aneh. Membawa sebotol anggur sebagai hadiah ke rumahku sendiri.

Saat Kit Harrison membuka pintu, aku segera menyadari tiga hal: janggutnya yang dicukur habis, rambutnya yang baru dipotong, dan wangi sabun Ivory.

"Di mana kau potong rambut?" aku bertanya.

"Kau tidak suka?" dia balas bertanya, dan tampak agak kecewa. Aku terkejut Kit begitu sensitif tentang hal tersebut, atau tentang hal lain. Kelihatannya dia bukan tipe seperti itu. Sebetulnya, dia mengejutkanku dalam banyak hal. Aku terlalu keras padanya di awal pertemuan kami, dan dia menerimanya dengan baik.

"Bob's Hair Joint. Di kota," katanya. "Apakah penampilanku benar-benar buruk?"

"Tidak, aku suka kok. Bagus sekali. Kau tampak luar biasa, malah. Bob

Hatfield memang hebat."

"Terima kasih," katanya, dan menampilkan senyum Tom Cruise-nya. Seperti yang ditampilkan Cruise dalam Jerry Maguire, sombong namun juga rapuh. Kit mengambil botol anggur dariku, membukanya dengan sigap, menuangkannya ke dua gelas.

"Kau sendiri pun tampak luar biasa," pujinya. "Sungguh." "Terima kasih." Mendadak aku menjadi pihak yang pemalu dan rapuh.

Padahal aku berada di rumahku sendiri.

Kit menyerahkan salah satu gelas anggurku padaku, yang kubeli di Marshall Field's di Chicago, kalau aku tidak salah ingat. Aku

menyesapnya sedikit, kemudian pergi ke kulkas dan memasukkan es ke gelas.

"Mengencerkan anggur," komentar Kit, dan tersenyum lagi. "Kita tidak ingin makan malam ini berkembang tidak keruan." "Bukan begitu. Aku selalu minum anggur dingin-dingin." Aku membohonginya sedikit. Kuceritakan tentang pesta yang kulakukan bersama David-di Boulder, di Bear Bluff sini, di Denver. Hidup terasa menyenangkan bagi kami. Setidaknya selama beberapa saat. Sebetulnya, inilah pertama kalinya dalam satu setengah tahun aku berdiri di ruangan ini, bersama seorang pria, dan bayangan dan selera David ada di mana-mana; rak-rak yang penuh buku, sofa yang familier, beberapa lukisan cat air berwarna pucat yang menampilkan pemandangan daerah utara Wisconsin. Begitu banyak waktu yang kuhabiskan untuk pembunuhan tak masuk akal David. Aku merasa takut, namun tidak bisa mengatakan sebabnya pada Kit. Aku juga merasa agak bersalah, meskipun tidak ada alasan untuk merasa begitu. Benarkah? Aku bercerita sopan tentang si rubah dan keadaannya sekarang, lalu aku bertanya apakah boleh membantu menyiapkan makan malam. "Kurasa semua sudah kubereskan. Tapi terima kasih atas tawaranmu," katanya. Kit ternyata bukan sekadar membereskannya; dia mengolah dada ayam, kacang kapri berbumbu bawang putih, kentang merah panggang, dan misto salad dengan canggih. Harum masakan membuat lidahku bagai anjing yang berdiri di kaki belakangnya dan menguik-nguik minta makan.

Kit memunggungi aku, dan aku merasa senang karenanya. Kuembuskan napas kuat-kuat. Aku takjub dengan betapa gugupnya diriku, betapa bersemangatnya hatiku, betapa membubung emosiku. Tak sengaja aku menyenggol bokongnya ketika aku mengeluarkan peralatan makan perak dari

laci. Bokong yang kencang, berbentuk indah, dan sangat menyenangkan untuk disenggol. Membuatku menarik napas dalam lagi. "Kau belajar masak di mana sih?" aku ingin tahu.

"Istriku mengajari aku hal-hal yang tidak diajarkan ibuku. Ibuku cuma mau membuat masakan Italia. Begitu kemampuan kulinerku sudah berkembang, kami bergantian memasak. Asyik juga, seru." Ucapannya menyentakkan aku. Aku tidak pernah menduga Kit seperti itu, beristri, atau yang semacamnya. Ibunya orang Italia? Kau tidak tahu apa-apa tentang diriku, begitu katanya dulu.

"Istriku sudah meninggal," Kit memberitahuku.

"Aku turut berduka." Betul kok. Kit telah menyentuh hatiku dengan ceritanya soal bergantian masak dengan istrinya. David tidak akan pernah berbuat begitu.

"Yeah. Hampir empat tahun yang lalu." Aku dapat melihat ekspresi sakit yang demikian nyata di wajahnya. Kit mencintainya. Begitu jelas kelihatan.

"Apa yang terjadi, Kit? Kau keberatan jika kita membicarakannya?" "Tidak. Aku sudah bisa menerimanya sekarang," jawabnya, dan memaksa dirinya tersenyum. "Kadang-kadang, aku bahkan pura-pura jadi martir."

"Wah. Kau keras pada dirimu, heh?"

"Begitulah. Kejadiannya dalam kecelakaan pesawat kecil." Suaranya sangat pelan sehingga aku nyaris tak dapat mendengarnya. Kit seolah bicara pada diri sendiri. "Istriku. Kedua putra

kecilku." Dia menghela napas, dan sementara aku memandanginya tanpa sanggup berkata-kata, kontrol dirinya nyaris hancur.

Pondok begitu senyap sehingga desis masakan ayam dan angin kencang di kaca jendela terdengar sangat keras. Aku ingin memeluknya, menyentuhnya, menyingkirkan ekspresi kesakitan dan sedih yang luar biasa itu dari mata birunya.

"Aku seharusnya mengantarkan mereka semua dengan mobil ke Nantucket. Liburan keluarga, yang mestinya sudah sejak dulu dilakukan, yang sangat pantas mereka dapatkan. Tapi aku lalu harus bekerja. Saat itu aku sangat terlibat dengan, uh, karierku. Mereka naik pesawat ke sana tanpa diriku." Wajahnya berkerut muram. "Pesawat mereka jatuh antara Rhode Island dan Nantucket. Tanggal 9 Agustus 1994."

"Aku sangat sedih," kataku.

Sekarang aku merasa sangat bersalah tentang segala hal, mulai dari saat pertama aku melihatnya. Aku salah besar mengenai Kit Harrison dan itu membuatku merasa tak enak.

BAB 42

Kit tidak mau berlama-lama mengenang masa lalu; dan setidaknya untuk satu malam, begitu juga aku. Kami tertawa bersama, dan mengobrol santai selama satu setengah jam berikutnya. Aku suka berbicara dengannya, banyaknya hal yang diketahuinya: Cosi fan tutte, rockabilly, cara membesarkan anak, hoki profesional, fiksi, nonfiksi, barang-barang antik, dan lain-lain dan sebagainya.

Riwayat pribadinya juga sangat menarik. Dia memberitahu cukup banyak untuk membangkitkan minatku. Ayahnya orang Irlandia dan dulu bekerja sebagai sopir bus di Boston; ibunya orang Italia, mantan perawat di Children's Hospital. Mike dan Maria masih hidup dan sehat, saat ini tinggal di Vero Beach, Florida. Kit punya empat saudara laki-laki, "semua lebih pintar dan lebih tampan dibanding aku." Dia kuliah di Holy Cross College di Worcester, Massachusetts, dengan beasiswa. Lalu Sekolah Hukum NYU "dengan doa". Kemudian masuk FBI. Kit adalah agen FBI, yang sedang berlibur di Colorado.

Namun aku merasa dia merahasiakan beberapa hal, tapi mungkin aku salah, lagi pula

mengapa Kit harus merasa wajib menceritakan segala hal tentang dirinya padaku hanya karena hubungan kami tiba-tiba membaik? "Ayo kita jalan-jalan di bawah sinar bulan purnama," ajakku setelah kami selesai menikmati makanan, yang rasanya selezat makanan di banyak restoran mahal di Denver. Alasanku yang sebenarnya, aku merasa belum ingin pulang. "Kau tadi menyinggung soal minum di Clayton. Ayo kita ke sana malam ini. Kutraktir."

Kit menganggapnya ide yang bagus, jadi kami naik Jeep Kit ke Villa Vittoria. Tempat itu merupakan restoran Italia yang sangat bagus dengan bar yang nyaman, tempat penduduk setempat yang asyik dan turis yang bahkan lebih asyik lagi berinteraksi lumayan harmonis. Pada malam tengah minggu itu, salah seorang pelayan berumur memainkan piano dan bernyanyi, jika apa yang dilakukannya bisa dibilang begitu. Aku kenal Angelo dan dia pria yang baik, kepala pelayan yang sangat andal, namun kemampuan bernyanyinya buruk sekali. Dia paman si pemilik, dan itulah alasan mereka mengizinkannya menyanyi pada malammalam tengah minggu yang sepi pelanggan.

Kit dan aku duduk di bar, sejauh mungkin dari Angelo. Kami berusaha berbicara di sela-sela suara yang menyakitkan telinga itu, tapi Angelo menggunakan mike, jadi usaha kami percuma saja. Kami akhirnya tertawa, berhati-hati supaya pria itu tidak tahu nyanyiannya telah menyebabkan kami tertawa terkikik-kikik.

"Dia setengah mati di atas sana," aku berbisik. "Aku merasa sangat kasihan padanya."

"Yang jelas dia mengosongkan bar dengan cepat. Tak pernah aku melihat penampilan live memiliki efek seperti ini," ujar Kit. Kemudian dia berdiri dari kursi bar. "Jaga tempatku. Aku akan segera kembali."

Aku mengawasi dengan rasa penasaran yang makin menggunung saat Kit berjalan mendatangi Angelo dan bicara dengannya. Mereka berdua lantas tertawa, kemudian sama-sama memandang ke arahku. Apa-apaan ini? Aku tidak terlalu menyukai perkembangan ini. Apa yang akan dilakukan Kit dan Angelo?

"Kami menerima permintaan lagu dari penonton yang ingin mendengar lagi 'Nel Blu dipinto Di Blu', juga terkenal sebagai Volare'," Angelo mengumumkan. Aku takut dia akan menghancurkan lagu lama yang indah itu. Aku meringis. "Dan untuk membantuku di bagian vokal, langsung dari New England Conservatory of Music, Mr. Kit Harrison." Langsung dari New England Conservatory of Music?

Angelo memainkan intro singkat lagu lama Domenico Modugno itu, dan aku jadi sadar bahwa permainan pianonya ternyata tidak terlalu buruk.

Sekarang bagaimana dengan vokal Kit? Dan duet mereka?

Kit mencondongkan tubuh ke mike, dan sungguh-sungguh tampak yakin dengan kemampuannya. Kit kelihatan sangat percaya diri. "Ini untuk Drh. Frannie O'Neill. Dia dokter hewan yang hebat, penyelamat sejati.

Kuharap nyanyianku ini cukup pantas untuknya."

Dengan sopan aku mengangguk sedikit, dan tersenyum gugup.

Sejujurnya, aku tidak tahu mesti mengatakan atau memikirkan apa. Soal Kit Harrison? Dan terutama soal dihadiahi lagu oleh Kit dan Angelo di tempat minum lokal.

Kit mulai menyanyikan "Volare". Dan nyanyiannya bukan sekadar cukup pantas untukku, dia sangat hebat. Kit memiliki suara tenor yang indah, dan bisa mengontrolnya sampai lagu selesai.

New England Conservatory? Itu cuma lelucon, atau fakta? Siapa lakilaki ini? Semua orang di restoran dan bar berhenti untuk mendengarkan dan menonton. Kit betul-betul bisa menjual suara, dan semua orang membelinya, bahkan juga preman-preman setempat dan teman kencan mereka.

Saat dia dan Angelo selesai, hampir semua orang bertepuk tangan, berseru-seru meminta mereka main lagi. Kit dan Angelo membungkuk beberapa kali, kemudian Kit kembali padaku di bar. "Signora yang cantik menyukainya?" tanya Kit. "Bagus?" Aku nyaris tak sanggup bicara. "Terima kasih. Kau menakjubkan, magnifico. Aku sangat tersentuh. New England Conservatory?" "Sebenarnya bar di dekat konservatorium itu. 'Sparks'. Aku main piano dan bernyanyi semasa di college dan sekolah hukum. Aku juga bekerja selama musim panas di Cape."

Saat bernostalgia. Kit dan aku saling membantu, menyelamatkan rubah itu. Dia mengajakku makan malam di Clayton. Tindakan-tindakan

kecil yang manis yang menyebabkan aku merasa diperhatikan dan mungkin juga terlalu rapuh, terlalu cepat. Tenggorokanku terasa sakit akibat perasaan lembut yang mendadak timbul di hatiku. Aku juga sadar bahwa sekarang aku bisa disakiti dengan mudah.

"Kau terdiam lagi," katanya. "Jangan begitu. Kumohon. Aku tidak bermaksud menimbulkan efek itu."

"Aku cuma berpikir," sahutku. Namun aku tidak dapat memberitahunya bahwa aku memikirkan dirinya dan efek yang ditimbulkannya pada diriku. Jadi aku mengatakan hal-hal lain padanya. Percayalah padaku, katanya, saat dia membantuku menyelamatkan si rubah. Entah mengapa, aku benar-benar mempercayai Kit sekarang.

"Kemarin dulu aku melihat sesuatu di hutan," aku bercerita sementara kami duduk di bar. "Sesuatu yang akan kauanggap sangat sinting. Aku hampir takjub sendiri bahwa aku menyampaikan hal ini. Padamu, atau pada siapa pun."

Aku berhenti melanjutkan ceritaku. Kit tampak agak waswas, namun aku jelas berhasil membangkitkan minatnya.

"Apa yang kau lihat, Frannie? Teruskan apa yang ingin kaukatakan." Kutatap mata biru tua Kit yang dalam.

Tuhan, bantulah aku.

Kugigit bibirku.

Bagaimana jika aku melakukan kesalahan? Kau tidak tahu apa-apa tentang diriku, begitu katanya dulu. "Aku melihat seorang gadis kecil... Kurasa dia

berumur sebelas atau dua belas tahun. Gadis liar. Dan ini bagian paling gilanya, Kit. Dia punya sayap-anak ini punya sayap seperti burung." Ekspresi Kit membeku dan mulutnya ternganga sedikit. Aku ingin bisa menarik kembali kata-kataku, namun tak bisa. Sudah terlambat.

"Aku tahu," kataku. "Rasanya mustahil. Tapi, Kit, dia nyata seperti aku nyata duduk di sini. Aku melihat seorang gadis kecil bersayap. Dan aku melihatnya terbang."

BAB 43

Kit merasa seolah kepalanya baru saja diterjang peluru. Dia berusaha tidak menunjukkan perasaannya itu. Dia harus mengingatkan diri bahwa dia profesional, agen FBI, orang yang cerdas dan cukup waras. Jadi, dia benar bahwa memang ada sesuatu di sini. Tindakannya mengusut kasus ini sampai Colorado ternyata benar. Kit sekarang rela mengusutnya sampai ke mana pun. Mengapa Biro menariknya dari kasus ini? Tidak masuk akal. Ya Tuhan, ya Tuhan! Frannie O'Neill telah melihat seorang gadis kecil bersayap. Dan wanita itu baru saja menceritakannya padanya. Itu juga fakta yang penting. Artinya Frannie tidak mungkin terlibat dalam semua ini. Betul kan?

"Kapan terjadinya?" Kit bertanya. Dia tidak ingin menginterogasi

Frannie, namun dia harus tahu apa yang telah dilihat wanita itu. Gadis kecil bersayap? Eksperimen pada manusia? Eksperimen macam apa? Apa yang tengah terjadi di sini?

"Kau percaya padaku?" tanya Frannie, dan napasnya tersentak. Dia tampak kaget, lalu senang.

Kit merasa kalau Frannie memandangnya seperti itu dia mungkin akan percaya bahwa bumi datar, bulan terbuat dari keju biru, bahwa yang namanya cinta sejati pada pandangan pertama memang ada, begitu juga akhir yang bahagia, dan gadis-gadis kecil yang dapat terbang. "Aku percaya padamu, Frannie," ulangnya.

"Bagus, karena aku melihat anak itu dua kali."

Frannie sendiri tampak seperti anak kecil saat menceritakan dua pertemuan itu dengan detail yang sangat hidup, dengan semangat meluap-luap dan emosi yang tampak jelas. Lengannya benar-benar mengepak-ngepak ketika dia menggambarkan gadis itu dan bercerita bagaimana si anak terbang. Matanya membelalak, dan dia berbicara bahkan lebih cepat daripada biasanya. Tak sekali pun dia mengerutkan keningnya pada Kit.

Kepolosan dan semangat Frannie membuat Kit ingin menceritakan padanya semua yang diketahuinya, hal-hal menyangkut kasus itu yang mestinya tidak diberitahukannya pada siapa pun, tapi terutama pada wanita yang suaminya mungkin saja dulu terlibat. Tapi aku tidak boleh berbohong pada Frannie. Tidak lagi Berbohong pada Frannie betul-betul perbuatan yang jahat, katanya dalam hati.

"Dengar, besok pagi-pagi sekali," kata Kit akhirnya, "kita akan mencari anak itu. Kita cari bersama. Kita akan menemukannya."

"Jadi kau sungguh-sungguh mempercayai aku?" Frannie bertanya. Dia tetap tampak takjub, dan mungkin bahkan agak memelas.

"Ya," jawab Kit. Dia mengedipkan sebelah

mata. "Dan aku terlatih untuk mengetahui apakah seseorang berbohong atau tidak."

Kit lalu meraih Frannie, menariknya ke dalam pelukannya, dan dengan lembut, sangat lembut, menciumnya di pojok mereka yang tenang di bar. Dan Frannie O'Neill akhirnya mengejutkannya-dia membalas ciumannya.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience